Tak Boleh Mengkâfirkan, Pun Tak Boleh Mengaku Muslim…???

Beredar sebuah video dari seseorang yang digadang-gadang sebagai budayawan, yang menyatakan bahwa dia tak memperbolehkan untuk mengkâfirkan orang kâfir, bahkan juga tak boleh muslim itu mengaku dirinya sebagai muslim, karena menurutnya hanya الله Subhânahu wa Ta'âlâ yang Maha Tahu hakikatnya.

Maka jawaban sederhana untuk melawan pernyataan orang Zindiq itu - iya Zindiq! Sebab Murji-ah saja tetap mengkâfirkan orang yang kâfir atau murtad - adalah sebagai berikut…

🔵 Pertama ⇛ Tak boleh mengkâfirkan orang yang tidak kâfir, atau memuslimkan orang yang bukan muslim.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

مَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

(arti) _“Siapa saja yang memanggil seseorang dengan sebutan "kâfir" atau "musuh Allôh", padahal ia tidaklah orang yang kâfir, maka tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh.”_ [HR Muslim no 61; Ahmad no 20492].

Adapun kriteria dan cara-cara mengkâfirkan itu sudah diatur sesuai dengan Hukum Islâm dan adab-adab Islâmi. Tidak bisa main asal-asalan saja memvonis seseorang itu kâfir atau murtad.

Terhadap orang yang telah jelas-jelas menyatakan kekâfirannya, misalnya sudah mendeklarasikan dirinya keluar dari agama Islâm, maka dia harus dikatakan sebagai orang yang kâfir.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

(arti) _“Siapa saja yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekâfiran, maka mereka itulah yang sia-sia 'amalannya di Dunia dan di Âkhirot, dan mereka itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya.”_ [QS al-Baqoroh (2) ayat 217].

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

مَنْ كَفَرَ بِاللهِ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيْمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

(arti) _“Siapa saja yang kâfir kepada Allôh sesudah dia berîmân, (dia mendapat kemurkaan Allôh), kecuali orang yang dipaksa kâfir padahal hatinya tetap tenang dalam keîmânan (maka dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya (ridho) untuk kekâfiran, maka kemurkaan Allôh menimpanya, dan baginya adzab yang besar!”_ [QS an-Nahl (16) ayat 106].

Begitu juga terhadap orang yang mengaku muslim, tetapi dia melakukan perbuatan kekufuran, seperti misalnya: berdo'a kepada selain الله, atau mengkeramatkan benda-benda dengan menganggapnya bisa mendatangkan kemanfaatan atau kemudhorotan bagi dirinya, maka mereka harus diberitahukan bahwa dia telah berbuat kekufuran yang besar. Tugas kita sebagai muslim adalah menda‘wahi dan mengajaknya untuk kembali kepada kebenaran.

🔵 Kedua ⇛ Penetapan resmi atas orang yang mengaku muslim yang terindikasi melakukan perbuatan kekufuran adalah oleh Mahkamah Syari‘ah Negara.

Kenapa oknum yang melakukan perbuatan kekufuran tersebut harus ditetapkan secara resmi oleh pihak yang berwenang, yaitu: Mahkamah Syari‘ah?

Sebab ia menyangkut 2 hal penting, yaitu: Hukum Pidana dan Hukum Perdata, di mana keduanya adalah hak dan kewajiban dari Mahkamah Syari‘ah Negara.

Jadi perorangan tak asal tuduh saja orang telah kâfir, lalu main hakim sendiri, kemudian menghukumnya sendiri, karena konsekwensinya menyangkut kepada:

▫ Hukum Pidana, yaitu berupa penetapan hukuman mati terhadap orang yang murtad (keluar dari agama Islâm), di mana itu dilakukan dengan sengaja dan sukarela / ridho.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

(arti) _“Siapa saja (dari Muslim) yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia!”_ [HR al-Bukhôri no 3017, 6922; Abû Dâwud no 4351; at-Tirmidzî no 1451; an-Nasâ-î no 4059, 4060, 4061, 4062, 4063, 4065; Ibnu Mâjah no 2535; Ahmad no 1775, 2420, 2421].

▫ Hukum Perdata, yaitu tentang waris-mewaris, disebabkan antara orang muslim dengan orang kâfir itu tiada hubungan saling waris-mewarisi.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

(arti) _“Tidaklah seorang yang muslim mewarisi (harta) orang yang kâfir, dan demikian juga orang yang kâfir tidaklah mewarisi (harta) orang yang muslim.”_ [HR al-Bukhôrî no 1588, 4282, 4283, 6764; Muslim no 1614; Abû Dâwud no 2909; at-Tirmidzî no 2107; Ibnu Mâjah no 2729, 2730; Ahmad no 20752, 20757, 20771, 20807, 20812, 20819; Mâlik no 1126; ad-Dârimî no 3041, 3043, 3044].

⇒ Hukum Pidana dan Hukum Perdata terhadap orang yang murtad itu hanya dapat dijatuhkan oleh Mahkamah Syari‘ah / Pengadilan resmi Negara, bukan oleh perorangan.

🔵 Ketiga ⇛ Penyebutan istilah "muslim" dan "kâfir" diperintahkan oleh الله Subhânahu wa Ta‘âlâ di dalam al-Qur-ân.

▫ "Muslim" yaitu istilah bagi orang yang mengucapkan kalimat Syahadatain dan meng‘amalkan Rukun Islâm.

📌 Perintah الله Subhânahu wa Ta‘âlâ kepada Nabî:

وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ

(arti) _“Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama muslim.”_ [QS az-Zumar (39) ayat 12].

Jadi memang penamaan diri ini kita sebagai "muslim" itu adalah memang dari الله Subhânahu wa Ta‘âlâ, apabila kita telah memenuhi kriteria kemusliman. Sedangkan level îmân, maka itu

Sebaliknya…

▫ "Kâfir", yaitu istilah bagi orang yang tidak mau mengucapkan Syahadatain dan tidak meng‘amalkan Rukun Islâm.

📌 Perintah الله Subhânahu wa Ta‘âlâ kepada Nabî:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ

(arti) _“Katakanlah (wahai Muhammad): "Wahai orang-orang yang kâfir!"”_ [QS al-Kâfirûn (109) ayat 1].

Kâfir itu secara bahasa adalah tertutupi. Jadi orang yang kâfir itu maksudnya adalah tertutupi dari Îmân dan Islâm, tertutupi dari kebenaran. Kâfir itu adalah oknum dari jenis manusia atau jinn, bukan sebangsa binatang apalagi benda lainnya.

Jadi penyebutan kâfir terhadap orang yang tidak berîmân sesuai dengan kriteria keislâman itu adalah perintah, namun tentu saja tak setiap bertemu dengan orang yang kâfir, lalu serta merta dituding dengan: "Hai orang kâfir! " atau: "Woi kâfir!".

Tidak begitu!

Namun cukup dipahami saja bahwa dia orang yang kâfir, dan wajib memahami aturan-aturan syar‘i yang terkait bagaimana bermu‘amalah dengan orang yang kâfir. Seperti misalnya:
✓ Jangan jadikan orang kâfir sebagai auliyâ’.
✓ Jangan tiru kelakuan yang jelas jadi ciri khas orang yang kâfir.
✓ Jangan menikahkan perempuan muslimah dengan mereka.
✓ Kalau orang yang kâfir itu mati, maka tak boleh dido'akan apalagi disholâtkan, tak boleh diselenggarakan secara Islâmi, dan mayatnya dikubur bersama dengan orang-orang yang kâfir juga.

🔵 Keempat ⇛ Kâfir ya katakan kâfir, sesat ya katakan sesat.

Terhadap orang yang jelas-jelas sesat (bahkan kufur!), seperti orang yang mengaku-ngaku dirinya nabî, atau mengaku-ngaku titisan malâ-ikat, atau yang suka menghina dan melecehkan para Shohâbat dan istri-istri Nabî, ya wajib dikatakan mereka sesat atau kâfir sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Sebab, kesesatan itu wajib untuk diperingatkan. Adalah wajib bagi orang-orang yang berîmân untuk memperingatkan orang-orang yang menyimpang terhadap penyimpangannya itu. Tak boleh mendiamkan saja, karena ada perintah untuk menegakkan amar ma'rûf nahyi munkar.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُ

(arti) _“Dan orang-orang yang berîmân, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‘rûf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholât, membayarkan zakat, dan mereka ta'at kepada Allôh dan Rosûl-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allôh. Sungguh Allôh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”_ [QS at-Taubah (9) ayat 71].

Aneh saja kalau ada yang mengatakan jangan menyesat-nyesatkan orang lain, sebab di dalam setiap sholâtnya 17x sehari-semalam, seorang muslim itu berdo'a meminta ditunjukkan akan "jalan yang lurus", yaitu jalan orang-orang yang الله beri nikmat, dan memohon dihindarkan dari "jalan orang yang membangkang / durhaka" - yaitu orang ber‘ilmu tapi tak ber‘amal - dan "jalan orang-orang yang sesat" - yaitu orang yang ber‘amal tanpa dasar ‘ilmu yang benar.

☠ Tidak boleh mengatakan orang yang kâfir itu sebagai kâfir atau orang yang sesat itu sesat berdampak pada kekacauan, sebab nanti maling juga menolak dikatakan maling atau pezina menolak dikatakan pezina.

☠ Adalah salah satu bentuk pembatal keislâman apabila meragukan orang kâfir itu adalah kâfir.

Jadi yang betul itu adalah:

⚠ Jangan menyesatkan yang tidak sesat, jangan pula membenarkan yang tidak benar.

Itulah maknanya dari berlaku adil.

✓ Yang muslim janganlah dikâfirkan, sedangkan yang jelas-jelas memang kâfir jangan pula disamakan dengan orang yang muslim.
✓ Yang tidak sesat jangan disesatkan, sedangkan yang jelas-jelas sesat jangan pula disamakan dengan orang yang lurus.

Itulah sikap yang adil sebagaimana yang الله Subhânahu wa Ta‘âlâ perintahkan.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

(arti) _“Wahai orang-orang yang berîmân, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allôh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Dan bertaqwalah kepada Allôh, sungguh Allôh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”_ [QS al-Mâ-idah (5) ayat 8].

والله أعلمُ بالـصـواب

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

🌐 www.facebook.com/sahabatacad

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh