Jiwa Besar vs Jiwa Kerdil

Ada hal yang penting dapat diambil sebagai pelajaran pada peristiwa dicegahnya seorang gubernur untuk tampil di panggung acara penyerahan piala kepada team sepakbola wilayahnya.

Pelajaran apa?

Pelajaran tentang contoh nyata dari bentuk "kebesaran jiwa" vs "kekerdilan jiwa".

Iya, kebesaran jiwa versus kekerdilan jiwa.

Seorang yang berjiwa besar sama sekali tak takut dirinya akan "kalah pamor" atau "kalah frekwensi" terhadap lawannya.

Sebaliknya, orang yang berjiwa kerdil, maka ia akan menganggap siapapun yang ia anggap lawan sebagai musuh yang harus disingkirkan dari panggungnya, karena akan meredupkan pamornya atau menghancurkan pencitraannya.

Bagi orang yang berjiwa besar, celaan itu tidaklah menjadikan dirinya hina, tidak juga kritikan. Sedangkan pujian tidaklah menjadikan dirinya jumawa.

Sebaliknya, bagi orang yang berjiwa kerdil, ia sangat haus terhadap pujian dan sanjungan. Dikarenakan karena kekosongan jiwanya, maka ia sangat butuh akan hal-hal yang bersifat superfisial. Sementara jika ia dikritik, apalagi dicela, maka ia akan merasa sangat marah dan terhina, karena martabatnya (yang memang rendah hakikatnya) direndahkan.

Orang yang berjiwa besar itu akan mudah mema'afkan, namun bukan berarti ia lugu apalagi lemah. Sedangkan orang yang berjiwa kerdil adalah pendendam, karena hakikatnya jiwanya yang lemah.

Maka dari itu, the real leader, orang yang berjiwa besar, tak pernah ragu untuk merekrut orang-orang yang juga hebat untuk membantunya. Karena ia sadar dirinya bekerja for the greater cause, bukan untuk kepentingannya semata. Orang yang berjiwa besar sadar bahwa pekerjaannya harus terus dilanjutkan, dan ia butuh orang-orang sekaliber dirinya, atau orang besar juga, sebagai pengganti dirinya kelak.

Sebaliknya, orang yang berjiwa kerdil, hanya mau merekrut orang-orang yang lebih buruk dan rendah dari dirinya, karena ia hanya membutuhkan kacung-kacung belaka.

Intinya…

⇛ Orang yang berjiwa besar itu "rendah hati", sedangkan orang yang berjiwa kerdil itu "rendah diri".

Dari mana asalnya jiwa yang besar?

⚠ Jiwa besar itu disebabkan dari sikap yang ikhlâsh, meniyatkan perbuatannya hanya untuk mencari keridhoan الله Subhânahu wa Ta‘âlâ.

Orang yang ikhlâsh takkan pernah kecewa. Karena ia tak haus akan pujian saat ia berhasil, tak merasa pekerjaan yang dilakukannya itu butuh apresiasi berlebihan dari manusia.

Orang yang ikhlâsh takkan merasa direndahkan karena kritik akibat kekeliruannya, ataupun merasa terhina akibat celaan saat ia gagal.

Orang yang ikhlâsh itu tahu bahwa pahala itu ada pada proses, bukan pada hasil. Sehingga ia tak perlu melakukan pencitraan.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

(arti) _“Shodaqoh tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allôh menambahkan kepada seorang hamba sifat pema'af melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Serta juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawâdhu' (rendah hati) karena Allôh melainkan Allôh akan memuliakannya.”_ [HR Muslim no 2588; at-Tirmidzî no 2029; Ahmad no 8647, Mâlik no 1936; ad-Dârimî no 1718].

Sebaliknya...

☠ Jiwa yang kerdil itu disebabkan karena niyat yang tak murni, mencari hal-hal keduniawian, seperti: ketenaran, kekayaan, jabatan, serta perempuan.

🔥 Bagi orang yang berjiwa kerdil, citra itu adalah segalanya. Sehingga ia akan melakukan segala sesuatu mencitrakan dirinya hebat.

Termasuk pencitraan itu adalah mencegah lawannya tampil sepanggung dengan dirinya. Padahal justru seringkali perbuatan tersebut malah blunder, mengakibatkan jiwa kerdilnya semakin terekspose di mata masyarakat luas.

Orang yang berjiwa kerdil hanya mencari tujuan duniawi sehingga jiwanya kosong. All that matters for him / her adalah hal-hal keduniawian, sehingga ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya, termasuk juga cara-cara hina dan rendahan, di mana pada akhirnya justru ia akan semakin terhina di mata manusia.

Sebaliknya, orang yang berjiwa besar tidaklah disibukkan dengan hal-hal yang non-prinsipil, ia tak mementingkan hal-hal superficial. Sehingga takkan menjadi masalah baginya diberikan pujian atau tidak, serta tak pula menghinakan baginya lontaran kritik atau bahkan celaan. Sehingga pada akhirnya, jika ia ikhlâsh, maka الله Subhânahu wa Ta‘âlâ justru akan memuliakan dirinya.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

(arti) _“Siapa saja yang ambisinya adalah duniawi, maka Allôh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefaqiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan Dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Siapa saja yang niyat hidupnya adalah negeri Âkhirot, Allôh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan Dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”_ [HR Ibnu Mâjah no 4105; Ahmad no 20608; Ibnu Hibbân no 72 ~ dishohîhkan oleh Muhammad Nashîruddîn al-Albânî, Silsilah al-Ahâdîts ash-Shohîhah no 950].

❤ Kita berdo'a:

اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
{allôhumma innî a‘ûdzubika an usyrika bika wa anâ a‘lamu wa astaghfiruka limâ lâ a‘lam}

(arti) _“Wahai Allôh, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku juga memohon ampunan-Mu terhadap perbuatan syirik yang tak kuketahui.”_

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

🌐 www.facebook.com/sahabatacad

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh