Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk

🔵 Oleh sebagian orang, saat menyikapi penguasa yang zhōlim, seringkali dibawakan perkataan Imām Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah رحمه الله تعالى berikut:

 

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم

 

(arti) _“Sungguh di antara hikmah Allōh Ta‘ālā dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung ummat manusia, adalah sama dengan ‘amalan rakyatnya, bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka.”_ [lihat: Miftāh Dāris-Sa‘ādah II/177-178].

 

Sehingga seakan mengatakan: "Terima saja kezhōliman penguasa itu, sebab toh penguasa yang buruk itu bisa berkuasa karena pilihan dari rakyat yang buruk juga!"

 

Namun, jika kita pelajari baik-baik sejarah ummat manusia, maka ungkapan bahwa pemimpin itu adalah cerminan dari rakyatnya adalah qoidah yang tidaklah 100% benar. Sebab, ia dibantah sendiri oleh perjalanan sejarah kemanusiaan.

 

Lihatlah berapa fakta berikut:

▫ Para Nabiyullōh itu diutus oleh Allōh  saat keadaan kaumnya sedang rusak, dan kemudian merekalah yang memperbaiki keadaan kaumnya tersebut.

▫ Junjungan kita, Baginda Nabī Muhammad  diutus pada saat masyarakat ‘Arab di Makkah dalam kondisi jāhilīyah, dan kemudian Beliau mentransformasi masyarakat ‘Arab yang rusak itu menjadi sebaik-baik ummat manusia dari awal sampai akhir zaman.

▫ Kholīfah ‘Umar ibn ‘Abdul-‘Azīz رحمه الله تعالى memperbaiki keadaan rakyat di negerinya yang pada saat ia mulai menjabat ada dalam keadaan yang buruk.

▫ Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhāb رحمه الله dan Imām Muhammad ibn Sa‘ūd رحمه الله تعالى yang berjuang memperbaiki masyarakat ‘Arab dari kerusakan Tahayul - Bid‘ah - Khurofat.

▫ 3 Hajji (Hajji Piobang, Hajji Sumanik, dan Hajji Miskin) sepulang dari Harōmain berusaha memperbaiki keadaan masyarakat Minangkabau pada akhir Abad ke-XVIII yang kemudian melahirkan gerakan Paderi yang fenomenal.

▫ Sejak Recep Tayyip Erdoğan حفظه الله تعالى berkuasa, tampak jelas terlihat bahwa Islām mulai menggelora kembali di negeri Turkiy setelah mati suri selama 80 tahun akibat dikuasai pemahaman rusak Sekularisme - Pluralisme - Liberalisme (SEPILISME).

 

Jadi jelas dari contoh-contoh di atas, keadaan yang terjadi adalah justru sebaliknya, yaitu: "rakyat adalah cerminan dari pemimpinnya", sebab pemimpinnya lah yang memulai usaha untuk merubah keadaan rakyatnya.

 

Demikian pula apabila melihat fakta dari siroh Nabī bahwa Baginda Nabī  pernah mengirimkan surat kepada raja-raja di sekitar Jazirah ‘Arab, di mana Beliau  mengatakan "أسلم تسلم" (aslim taslam) yang artinya: masuklah ke dalam Islām maka anda akan selamat, sebagaimana yang tercantum di dalam surat yang dibawa oleh Shohābat Dihyah al-Kalbī  رضي الله عنه kepada Heraklius (Kaisar Romawi Timur / Byzantium).

 

📌 Kata Baginda Nabī :

 

يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ

 

(arti) _“(Apabila anda masuk Islām) Allōh akan memberikan balasan dua kali lipat, sedangkan jika anda menolak, maka bagi anda dosa rakyat yang mengikuti anda.”_ [HR al-Bukhōrī no 7; Muslim no 1773].

 

 Dari hadīts tersebut jelas bahwa penguasa itu merupakan faktor yang sangat krusial yang menentukan bagaimana keadaan dari rakyatnya. Apabila penguasanya tak berīmān, suka bermaksiyat, maka kemungkinan besar rakyatnya juga mayoritas tidak berīmān dan suka bermaksiyat pula. Sebab rakyat itu tabiatnya adalah mencontoh kelakuan dari para penguasa.

 

Apabila penguasa suatu kaum itu zhōlim, suka bermaksiyat, suka berdusta, suka ingkar janji, suka fājir (jahat) jika berselisih, suka khianat terhadap amanah, maka rakyatnya pun akan mencontoh kelakuan buruk dari si penguasa tersebut.

 

 Maka dari itu, setiap penguasa itu pada Hari Qiyāmat akan dimintai pertanggungjawabannya atas keadaan rakyatnya.

 

📌 Kata Baginda Nabī :

 

الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 

(arti) _“Imām adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.”_ [HR al-Bukhōrī no 893, 2409, 2558, 2751, 5188, 5200, 7138; Muslim no 1829; Abū Dāwūd no 2928; at-Tirmidzī no 1705; Ahmad no 4920, 5603, 5635, 5753].

 

 Itulah sebabnya pada surat dari Baginda Nabī  tersebut, Heraklius diancam menanggung dosa kekufuran rakyatnya apabila ia menolak untuk berīmān kepada Nabī Muhammad . Jadi penguasa ditambahkan dosa-dosa rakyatnya yang kāfir karena rakyatnya mengikuti kekāfiran dari si penguasa.

 

 Bagaimana dengan hadīts:

 

كَما تَكونوا يُولَّى عليكُمْ

 

(arti) _“Sebagaimana keadaan diri kalian, maka seperti itulah kalian akan dipimpin.”_ [HR ad-Dailamī, Musnad al-Firdaus dari Abū Bakroh; al-Baihaqī dari Abū Ishaq as-Sabi‘ī secara mursal].

 

 Ternyata hadīts tersebut telah dilemahkan oleh banyak ‘ulamā’ ahli hadīts, baik dari kalangan terdahulu seperti al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqolānī رحمه الله تعالى, maupun dari kalangan modern seperti Syaikh Muhammad Nashīruddīn al-Albānī رحمه الله تعالى.

 

Syaikh al-Albānī bahkan menghimpun keseluruhan jalurnya dalam kitāb beliau, yaitu: as-Silsilah Ahādīts adh-Dho‘ifah jil 1 hal 490-491 no 320, di mana beliau menilainya dho‘if seraya menyatakan bahwa fakta di lapangan justru mendustai (bertentangan) dengan hadīts tersebut. Syaikh al-Albānī di dalam komentarnya pada paragraf terakhir uraiannya berkata: "Kemudian makna hadīts yang dimaksud, menurut saya, tidak sepenuhnya tepat. Sejarah mengabarkan tentang kepemimpinan pemimpin shōlih setelah pemimpin yang tak shōlih, sedangkan rakyat yang dipimpin masih tetap sama."

 

📍 Imām ‘Abdullōh ibn al-Mubarok رحمه الله -seorang Tābi‘ūt Tābi‘īn (wafat 181 H)- di dalam sya‘irnya berkata:

 

وَهَلْ بَدَّلَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا ؟

 

(arti) _“Siapa lagi yang mengubah-ubah agama ini kalau bukan para raja, ‘ulamā’ yang jahat, dan para ahli ‘ibadahnya?”_ [lihat: Syu‘abul-Īmān no 6918].

 

 Jadi, sama sekali tak bisa menafikan bahwa rakyat itu justru adalah cerminan dari pemimpinnya, bukan sebaliknya.

 

📍 Diriwayatkan dari Ziyād ibn Hudair, bahwa ‘Umar ibn al-Khoththōb رضي الله عنه, pernah berkata kepadanya:

 

هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ الإِسْلاَمَ ؟ ، قَالَ قُلْتُ : لاَ ، قَالَ : يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ الأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ

 

(arti) _“"Apakah kamu tahu apa yang merubuhkan Islām?", dan Ziyād menjawab: "Tidak tahu.". Lalu ‘Umar berkata: "Yang merubuhkan Islām adalah tergelincirnya seorang ‘alim (‘ulamā’), perdebatan orang munāfiq dengan menggunakan al-Qur-ān, dan hukum / keputusan para pemimpin yang menyesatkan."”_ [Atsar Riwayat ad-Dārimī no 220 ~ dishohīhkan oleh Husayn Salim Asad ad-Daronī].

 

 Lalu bagaimana dengan QS al-An‘ām (6) ayat 129?

 

Cobalah perhatikan dan pelajari dengan baik firman Allōh  pada ayat yang suci tersebut:

 

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 

(arti) _“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zhōlim itu menjadi walī bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.”_ [QS al-An‘ām (6) ayat 129].

 

Maka justru pada ayat ini terdapat kata "بَعْضَ" dan kata "بَعْضًا" yang artinya adalah "beberapa" atau "sebahagian". Sehingga justru itu semakin mempertegas bahwa tidaklah muthlaq rakyat yang suka berbuat buruk akan diperintah oleh penguasa yang zhōlim, atau tidaklah muthlaq pula penguasa yang zhōlim itu berasal dari rakyat yang buruk.

 

Lebih lanjut…

 

📌 Kata Baginda Nabī  dalam sebuah hadīts mulia:

 

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

 

(arti) _“Sungguh Allōh akan mengutus (menghadirkan) bagi ummat ini (Ummat Islām) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir 100 tahun.”_ [HR Abū Dāwūd no 4291; al-Hākim no 8592; ath-Thobaroni, al-Mu‘jam al-Ausath no 6527 ~ dishohīhkan oleh Muhammad Nāshiruddīn al-Albānī, as-Silsilah al-Ahādīts ash-Shohīhah no 599].

 

 Jelas bahwa Allōh  akan membangkitkan orang yang akan memperbaiki keadaan keadaaan agama Ummat Islām yang telah rusak di setiap kurun 100 tahun.

 

🚫 Jadi, sama sekali tak bisa menjadikan ungkapan "pemimpin adalah cerminan rakyatnya" sebagai suatu qoidah yang muthlaq dan sudah paten, kemudian membangun darinya pemahaman bahwa rakyat harus "nrimo saja" terhadap kezhōliman penguasa, dus membiarkan punggungnya dihajar dan hartanya digasak, karena toh penguasa itu adalah cerminan dirinya sendiri. Tidak bisa! Sesat pikir itu namanya.

 

 Bahkan lebih konyolnya lagi, ada yang menuntut rakyat malah untuk mendo'akan kebaikan bagi si penguasa yang zhōlim itu. Sungguh itu qoidah yang bāthil, sesat menyesatkan…!!!

 

Penguasa justru punya pengaruh sangat besar terhadap kerusakan rakyat yang dipimpinnya.

 

Lihatlah di dalam al-Qur-ān, Allōh  menceritakan bagaimana rakyat yang mengikuti pemimpin-pemimpin yang zhōlim, yang tak di atas kebenaran, mereka itu kelak saat diadzāb di Neraka menyesali perbuatan mereka dulu di Dunia.

 

📌 Kata Allōh  mengisahkan di dalam firman-Nya:

 

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ۝ رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

 

(arti) _“Dan mereka berkata: 'Wahai Robb kami, sungguh kami telah menta'ati sādatanā kami dan kubarō-anā kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Wahai Robb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat, dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar!'”_ [QS al-Ahzāb (33) ayat 67-68].

 

Imām Ibnu Katsīr رحمه الله تعالى di dalam kitāb tafsīrnya menukil bahwa Thōwus رحمه الله تعالى menjelaskan bahwa "sādatanā" itu adalah "pembesar politik", sedangkan "kubarō-anā" adalah adalah "pembesar spiritual" [lihat: Atsar Riwayat Ibnu Abī Hātim].

 

 Orang-orang pada ayat suci itu dulu semasa hidup di Dunia menta'ati dan mengikuti para pembesar politik dan pembesar agama mereka, padahal para pembesar mereka itu telah menyelisihi para Nabiyullōh. Kenapa? Karena mereka dulu meyakini bahwa dengan mengikuti para pembesar itu akan memberikan manfaat. Mereka meyakini dirinya ada di atas kebenaran, padahal hakikatnya mereka justru jauh dari kebenaran.

 

📌 Kata Allōh  di dalam firman-Nya:

 

وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِندَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلَا أَنتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ ۝ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَىٰ بَعْدَ إِذْ جَاءَكُم ۖ بَلْ كُنتُم مُّجْرِمِينَ ۝ وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَن نَّكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَندَادًا ۚ وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الْأَغْلَالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا

 

(arti) _“(Wahai Muhammad,) Dan jikalau kelak di Ākhirot kamu melihat ketika orang-orang yang musyrik itu berdiri di hadapan Robb-nya, pasti kamu menyaksikan sesama mereka saling menyalahkan satu dengan lainnya. Orang-orang kāfir yang lemah dan menjadi pembeo, akan berkata kepada para pemimpin mereka yang dulu menyombongkan diri mengingkari al-Qur-ān: "Sekiranya di Dunia dulu kami tak mengikuti ajakan kalian, niscaya kami menjadi orang-orang yang berīmān!". Para pemimpin mereka yang dulu sombong mengingkari al-Qur-ān itu lalu berkata kepada para pengikutnya: "Setelah al-Qur-ān itu datang kepada kalian, apakah kami yang menyesatkan kalian dari petunjuk al-Qur-ān? Ataukah karena dosa-dosa kalian sendiri, lalu kalian menolak al-Qur-ān?". Orang-orang kāfir pembeo itu lalu berkata kepada para pemimpin mereka yang sesat: "Bukankah kalian di Dunia dulu siang dan malam membuat tipu-daya yang menyuruh kami semua untuk kāfir kepada Allōh dan menyembah sesembahan-sesembahan yang lain selain dari Allōh?". Para rakyat kāfir pembeo itu memendam rasa penyesalan tatkala mereka menyaksikan adzāb. Kami memasang belenggu-belenggu di atas tengkuk orang-orang yang kāfir.”_ [QS Saba’ (34) ayat 31-33].

 

📌 Kata Allōh  mengisahkan di dalam firman-Nya:

 

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنتُم مُّغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِّنَ النَّارِ ۝ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ

 

(arti) _“Dan ketika kaum Fir‘aun bertengkar di dalam Neraka, maka orang-orang yang pembeo dari kaum Fir‘aun berkata kepada para pembesar Fir‘aun yang dulunya sangat congkak: "Sungguh dulu kami adalah pengikut-pengikutmu, maka apakah kalian dapat menyelamatkan dari kami adzāb Neraka?". Para pembesar Fir‘aun yang dulu sangat congkak itu menjawab: "Kita semua sama-sama ada dalam penderitaan adzāb Neraka. Sungguh Allōh telah selesai dalam mengadili perkara hamba-hamba-(Nya)."”_ [QS al-Mu’min / Ghōfir (40) ayat 47-48].

 

Di dalam ayat yang lain Allōh  mengisahkan betapa para penguasa / pemimpin yang zhōlim itu malah mengelak dan berlepas diri.

 

📌 Kata Allōh  di dalam firman-Nya mengisahkan:

 

وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنتُم مُّغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِن شَيْءٍ ۚ قَالُوا لَوْ هَدَانَا اللَّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ ۖ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِن مَّحِيصٍ

 

(arti) _“Dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allōh, lalu berkatalah orang-orang yang lemah (para rakyat) kepada orang-orang yang sombong (para penguasa): "Sungguh kami dulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari adzab Allōh (walaupun hanya) sedikit saja?". Mereka (para penguasa) menjawab: "Seandainya Allōh memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepada kamu. Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tak mempunyai tempat untuk melarikan diri."”_ [QS Ibrōhīm (14) ayat 21].

 

Jadi paham ya, bahwa yang namanya pemimpin itu BUKAN cerminan dari rakyatnya, tetapi lebih tepat cerminan dari para PENDUKUNGNYA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh