Agama di Tangan ‘Ulamâ’

Pernah dengar nama Syaikh ‘Abdur-Rohmân ibn Nâshir as-Sa‘dî رحمه الله?

Beliau adalah seorang ‘ulamâ’ besar awal Abad ke-20, dengan kitâb tafsîr al-Qur-ân beliau yang sangat terkenal, yaitu: "Taisîr al-Karîmir-Rahmân fî Tafsîr Kalâmil-Mannân".

Syaikh as-Sa‘dî رحمه الله ini juga adalah guru dari hampir semua ‘ulamâ’ besar di Sa‘ûdi. Ke‘ilmuan beliau sangat diakui, khususnya di bidang tafsîr dan fiqih.

Begitu juga akhlâq beliau yang adalah teladan bagi yang mengaku dirinya "Salafiy in the modern age".

Berikut kisah tentang akhlâq beliau, sebagaimana dikutip secara bebas dari kisah guru saya pada sebuah kajian…

Suatu ketika, Syaikh as-Sa‘dî رحمه الله bersama dengan beberapa muridnya sedang berjalan di pasar. Lalu Syaikh melihat sebungkus rokok terjatuh dari saku seorang pemuda, sedangkan si Pemuda itu tak sadar.

Syaikh lalu mengambil bungkusan rokok itu lalu menyapa si Pemuda dan mengembalikan bungkusan rokok itu…

Selesai peristiwa itu, salah seorang murid Syaikh as-Sa‘dî yang menyertai beliau langsung bertanya dan protes…

Murid: "Wahai Syaikh, bukankah rokok itu harôm?"

Syaikh: "Iya…"

Murid: "Lalu mengapa anda kembalikan bungkusan rokok itu? Bukankah anda membantunya untuk bermaksiyat lagi?"

Syaikh: "Iya rokok itu memang harôm, tetapi bisa jadi si Pemuda itu karena kecanduannya terhadap rokok, lalu ia mendapati rokoknya hilang, maka ia membeli rokok lagi dengan uang yang seharusnya menjadi jatah bagi anak dan istrinya…"

Subhânallôh…!

Lihatlah agama di tangan orang yang betul-betul ber‘ilmu.

Tidak langsung judging…
Tidak langsung mencela…
Apalagi langsung mem-boycott…

Bahkan memberi udzur dan prasangka baik…

Benar-benar menerapkan qoidah bahwa setiap muslim itu adalah ‘adil (baik) sampai terbukti sebaliknya.

Jauh sekali dengan apa yang terjadi sekarang, di mana para pengaku yang paling nyunnah itu begitu mudahnya mengeluarkan orang dari Ahlus-Sunnah hanya karena 2-3 kesalahan (itu pun kebanyakan kesalahan yang mereka anggap salah, alias salah versi mereka).

Padahal kalau dipakai cara-cara brutal à la yang mengaku paling nyunnah itu, maka berapa banyak ‘ulamâ’ terdahulu harus dikeluarkan dari Ahlus-Sunnah karena berpendapat keliru?

Bahkan semua ‘ulamâ’ pasti pernah berpendapat keliru, pernah off-side.

Tidak ada ‘ulamâ’ yang tidak pernah berbuat kekeliruan…

Tidak al-‘Aimmah al-Arba‘ah…
Tidak Imâm an-Nawawi…
Tidak Imâm Ibnu Hazm…
Tidak Syaikhul Islâm…
Tidak Imâm Ibnu Hajar…
Tidak Imâm Ibnu Katsîr…
Tidak Imâm ash-Shon‘anî…
Tidak juga Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhâb.

Semua dari nama-nama ‘ulamâ’ besar رحمم الله اجمعين itu punya kesalahan, bahkan kesalahannya itu kalau menurut pandangan kita yang tak ber‘ilmu ini adalah cukup fatal…

Tapi tidak ada satupun ‘ulamâ’ yang mengeluarkan mereka dari golongan Ahlus-Sunnah.

‘Ulamâ’ berbuat kesalahan itu suatu kepastian, karena bukankah kema’shuman sudah pergi meninggalkan Dunia ini seiring dengan wafatnya manusia suci, Nabî Akhir Zaman, Nabî Terakhir, junjungan kita Baginda Nabî Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Maka dari itu, manusia itu dilihat dari pokok keyakinannya dan shifat-shifat yang ditampilkannya sehari-hari. Apabila dia betul-betul meyakini al-Qur-ân dan as-Sunnah, lalu di kesehariannya dia teguh meng‘amalkan dan menegakkan al-Qur-ân dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush-Shôlih, maka dia adalah Ahlus-Sunnah.

Walau dia punya 2-3 pendapat yang salah, atau ‘amalan yang keliru.

Makanya sebagaimana kata Imâm Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi‘î رحمه الله: "Orang yang baik itu adalah orang masih bisa dihitung kesalahannya".

Jadi apabila ada ustâdz, yang dia mengajarkan kebaikan yang sangat banyak, ratusan bahkan ribuan kebaikan yang dia ajarkan, lalu dia salah dalam belasan pendapat, maka itu manusiawi…

Tidak boleh serta merta dikeluarkan dari Ahlus-Sunnah, atau dituduh manhajnya bermasalah…

Apalagi cuma karena memperbolehkan demo menentang kebathilan si Penista al-Qur-ân dan meminta proses peradilan yang adil dan transparans…

Atau cuma karena mengatakan bahwa hukkâm yang terpilih dengan system democrazy dan berkhidmat kepada hukum Thôghût adalah bukan "ulil amri".

Atau ketika keliru dalam mengambil pendapat fiqih…

Tidak bisa begitu…

Karena itu bukanlah cara dari Ahlus-Sunnah bersikap, karena Ahlus-Sunnah itu adalah orang yang paling tahu akan kebenaran namun paling lembut kepada sesama manusia.

نسأل الله السلامة والعافية

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh