Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2023

Kenapa Ṣolāt Boleh Memakai Ḥisāb Tapi Hilāl Harus Diru’yah?

Gambar
Ada pertanyaan tentang kenapa penentuan waktu ṣolāt setiap hari tak masalah memakai ḥisāb dengan bantuan teknologi, sementara penentuan hilāl awal bulan Qomariyah seakan menjadi "buta teknologi" (baca: harus ru’yatul-hilāl)? Sebenarnya perbedaan antara penentuan waktu ṣolāt dengan penentuan awal bulan Qomariyah pernah dijelaskan oleh Imām Aḥmad ibn Idrīs al-Qorōfī al-Mālikiyy dalam kitābnya "Anwārul-Burūq fī Anwāil-Furūq" sekira 800 tahun lalu. Pertama ḥisāb itu sebetulnya hanya ìlmu hitung-hitungan yang kalkulasinya bisa dengan bantuan alat komputasi apapun, dan ia menghasilkan informasi posisi Matahari, Bulan, dan obyek-obyek Langit lainnya. Namun, ḥisāb itu tidak bisa menghasilkan Hukum Ṡarì, karena Hukum Ṡarì itu dihasilkan oleh fiqih melalui penentuan kriteria tertentu. Waktu ṣolāt itu ditetapkan oleh Sang Pemilik Ṡariàt, yaitu Allōh ﷻ‎, adalah dengan melihat posisi Matahari sehingga waktu ṣolāt itu masuk walau dengan apapun juga penentuan / perhitungannya dila

Lebaran Tanggal 21 April Ataukah 22 April?

Seorang sahabat bertanya tentang kenapa sih dari tahun ke tahun terus saja terjadi "keributan" perkara penentuan kapan berlebaran ini? Jadi seperti kita ketahui, dalam fiqih kontemporer ada 3 cara penentuan awal bulan Qomariyah, yaitu: ⑴. Ru’yatul-hilāl, yaitu melihat Bulan secara langsung. ⑵. Imkanur-ru’yah, yaitu penetapan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilāl dengan ketinggian / altitude Bulan di atas cakrawala minimum x°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum x°, atau pada saat Bulan terbenam usia bulan minimum x jam dihitung sejak ijtimā’ / konjungsi. ⑶. Ḥisab Falaki, yaitu: ijtimā’ telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam maka telah dianggap wujudul-ḥilāl atau awal bulan kalender Hijriyyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Adapun metode yang diajarkan oleh Baginda Nabī ﷺ‎ itu adalah yang metode pertama, yaitu ru’yatul-hilāl, yang mana

Kesombongan, Asal Kedurhakaan Iblīs

Kita semua pasti tahu kenapa Iblīs diusir dari Syurga, dan dila‘nat selama-lamanya, yaitu karena ia menolak saat diperintahkan untuk bersujud kepada Ādam. Namun, pernahkah kita membayangkan bagaimana kejadiannya waktu itu…? Mari tadabburi firman-Nya pada QS al-Ḥijr ayat 29 s/d 40 ini… Allōh ﷻ‎ berfirman mengisahkan: وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِّن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ ۝‎ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ ۝‎ فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ۝‎ إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ أَن يَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ (arti) _“Dan (ingatlah) ketika Robb-mu berfirman kepada para Malā-ikat: "Sungguh-sungguh Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya rūh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud!". Maka bersujudlah para Malā-ikat itu s

Polygamy = Dosa Berkesinambungan?

Gambar
Beberapa hari ini berlalu beberapa postingan di timeline saya perkataan-perkataan buruk tentang polygyny, yang mengecap perempuan yang mau dipolygyny sebagai pelakor, perempuan gatal perebut suami orang, sampai-sampai menganggap najis. Lucunya, semua mengaku dirinya Muslimah, mengaku berīmān kepada al-Qur-ān dan al-Ḥadiṫ, tidak menentang polygyny akan tetapi menganggap pelakunya melakukan dosa yang terus menerus karena "ada hati yang tersakiti". Subḥanallōh ṫumma naȕzubillāhi min żālik… Benar-benar pemikiran yang rusak terpengaruh Feminisme - Liberalisme yang terus dipropagandakan…! Bagaimana tidak…? Para penentang polygyny ini tidak bisa menentang kebolehan seorang laki-laki melakukan polygyny karena ia sangat jelas di dalam al-Qur-ān dan al-Ḥadiṫ yang ṣoḥīḥ. Apabila nekad menentangnya, mereka tahu konsekwensinya adalah kekāfiran! Lalu mereka mencoba masuk ke persoalan àdil dengan mengatakan bahwa pasti takkan bisa àdil 100%, karena pasti ada istri yang lebih dicintai. Namun

Apakah Zakāt Harus Diberitahu?

Gambar
Ada teman yang bertanya, apakah memberikan zakāt harus diberitahu kepada penerimanya tentang harta itu apa? Maka jawabannya adalah tergantung dari siapa penerimanya. 👥 Apabila penerimanya itu adalah badan ZIS / amil zakāt, atau LSM yang biasa menyalurkan zakāt, ataupun person yang biasa menyalurkan zakāt kepada mustaḥiq, maka WAJIB untuk diberitahukan bahwa apa yang diberikan itu adalah harta zakāt. Hal tersebut adalah agar zakāt itu tepat sasaran, sebab peruntukan zakāt hanya bisa kepada mustaḥiq yang termasuk dari 8 aṣnāf yang telah ditentukan oleh Allōh ﷻ‎ sebagaimana firman-Nya pada QS at-Taubah ayat 60 – link: https://bit.ly/3GMvOUm 👤 Adapun apabila penerimanya adalah orang perorangan yang memang kita pandang termasuk ke mustaḥiq yang termasuk ke 8 aṣnāf penerima zakāt, maka kita TIDAK PERLU memberitahukannya. 📌 Sebab prinsipnya adalah sebagaimana ḥadīṫ mulia: وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ (arti) _“Seseorang yang

Lagi, Lagi, dan Lagi Ribut Masalah Penentuan Hilāl

Gambar
Lagi-lagi kaum Muslimīn diributkan dengan kemungkinan berbedanya penentuan 1 Ṡawwal 1444H, atau Hari Raya Ȉd al-Fitri besok. Sebagian yang memakai metode ḥisab falaki mengatakan bahwa hilāl secara hitungan sudah wujud pada tanggal 20 April, sehingga tanggal 21 April sudah masuk bulan Ṡawwal. Sedangkan sebagian lain yang memakai metode "imkanur-ru’yah" mengatakan sudut derajat hilāl pada tanggal 20 April itu tak memungkinkan untuk terlihat. Sebab walaupun perhitungan matematis Astronomi menggunakan berbagai aplikasi di perangkat komputer mampu memberikan data-data ḥisab dari basis data efemeris, sehingga bisa menunjukkan posisi Bulan & Matahari dengan akurat, akan tetapi aplikasi-aplikasi itu sampai saat ini belum mampu untuk menghitung kontras cahaya ṡafaq. Apalagi mampu menghitung polusi cahaya di atmosfir / udara perkotaan. Aplikasi-aplikasi itu hanya bisa menghitung persentase iluminasi, tanpa bisa menghitung kontras pantulan cahaya itu dengan cahaya ṡafaq, padahal de

Apakah Saham Wajib Dizakāti?

Gambar
Seorang teman menjapri saya bertanya tentang apakah sahamnya wajib dizakāti? Kondisinya adalah teman ini berinvestasi di kebun kelapa sawit dalam bentuk kavling-kavling yang dikelola oleh koperasi. Setiap bulannya ia menerima "uang bersih" dari koperasi yang ditransfer langsung ke rekeningnya. Teman ini pernah mendengar bahwa saham wajib dizakāti, namun ia kesulitan dengan cara menghitung zakātnya bagaimana, sebab ia tidak punya akses mendapatkan data produksi, sediaan, uang kas, dan penjualan. Jadi begini… Para ùlamā’ fiqih kontemporer membagi dua hal tentang maksud kepemilikan saham itu, yaitu: ⑴. Saham yang dimiliki untuk diperjualbelikan, maka ini dianggap sebagai harta perdagangan yang wajib dizakāti. ⑵. Saham yang dimiliki untuk investasi dengan maksud mendapatkan deviden, maka para ùlamā’ berbeda pendapat tentangnya. Untuk saham yang dimiliki dimaksudkan untuk investasi, maka saya memilih pendapat ùlamā’ yang mengatakan itu TIDAK WAJIB dizakāti. Kenapa? Sebab orang ber

Kehendak Tuhan?

Saya perhatikan, sekarang ini orang sering sekali memakai perkataan "kehendak Tuhan" sebagai pembenaran atas apapun yang dilakukannya, terutama jika itu adalah perbuatan yang melanggar aturan. Contoh, kemarin pada acara talkshow sebuah stasiun TV, seorang mantan pejabat kesehatan tertinggi di negeri ini (yang punya gelar PhD dan SpJP) mengatakan tentang pengobatan dukunistik: "Semua penyembuhan itu sebenarnya yang menyembuhkan hanya Allōh subḥanahu wa taȁlā, bukan obat, bukan dokter, bukan siapapun juga…" Begitu juga seorang Narapidana kasus korupsi yang pembebasannya hari ini disambut besar-besaran, saat beberapa tahun lalu ia mengajukan Peninjauan Kembali kasusnya ke Mahkamah Agung, ia mengatakan: "Karena seaneh apapun, yang terjadi itu pasti berdasarkan ketentuan Tuhan…" Apa yang salah atas kedua pernyataan di atas? Begini, keduanya berangkat atas pemahaman yang keliru terhadap taqdir Allōh. Seorang Muslim mengīmāni bahwa kehendak Allōh meliputi segala

Huruf "ر" & Talaqqi

Gambar
Salah satu yang membuat saya makin yakin bahwa belajar al-Qur-ān adalah harus dengan terus-menerus "talaqqi" adalah pada saat menghadapi huruf "ر" (ro). Talaqqi, atau metode belajar dengan mendengarkan guru, adalah metode yang diajarkan dari Langit. Huruf "ر" (ro) dalam bahasa Àrab ini unik cara pelafalannya, karena ia bisa dilafalkan tebal (tafḳim) – mirip cara native speaker Inggris melafalkan huruf "r", yaitu semisal melafalkan kata "dear" atau "right" (lidah tak boleh bergetar terus) – atau ia bisa dilafalkan secara tipis (tarqiq), seperti cara orang Indonesia melafalkan "ri" pada kata "riang" atau "riak". Ada 8 keadaan pelafalan tafḳim pada huruf ro, yaitu: ⑴. Apabila huruf ro berbaris fatḥah, seperti pada kata "رَمَضَانَ". ⑵. Apabila huruf ro sukun dan sebelumnya huruf yang berbaris fatḥah, seperti pada kata "مَرْيَمَ". ⑶ . Apabila huruf ro sukun dan sebelumnya adalah hur

Al-Ḥajarul-Aswad

Gambar
Al-Ḥajarul-Aswad, adalah sebuah batu hitam yang diletakkan di sudut Timur Laut Ka‘bah yang sekaligus menjadi posisi dimulainya ritual ìbādah Ṭowāf. Berdasarkan dalīl, al-Ḥajarul-Aswad adalah sebuah batu yang Allōh ﷻ‎ turunkan dari Syurga ke Dunia. Namun para ùlamā’ berbeda pendapat apakah ia diturunkan kepada Nabī Ādam عليه السلام ataukah kepada Nabī Ibrōhīm ﷺ pada saat Beliau meninggikan pondasi Ka‘bah. Aslinya, al-Ḥajarul-Aswad itu warnanya putih seperti susu, namun dosa-dosa manusia membuatnya jadi hitam. 📌 Kata Baginda Nabī ﷺ‎: نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ ، فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ (arti) _“Al-Ḥajarul-Aswad turun dari Syurga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusia lah yang membuat batu tersebut menjadi hitam.”_ [HR at-Tirmiżī no 877 … di dalam riwayat lain disebutkan "lebih putih dari salju"]. Al-Ḥajarul-Aswad ini selalu dimuliakan oleh orang-orang Àrab walau pada masa Jāh

Baca Basmalah Sebelum Berma’ṣiyah?

Beredar potongan potongan vlog seorang artis muda anak dari mendiang daì yang dulu terkenal sebagai ustāżnya anak-anak muda, di mana si pemuda itu mengatakan bahwa dirinya kalau diajak teman-temannya minum ḳomr, ia menolaknya. Hanya saja si Pemuda itu minta kepada teman-temannya untuk membaca "Basmalah" terlebih dulu. What…??? 😱 Si Pemuda itu kemudian melanjutkan bahwa memang ḳomr itu ḥarōm, namun jalan hidāyah dari Allōh itu banyak jadi jangan dibatasi, karena Allōh itu Maha Baik. ❓ Bagaimana menyikapi pendapat seperti itu? Baiklah… Sungguh itu benar-benar pemahaman yang sangat keliru terhadap hidāyah…! Bagaimana tidak? Masa iya sebelum minum ḳomr baca "bismillāh" dulu? Atau sebelum berzina baca "allōhumma jannibnīṡ-ṡaiṭōna wa jannibiṡ-ṡaiṭōna mā rozaqtanā" dulu? Atau sebelum main judi baca "allōhumma innī as-aluka rizqon ḥalālan wa ṭoyyiban wa bārik lī fīhi" dulu? ❌ Tidak mungkin begitu, karena jalan hidayah TIDAK BISA dicari dengan berma’ṣiy

Ùjub

Kemarin berlalu perdebatan pada salah satu postingan seorang teman di mana ada Oknum X yang menulis bahwa dirinya adalah pendiri ini dan itu, ia aktif dalam organisasi keummatan ini dan itu, ia turut serta dalam pergerakan dan aksi keummatan, ia pengajar di sini dan situ, bahkan sampai memberikan link-link video ceramahnya. Seakan ingin menunjukkan, "ini diri gue, elo siapa?" Subḥanallōh… Padahal itu hanyalah perdebatan kecil yang lucu-lucuan saja, tapi sampai Oknum X itu harus menunjukkan betul dirinya siapa… Sungguh singa itu tak perlu mengaum keras-keras ketika masuk ke padang perburuan, karena semua tahu ia adalah singa… Namun yang lebih berbahaya dan lebih merusak dari perbuatan itu adalah karena ia salah satu bentuk dari "Rayap Àmal" yang bernama "ùjub". Iya, rayap àmal yang bernama ùjub, atau berbangga diri, itu sangat merusak àmal karena ia bisa menghanguskan àmal di sisi Allōh ﷻ‎. Ada sebuah kisah yang diriwayatkan dari ṣoḥābat Abū Huroiroh رضي ال