Al-Ḥajarul-Aswad

Al-Ḥajarul-Aswad, adalah sebuah batu hitam yang diletakkan di sudut Timur Laut Ka‘bah yang sekaligus menjadi posisi dimulainya ritual ìbādah Ṭowāf.


Berdasarkan dalīl, al-Ḥajarul-Aswad adalah sebuah batu yang Allōh ﷻ‎ turunkan dari Syurga ke Dunia. Namun para ùlamā’ berbeda pendapat apakah ia diturunkan kepada Nabī Ādam عليه السلام ataukah kepada Nabī Ibrōhīm ﷺ pada saat Beliau meninggikan pondasi Ka‘bah.

Aslinya, al-Ḥajarul-Aswad itu warnanya putih seperti susu, namun dosa-dosa manusia membuatnya jadi hitam.

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ‎:

نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ ، فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ

(arti) _“Al-Ḥajarul-Aswad turun dari Syurga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusia lah yang membuat batu tersebut menjadi hitam.”_ [HR at-Tirmiżī no 877 … di dalam riwayat lain disebutkan "lebih putih dari salju"].

Al-Ḥajarul-Aswad ini selalu dimuliakan oleh orang-orang Àrab walau pada masa Jāhiliyyah sekalipun, seperti ketika kaum Quroiṡ merenovasi bangunan Ka‘bah secara besar-besaran (sekira 5 tahun sebelum Baginda Nabī ﷺ‎ diutus). Kaum Quroiṡ berselisih keras tentang siapa yang berhak meletakkan kembali al-Ḥajarul-Aswad ke tempatnya semula, yaitu di sudut Timur Laut Ka‘bah. Saking kerasnya perselisihan itu, mereka hampir saja berperang, sebab saking terhormatnya al-Ḥajarul-Aswad bagi kaum Quroiṡ maka kabilah yang meletakkannya kembali akan dianggap lebih terhormat pula. Adalah seperti yang kita semua ketahui bahwa pemuda (Baginda Nabī) Muḥammad ﷺ‎ yang memberikan solusi atas masalah itu dengan meletakkan al-Ḥajarul-Aswad di atas surban Beliau, kemudian sisi-sisi surban itu dipegang oleh perwakilan dari kabilah-kabilah Quroiṡ, dan kemudian diangkat dan bersama-sama lalu (Baginda Nabī) Muḥammad ﷺ‎ yang memasangkannya di sudut Ka‘bah. Ketika itu al-Ḥajarul-Aswad masih berupa satu batu yang utuh.

Lalu kapan al-Ḥajarul-Aswad itu pecah menjadi 7 kepingan seperti yang kita dapati sekarang?

Jadi sekira tahun 64 Hijriyah, terjadi pengepungan kota Makkah oleh Jendral al-Ḥuṣain ibn Numair al-Sakūnī, panglima dari Yazid I dari Banī Ummayyah, yang menyerang kota Makkah dengan menggunakan mesin ketapel besar (manjanīq). Proyektil manjanīq itu mengenai bangunan Ka‘bah sehingga al-Ḥajarul-Aswad terpecah. Adalah Àbdullōh ibn az-Zubair ibn al-Àwwām رضي الله تعالى عنهما yang merangkaikan kepingan al-Ḥajarul-Aswad dengan bingkai perak.

Kemudian pada musim hajji tahun 317 Hijriyyah, kaum Ṡiàh dari sekte Qorōmiṭōh (yang berasal dari al-Ḥasā’, Baḥroin) yang dipimpin Abū Ṭōhir Sulaimān al-Jannābī, melakukan penyerangan kota Makkah. Sebelumnya, pada tahun 293/4 Hijriyyah kaum Ṡiàh sekte Qorōmiṭōh itu membantai 20.000 orang peziyaroh yang pulang dari berhajji ke Makkah. Abū Ṭōhir ini sangat licik, awalnya ia dan gerombolannya tak mampu memasuki kota Makkah, maka ia meminta "hak sebagai Muslim" untuk memasuki kota Makkah dengan bersumpah bahwa ia datang dengan damai. Namun begitu ia dan gerombolannya berada di dalam tembok kota, ia dan gerombolannya pun mulai membantai para peziyaroh. Mereka menunggang kuda mereka masuk ke Masjidil-Ḥarōm dan menyerang para peziyaroh yang sedang berìbādah. Saat membunuh para peziyaroh, Abū Ṭōhir mengejek mereka dengan menukil ayat-ayat al-Qur-ān dan berpuisi. Saking jahatnya Abū Ṭōhir ini, ia sampai memerintahkan mayat-mayat para peziyaroh yang dibantainya dimasukkan ke dalam sumur Zamzam. Naȕżubillāhi min żālik…!

Kemudian Abū Ṭōhir mencuri al-Ḥajarul-Aswad dan membawanya ke markasnya di al-Ḥasā’. Abū Ṭōhir meletakkannya di kuilnya sendiri dengan maksud mengalihkan hajji dari Makkah. Namun hal itu gagal, sebab para peziyaroh terus memuliakan tempat di mana al-Ḥajarul-Aswad aslinya berada, yaitu Makkah.

Al-Ḥajarul-Aswad dikembalikan sekitar 23 tahun kemudian, setelah Banī Àbbāsiyyah membayar tebusan yang jumlahnya sangat besar kepada kaum Ṡiàh sekte Qorōmiṭōh. Cara kaum Ṡiàh sekte Qorōmiṭōh itu mengembalikan al-Ḥajarul-Aswad itu juga sangat kurang ajar dan menghina, yaitu dengan dibungkus dalam karung dan dilemparkan ke Masjid Jāmi‘ pada saat ṣolāt Jumàt di kota Kūfah. Akibat dari pencurian dan perlakuan kasar oleh kaum Ṡiàh sekte Qorōmiṭōh tersebut, al-Ḥajarul-Aswad terpecah menjadi 7 kepingan.

Kemudian, penguasa kaum Muslimīn memerintahkan tukang emas untuk merangkaikan kepingan-kepingan al-Ḥajarul-Aswad itu dengan semen dan membingkainya dengan bingkai perak.

Kaum Muslimīn memuliakan al-Ḥajarul-Aswad bukanlah karena batu tersebut memberi manfaat atau muḍorot. Tidak.

Ḳolīfah Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي الله تعالى عبه suatu ketika mendatangi al-Ḥajarul-Aswad lalu menciumnya, kemudian Beliau berkata:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ‎ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

(arti) _“Sungguh aku mengetahui bahwa kamu hanyalah sebuah batu yang tak bisa mendatangkan muḍorot maupun manfaàt. Kalaulah bukan karena aku telah melihat Nabī ﷺ‎ menciummu, tentu aku takkan menciummu.”_ [HR al-Buḳōrī no 1597, 1605, *10; Muslim no 1270; an-Nasāī no 2937-8; Aḥmad no 95, 357; Mālik no 842].

Adapun kelak pada Hari Qiyāmat, al-Ḥajarul-Aswad akan bersaksi sebagaimana yang dikisahkan pada sebuah ḥadīṫ mulia.

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:

وَاللهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ يَشْهَدُ عَلَى مَنِ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ

(arti) _“Demi Allōh, Allōh akan mengutus batu tersebut pada Hari Qiyāmat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara, dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya.”_ [HR at-Tirmiżī no 961; Ibnu Mājah no 2944; Aḥmad no 2105, 2511, 2660, 8076; ad-Dārimī no 1881].

Demikian, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh