Apakah Zakāt Harus Diberitahu?


Ada teman yang bertanya, apakah memberikan zakāt harus diberitahu kepada penerimanya tentang harta itu apa?


Maka jawabannya adalah tergantung dari siapa penerimanya.

👥 Apabila penerimanya itu adalah badan ZIS / amil zakāt, atau LSM yang biasa menyalurkan zakāt, ataupun person yang biasa menyalurkan zakāt kepada mustaḥiq, maka WAJIB untuk diberitahukan bahwa apa yang diberikan itu adalah harta zakāt.

Hal tersebut adalah agar zakāt itu tepat sasaran, sebab peruntukan zakāt hanya bisa kepada mustaḥiq yang termasuk dari 8 aṣnāf yang telah ditentukan oleh Allōh ﷻ‎ sebagaimana firman-Nya pada QS at-Taubah ayat 60 – link: https://bit.ly/3GMvOUm

👤 Adapun apabila penerimanya adalah orang perorangan yang memang kita pandang termasuk ke mustaḥiq yang termasuk ke 8 aṣnāf penerima zakāt, maka kita TIDAK PERLU memberitahukannya.

📌 Sebab prinsipnya adalah sebagaimana ḥadīṫ mulia:

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

(arti) _“Seseorang yang berṣodaqoh dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.”_ [HR al-Buḳōrī no 1423, 6806; Muslim no 1031; at-Tirmiżī no 2391; an-Nasāī no 5380; Aḥmad no 9288; Mālik no 1826].

Tujuannya ini adalah agar tidak menyinggung perasaan mustaḥiq tersebut.

Selain itu, ada beberapa riwayat tentang zakāt tak perlu disebutkan.

📌 Baginda Nabī ﷺ‎ mengisahkan:

قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللّٰهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّه

(arti) _“Ada seorang lelaki yang mengatakan: "Malam ini saya akan membayar ṣodaqoh", lalu ia pun keluar rumah dengan membawa harta ṣodaqohnya. Kemudian ia berikan kepada perempuan pelacur (karena ketidaktahuannya). Pagi harinya, masyarakat pun membicarakan kalau tadi malam ada ṣodaqoh yang diberikan kepada perempuan pelacur. Orang itu pun lalu bergumam: "Wahai Allōh, segala puji bagi-Mu. Ṣodaqohku jatuh ke tangan pelacur! Saya akan memberi ṣodaqoh lagi.". Ternyata malam itu ia memberikan ṣodaqohnya kepada orang kaya. Pagi harinya, masyarakat pun membicarakan bahwa tadi malam ada ṣodaqoh yang diberikan kepada orang kaya. Orang itu pun lalu bergumam: "Wahai Allōh, segala puji bagi-Mu. Ṣodaqohku jatuh ke tangan orang kaya! Saya akan bayar ṣodaqoh lagi.". Maka malam itu ia serahkan ṣodaqohnya kepada pencuri. Pagi harinya, masyarakat membicarakan bahwa tadi malam ada ṣodaqoh yang diberikan kepada pencuri. Orang itu pun bergumam lagi: "Wahai Allōh, segala puji bagi-Mu. Ternyata ṣodaqohku jatuh ke tangan pelacur, orang kaya, dan pencuri!". Kemudian lelaki itu bermimpi dan dikatakan kepadanya, "Adapun ṣodaqohmu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya, sedangkan ṣodaqohmu kepada pelacur, mudah-mudahan dapat mencegahnya dari melacur kembali, dan ṣodaqohmu kepada orang yang kaya, mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfaqkan harta yang diberikan Allōh kepadanya.".”_ [HR al-Buḳōrī no 1421; Muslim 1022; an-Nasāī no 2523].

📌 Di dalam ḥadīṫ mulia lain, dikisahkan bahwa Ma‘na ibn Yazīd pernah mengadukan kepada Baginda Nabī ﷺ‎ bahwa ayahnya menitipkan sejumlah Dīnār ke seseorang di Masjid untuk diṣodaqohkan, lalu Ma‘n ketika di Masjid mengambil sebagian dari uang itu. Ketika ayahnya tahu Ma‘na mengambilnya, ayahnya pun marah kepada Ma‘na. Maka Baginda Nabī ﷺ‎ pun mengatakan:

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

(arti) _“Bagimu apa yang kamu niyatkan, wahai Yazīd. Sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil, wahai Ma‘na.”_ [HR al-Buḳōrī no 1422; ad-Dārimī no 1678].

📍 Kata Imām Yaḥya ibn Ṡarof an-Nawawī رحمه الله تعالى:

إذا دفع المالك أو غيره الزكاة إلى المستحق ولم يقل هي زكاة ، ولا تكلم بشيء أصلا أجزأه ، ووقع زكاة ، هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذي قطع به الجمهور ، وقد صرح بالمسألة إمام الحرمين – أي : الجويني وآخرون

(arti) _“Apabila seseorang seorang muzakki memberikan harta zakāt kepada mustaḥiq dengan tidak mengatakan bahwa itu zakāt, bahkan tak mengatakan apapun juga, maka hal itu diperbolehkan, dan tetap dianggap sebagai zakāt. Ini adalah mażhab ṣoḥīḥ maṡhur yang qoṭì dari jumhūr ùlamā’, dan telah dijelaskan tentang ini oleh Imām al-Ḥarōmain seperti al-Juwainī dan yang lainnya.”_

📍 Kata Imām Àbdullāh ibn Aḥmad ibn Qudōmah رحمه الله:

وإذا دفع الزكاة إلى من يظنه فقيراً لم يحتج إلى إعلامه أنها زكاة …

(arti) _“Dan apabila zakāt diberikan kepada orang yang diyakini faqīr dan ia tak butuh untuk diberitahukan bahwa itu adalah zakāt.”_

Namun apabila kita tak tahu keadaannya yang sesungguhnya, maka kita harus memberitahukannya agar ia bisa menolak atau menerima zakāt tersebut.

📍 Kata Ṡaiḳ Muḥammad ibn Ṣōlih al-Ùṫaimīn رحمه الله تعالى:

إذا أعطى الإنسان زكاته إلى مستحقها : فإن كان هذا المستحق يرفض الزكاة ولا يقبلها فإنه يجب على صاحب الزكاة أن يخبره أنها زكاة ؛ ليكون على بصيرة من أمره إن شاء رفض وإن شاء قبل ، وإذا كان من عادته أن يأخذ الزكاة فإن الذي ينبغي أن لا يخبره ؛ لأن إخباره بأنها زكاة فيه نوع من المنَّة ، وقد قال الله تعالى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى

(arti) _“Apabila seseorang memberikan zakātnya kepada mustaḥiq, maka jika si mustaḥiq menolak zakāt dan tak menerimanya, maka wajib atas muzakki untuk memberitahukannya bahwa itu adalah zakāt agar jelas urusannya jika ia hendak menolaknya atau hendak menerimanya. Dan jika kebiasaan si mustaḥiq itu adalah mengambil zakāt, maka yang pantas adalah tak memberitahukannya karena memberitahu bahwa itu zakāt adalah suatu bentuk penghinaan. Karena Allōh berfirman: "Janganlah membatalkan ṣodaqoh kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerimanya.".”

📍 Ṡaiḳ Ùbaid al-Jabīrī pernah ditanyakan tentang apakah dipersyaratkan ketika membayar zakāt kepada mustaḥiq harus diinformasikan bahwa itu adalah harta zakāt, sebab terkadang ada mustaḥiq yang menolak apabila tahu kalau itu adalah zakāt? Maka Ṡaiḳ menjawab:

لا تُبلِّغه ، دعْهُ في غفلته ، مادام أنه محتاج يعني فقيرًا أو مسكينًا أو غارمًا ، أو ابن سبيل ؛ من الأصناف الثمانية ، فأعطه ما تقدر عليه دون إبلاغه بذلك ، إلا إن ألحَّ عليك، فقل له : نعم هذا زكاة ، لكن إذا سكت فاسكت أنت ودعه في غفلته

(arti) _“Jangan beritahu kepadanya. Biarkan ia tak menyadarinya, selama ia termasuk orang yang butuh, yaitu faqīr, miskin, atau orang yang terbelit utang, atau ibnu sabīl, yang tergolong 8 aṣnāf. Silahkan berikan apa yang kamu mampu berikan, tanpa menyampaikan kepadanya bahwa itu zakāt. Kecuali jika ia terus menanyakan maka jawablah: "Iya, ini adalah zakāt". Namun apabila ia diam, sebaiknya kamu diam dan biarkan ia tak menyadarinya.”_

⚠️ Intinya, tak perlu memberitahukan zakāt kepada mustaḥiq yang tak menanyakannya dengan detail. Namun jika mustaḥiq tersebut bertanya-tanya, atau diketahui ia sering menolak zakāt, maka wajib memberitahukannya.

Demikian, semoga bermanfaat.


Referensi:
- https://tinyurl.com/yzyxvwmh
- https://tinyurl.com/2w3428fc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh