Lagi, Lagi, dan Lagi Ribut Masalah Penentuan Hilāl

Lagi-lagi kaum Muslimīn diributkan dengan kemungkinan berbedanya penentuan 1 Ṡawwal 1444H, atau Hari Raya Ȉd al-Fitri besok.


Sebagian yang memakai metode ḥisab falaki mengatakan bahwa hilāl secara hitungan sudah wujud pada tanggal 20 April, sehingga tanggal 21 April sudah masuk bulan Ṡawwal.

Sedangkan sebagian lain yang memakai metode "imkanur-ru’yah" mengatakan sudut derajat hilāl pada tanggal 20 April itu tak memungkinkan untuk terlihat. Sebab walaupun perhitungan matematis Astronomi menggunakan berbagai aplikasi di perangkat komputer mampu memberikan data-data ḥisab dari basis data efemeris, sehingga bisa menunjukkan posisi Bulan & Matahari dengan akurat, akan tetapi aplikasi-aplikasi itu sampai saat ini belum mampu untuk menghitung kontras cahaya ṡafaq. Apalagi mampu menghitung polusi cahaya di atmosfir / udara perkotaan. Aplikasi-aplikasi itu hanya bisa menghitung persentase iluminasi, tanpa bisa menghitung kontras pantulan cahaya itu dengan cahaya ṡafaq, padahal definisi hilāl sangat terkait dengan kontras cahaya.

Rumit ya? Ya iya…

Makanya bagi kembali lagi kepada ḥadīṫ mulia:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

(arti) _“Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak biasa menghitung. Satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah 29 dan sekali berikutnya 30 hari.”_ [HR al-Buḳōrī no 1913; Muslim no 1080; Abū Dāwūd no 2319; an-Nasāī no 2140-1; Aḥmad no 4775, 4891, 5768, 5855].

Ḥadīṫ mulia ini justru menunjukkan kemudahan dari agama Islām, bahwa tak perlu menguasai perhitungan matematis yang rumit ìlmu Astronomis, akan tetapi cukup dengan melihat (ru’yah) hilāl Bulan saja.

Kemudian, ada ḥadīṫ mulia lain yang memperkuat penggunaan ru’yah ini, yaitu:

إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا

(arti) _“Apabila kalian telah melihat hilāl, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya kembali, maka berpuasalah. Namun, apabila Bulan itu tertutup dari pandangan kalian (karena awan), maka berpuasalah sebanyak 30 hari.”_ [HR al-Buḳōrī no 1900; Muslim no 1081; an-Nasāī no 2119, *23, *28; Ibnu Mājah no 1654-5; Aḥmad no 6041, 7023, 7265, 7448, 7526, 14001; ad-Dārimī no 1728].

Namun apakah metode ḥisab lantas jadi keliru kah?

Ya tidak juga, karena dari semenjak dahulu pun ada sebagian ùlamā yang menggunakannya.

Namun ada beberapa catatan juga terhadap penggunaan metode ḥisab falaki ini, seperti: adanya perbedaan pendapat yang tentang kriteria penetapan awal bulan. Apakah dimulai pada saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima’, ataukah dimulai pada saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtima’. Ada pula kriteria bahwa apakah pada saat terbenam Matahari tersebut, hilāl sudah wujud di atas ufuq, yang sering disebut dengan model "wujudul-hilāl".

Sementara, di kelompok yang mensyaratkan wujud hilāl di atas ufuq dengan metode "imkanur-ru’yah" (berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilāl diru’yah) juga terjadi perbedaan pendapat di dalam menentukan batasannya. Ada yang memegang batasan 2°, ada yang 5°, serta macam-macam dan banyak lagi perbedaan yang tak perlu dituliskan di sini.

Intinya, kaum Muslimīn ini perlu otoritas pusat yang menentukan apakah memakai metode ru’yatul-hilāl dan atau metode ḥisab falaki, serta masing-masing bagaimana kriteria standarnya.

Seperti dulu ketika Julius Caesar (Diktator dari Republik Romawi Kuno) menetapkan Julian Calendar untuk mengakomodasi fakta bahwa setahun itu 365 dan ¼ hari. Ini untuk mengoreksi kalender Mesir kuno yang menetapkan bahwa setahun itu 365 hari (yang akibatnya setelah 730 tahun, musim dingin dengan musim panas bertukar tempat!).

Lalu pada tahun 1582 saat Gregorius XIII (pemimpin Gereja Katholik Roma) menetapkan Gregorian Calendar (untuk mengakomodasi bahwa setahun itu adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 45,25 detik – bukan 365¼ hari), sehingga pada tahun itu ada 10 hari yang hilang sebab ketika malam tanggal 4 Oktober berakhir, maka jam 00:00 nya adalah tanggal 15 Oktober.

Semua ikut Julius Caesar dan Gregorius XIII ketika mereka menetapkan kalender baru, karena mereka adalah "penguasa".

Adapun bagi kita masyarakat awam, ya ikut saja yang kita yakini. Karena kita tak paham bagaimana melihat hilāl itu, apalagi metode ḥisab falaki.

Demikian, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh