Kenapa Ṣolāt Boleh Memakai Ḥisāb Tapi Hilāl Harus Diru’yah?



Ada pertanyaan tentang kenapa penentuan waktu ṣolāt setiap hari tak masalah memakai ḥisāb dengan bantuan teknologi, sementara penentuan hilāl awal bulan Qomariyah seakan menjadi "buta teknologi" (baca: harus ru’yatul-hilāl)?

Sebenarnya perbedaan antara penentuan waktu ṣolāt dengan penentuan awal bulan Qomariyah pernah dijelaskan oleh Imām Aḥmad ibn Idrīs al-Qorōfī al-Mālikiyy dalam kitābnya "Anwārul-Burūq fī Anwāil-Furūq" sekira 800 tahun lalu.

Pertama ḥisāb itu sebetulnya hanya ìlmu hitung-hitungan yang kalkulasinya bisa dengan bantuan alat komputasi apapun, dan ia menghasilkan informasi posisi Matahari, Bulan, dan obyek-obyek Langit lainnya. Namun, ḥisāb itu tidak bisa menghasilkan Hukum Ṡarì, karena Hukum Ṡarì itu dihasilkan oleh fiqih melalui penentuan kriteria tertentu.

Waktu ṣolāt itu ditetapkan oleh Sang Pemilik Ṡariàt, yaitu Allōh ﷻ‎, adalah dengan melihat posisi Matahari sehingga waktu ṣolāt itu masuk walau dengan apapun juga penentuan / perhitungannya dilakukan. Kita tahu Matahari itu punya / memancarkan cahayanya sendiri.

Adapun penentuan awal hilāl bulan Qomariyah itu berbeda ṣifatnya. Awal bulan itu Allōh ﷻ‎ tetapkan adalah berdasarkan ru’yah hilāl (ketertampakan Bulan). Kita ketahui bahwa Bulan itu tak mempunyai cahaya sendiri, melainkan "cahaya"nya itu adalah pantulan dari cahaya Matahari pada permukaan Bulan. Jadi ketertampakan hilāl itu kontrasnya sangat bergantung pada faktor seperti polusi cahaya atmosfer, dan tentunya keadaan cuaca. Beda dengan Matahari punya cahaya sendiri sehingga "pasti" sekalipun cuaca mendung. Maka dari itu jumhūr (mayoritas) ùlamā’ fuqohā’ di Dunia menyepakati metode bahwa penentuan awal bulan Qomariyah adalah dengan metode "ru’yatul-hilāl" (ru’yah global) yang mana itu sesuai dengan dalīl-dalīl yang qoṭìy.

Mungkin jadi pertanyaan, bukankah baik Matahari maupun Bulan sama-sama punya periode edar yang bisa dihitung secara matematis?

Iya betul, semuanya bisa dihitung (ḥisāb) secara ìlmu Astronomi, NAMUN… perhatikan baik-baik dalīlnya:

⑴. Ṣolāt itu Allōh katakan pada "waktu-waktu yang ditentukan":

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

(arti) _“Sungguh-sungguh ṣolāt itu adalah satu ketetapan yang diwajibkan atas orang-orang mu’min yang tertentu waktunya.”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 103].

Kapan waktunya adalah berdasarkan pergerakan Matahari:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودًا

(arti) _“Dirikanlah ṣolāt sejak Matahari tergelincir sampai gelapnya malam, dan (dirikan pula Ṣolāt) Ṣubuh . Sungguh-sungguh Solāt Subuh itu disaksikan (oleh Malā-ikat).”_ [QS al-Isrō’ (17) ayat 78].

Jadi memang perintahnya adalah melihat pergerakan Matahari yang bisa dihitung.

Sedangkan…

⑵. Awal bulan Qomariyah, maka ḥadīṫ Nabī ﷺ jelas memerintahkan untuk "melihat":

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

(arti) _“Berpuasalah kalian dengan melihat (hilāl bulan Romaḍōn) dan berbukalah kalian dengan melihat (hilāl bulan Ṡawwāl).”_ [HR al-Buḳōrī no 1900; Muslim no 1080-1; at-Tirmiżī no 684, 688; an-Nasā-ī no 2116-20, *23, *24, *29, *89; Ibnu Mājah no 1654-5; Aḥmad no 6041, 7023, 7265, 7448, 7526, 14001, 15698; ad-Dārimī no 1728].

Dikarena ketertampakan hilāl (yang mana Bulan itu bukanlah penghasil cahaya seperti Matahari) maka ia bergantung pada beberapa hal terkhusus kondisi cuaca. Jikalau hilāl tampak, maka umur kalendernya adalah 29 hari, sedangkan kalau hilāl tak tampak maka genapkan (istikmāl) hari bulannya menjadi 30 hari, sebagaimana sabda Baginda Nabī ﷺ:

فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ

(arti) _“Jikalau Langit berawan tampak bagi kalian, maka genapkanlah jumlahnya (30 hari).”_

Apakah teknologi jadi ditinggalkan sama sekali karena melakukan metode ru’yatul-hilāl?

Jelas tidak, karena kapan waktu melihatnya hilāl, ke arah mana posisi melihatnya, kemungkinannya semua dihitung dengan ìlmu Ḥisāb Falaki (dan tentunya memakai alat komputasi dan aplikasi Astronomi), serta pemantauannya dilakukan memakai alat-alat optik.

Jadi tak tepat mempertanyakan kenapa perkara penentuan ṣolāt boleh memakai ḥisāb, namun penentuan awal bulan Qomariyah tetiba seakan jadi "buta teknologi".

Sebenarnya yang harus dipahamkan kepada ummat adalah bahwa mengikuti sesuatu di dalam urusan ìbādah itu harus tahu dan paham dalīl yang melandasinya, bukan sekadar semangat untuk beràmal, atau karena ikut-ikutan OrMas, apalagi "yang penting pokoknya berbeda dengan rezim".

Demikian, semoga bermanfaat.

هدانا الله و إياكم أجمعين


Rujukan:
- https://bit.ly/43U1vF1
- https://bit.ly/3KRK53j

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh