Polygamy = Dosa Berkesinambungan?

Beberapa hari ini berlalu beberapa postingan di timeline saya perkataan-perkataan buruk tentang polygyny, yang mengecap perempuan yang mau dipolygyny sebagai pelakor, perempuan gatal perebut suami orang, sampai-sampai menganggap najis.


Lucunya, semua mengaku dirinya Muslimah, mengaku berīmān kepada al-Qur-ān dan al-Ḥadiṫ, tidak menentang polygyny akan tetapi menganggap pelakunya melakukan dosa yang terus menerus karena "ada hati yang tersakiti".

Subḥanallōh ṫumma naȕzubillāhi min żālik…

Benar-benar pemikiran yang rusak terpengaruh Feminisme - Liberalisme yang terus dipropagandakan…!

Bagaimana tidak…?

Para penentang polygyny ini tidak bisa menentang kebolehan seorang laki-laki melakukan polygyny karena ia sangat jelas di dalam al-Qur-ān dan al-Ḥadiṫ yang ṣoḥīḥ. Apabila nekad menentangnya, mereka tahu konsekwensinya adalah kekāfiran!

Lalu mereka mencoba masuk ke persoalan àdil dengan mengatakan bahwa pasti takkan bisa àdil 100%, karena pasti ada istri yang lebih dicintai.

Namun perkara itu mentah lagi, karena àdil itu adalah dalam 2 perkara, yaitu:
⑴. Nafkah (belanja rutin, makanan, pakaian, dan tempat tinggal - di luar anak) sesuai dengan keadaan dan kesepakatan.
⑵. Hari menginap.

Makanya di dalam al-Qur-ān Allōh ﷻ‎ berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

(arti) _“Dan kamu sekali-kali pun takkan dapat berlaku àdil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai -pent), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 129].

Allōh ﷻ‎ tidak pernah mensyaratkan perkara àdil itu adalah perkara perasaan cinta dan emosi di dalam hati. Bahkan tak juga juga àdil di dalam memberikan pelayanan seksual, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, sebab hal tersebut lagi-lagi melibatkan perasaan dan emosi. Apalagi ṡahwah dan kebutuhan bāṭin yang dimiliki masing-masing istri tentu berbeda (sehingga suami takkan mungkin mampu menyamaratakan pemberian nafkah seksual terhadap semua isterinya). Maka dari itu larangan dari Allōh adalah "jangan terlalu cenderung" (فَلَا تَمِيلُوا).

Oleh karena itu junjungan kita, Baginda Nabī ﷺ‎, berdoa:

ٱللّٰهمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ

(arti) _“Wahai Allōh, inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki sementara aku tak memilikinya.”_ [HR Abū Dāwūd no 2134; at-Tirmiżī no 1140; an-Nasāī no 3943; Ibnu Mājah no 1971; ad-Dārimī no 2253].

⚠️ Dari doa tersebut, sangat jelas Baginda Nabī ﷺ‎ mampu àdil dalam membagi nafkah belanja dan membagi hari malam menginap, akan tetapi Baginda Nabī ﷺ‎ takkan mampu "membagi hati".

Kenapa?

Karena Allōh ﷻ‎ menjadikan pembatas antara manusia dengan hatinya, sebagaimana firman-Nya:

وَاعْلَمُوا أَنَّ ٱللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

(arti) _“Ketahuilah bahwa sungguh-sungguh Allōh membuat pembatas antara manusia dengan hatinya, sungguh-sungguh kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.”_ [QS al-Anfāl (8) ayat 24].

dan sabda Baginda Nabī ﷺ‎:

إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ ٱللهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

(arti) _“Sungguh-sungguh tiada seorang manusia pun melainkan hatinya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allōh. Siapa yang Allōh kehendaki, maka Dia akan meluruskannya, dan siapa saja yang Allōh kehendaki maka Dia akan membengkokkannya.”_ [HR at-Tirmiżī no 3522].

Bahkan kita ketahui rumah tangga Baginda Nabī ﷺ‎ pun ada kecemburuan-kecemburuan, karena jelas saat Baginda Nabī ﷺ‎ ditanyakan siapa orang yang paling dicintainya, maka jawabannya adalah Ibunda Àiṡah رضي الله تعالى عبها [lihat: HR al-Buḳōrī no 3662, 4358; Muslim no 2384; at-Tirmiżī no 3885- 6, *90; Ibnu Mājah no 101; Aḥmad no 17143].

Walau Ibunda Ȁiṡah menjadi istri kesayangan Baginda Nabī ﷺ‎, namun demikian, Ibunda Ȁiṡah pun tetap saja cemburu kepada Ibunda Ḳodijah رضي الله تعالى عبها, sebagaimana yang dikisahkan sendiri oleh Ibunda Ȁiṡah bahwa Nabi ﷺ jika menyebut tentang Ḳodijah maka Beliau ﷺ‎ memujinya dengan pujian yang sangat indah. Maka Ibunda Ȁiṡah cemburu lalu mengatakan bahwa Baginda Nabī ﷺ‎ terlalu sering menyebut-nyebutnya, padahal ia seorang perempuan yang sudah tua, dan Allōh telah menggantikannya dengan perempuan yang lebih baik darinya.

Maka jawaban Baginda Nabī ﷺ‎ atas perkataan Ibunda Ȁiṡah itu adalah:

مَا أَبْدَلَنِي ٱللهَ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي ٱللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ

(arti) _“Allōh àzza wa jalla tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan yang lebih baik darinya. Ia berīmān kepadaku tatkala orang-orang kāfir kepadaku, ia membenarkanku tatkala orang-orang mendustakanku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tak membantuku, dan Allōh telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allōh tak menganugerahkanku anak-anak dari perempuan-perempuan yang lain.”_ [HR al-Buḳōrī no 3821; Muslim no 2437; Aḥmad no 24864].

✔️ Jadi kecemburuan dalam pernikahan polygyny itu biasa saja, karena mana ada perempuan yang mau disaingi?

❌ Namun itu sama sekali BUKAN dan TIDAK PERNAH menjadi dosa yang terus menerus. Tidak ada "dosa karena tersakiti (akibat keberadaan madu)".

‼️ Perempuan yang mau menjadi istri madu itu BUKAN pelakor.

⁉️ Apakah berani nekad menuduh para Ummul-Mu’minīn رضي الله تعالى عبهن yang mulia tersebut dengan tuduhan keji seperti itu…?

☠️ Kalau iya, maka tidak usah lagi mengaku diri sebagai Muslimah…!!!

Silakan kalau mau diskusi.

… … …

Polygamy itu terdiri dari 2 macam, yaitu:
⑴. Polygyny (seorang laki-laki dengan beberapa istri).
⑵. Polyandry (seorang perempuan dengan beberapa suami).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh