Kartel Oleh Negara?

Salah seorang sahabat bertanya tentang apa "Logika Ekonomi"nya ketika rezim memaksa SPBU Swasta menetapkan harga tinggi yang sama dengan harga SPBU BUMN?


Jawabannya maka itulah yang dinamakan perilaku "kartel". Hanya saja kalau kartel itu adalah Swasta yang melakukannya secara diam-diam (karena akan dikejar sama Pemerintah), tetapi di sini malahan Pemerintah yang mengajak Swasta untuk membuat kartel. Iya, di mana-mana Pemerintah itu melawan perilaku monopolistik Swasta dengan undang-undang anti monopoli –kalau di Amrik namanya The Sherman Antitrust Act– karena dianggap merugikan perekonomian secara keseluruhan(**1). Sehingga siapapun yang sengaja melakukan perilaku monopolistik akan "dihajar" dengan undang-undang.

Kalau dikatakan SPBU Swasta itu melakukan "dumping", maka pertanyaannya yang harus ditanyakan dulu adalah "apa tujuannya", kemudian baru ditanyakan lagi "seberapa kuat mereka melakukan itu"?

Motif ekonomi itu harus ditanyakan karena ini terkait "Political Economics", sebab pemilik SPBU Swasta itu kita tahu adalah perusahaan asing asal Swiss. Anggaplah ia mau menguasai industri(**2) BBM di Nusantara, maka kita harus lihat apakah saat ini SPBU Swasta itu adalah pemain yang dominan di industri tersebut? Ini sangat penting karena first of all in order to do dumping (atau lebih tepatnya "predatory pricing") maka si pelaku harus jadi "dominant player" dulu di industri itu. Atau dalam hal ini harus punya outlet penjualan di mana-mana. Ini kan tidak ya? Jadi bagaimana ia mau effectively dumping the market when it doesn't have proper control of the market? 1st Stage of Monopolistic Predatory Pricing, yaitu: "Predation", saja tak bisa ia lakukan dengan efektif…

Maka, kalaupun ia sukses dengan kelakuan predation-nya itu (which is pasti!, karena tentunya konsumen pasti akan mengejar harga murahnya itu), maka kita masuk ke pertanyaan kedua di atas, yaitu: seberapa sanggup? Kita tahu pemilik SPBU Swasta itu adalah Vitol yang merupakan pemain terbesar independent dalam perdagangan energy di Dunia dengan total revenue ± US$ 230milyar di 2021 (nett profit $ 4milyar). Jadi anggaplah ada banyak uangnya untuk itu, cuma kembali lagi ke di atas, taruhlah ia bisa sukses menjual murah, tetapi ia tak punya jalur distribusi yang merata. Akibatnya ia akan berdarah-darah, karena predatory pricing itu pasti akan mengakibatkan loss, akan tetapi untuk menguasai pasar ya jelas tidak. So menjadi pertanyaan, bagaimana melakukan 2nd Stage of of Monopolistic Predatory Pricing, yaitu: "Recoupment"?

Lah iya dong, setelah sukses "membunuh" pelaku pasar lain, ia tak mungkin dong selama-lamanya pasang harga rugi berdarah-darah terus? Ia harus kembali menangguk keuntungan dengan menjual harga lebih mahal dari harga pasar persaingan sempurna, yaitu posisi Marginal Revenue = Marginal Cost(**3).

Jadi secara ‘ilmu Ekonomi yang saya pelajari lebih 30 tahun lalu, kebetulan konsentrasi saya adalah "Industrial Economics", adalah tak masuk akal kalau SPBU Swasta itu melakukan praktek "predatory pricing".

Yang tak masuk akal lagi adalah, kenapa Pemerintah yang "seharusnya" memerangi kartel dan monopoli malahan berkebijakan monopolistik…?
It just doesn't make sense!
Care to discuss it here?

… … …

📝 Note:
**1 – ini dikenal dengan terminologi "deadweight loss", yaitu hilangnya efisiensi pasar akibat kuantitas socio-optimal dari barang dan jasa tidak bisa diproduksi.
**2 – terminologi "industri" di dalam Industrial Economics adalah merujuk kepada sektor tertentu di dalam perekonomian.
**3 – setiap pelaku monopolistic market pasti melakukan ini, tidak mungkin tidak, karena mereka bukan yayasan kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh