Salah Itu Biasa, Mengakui Kesalahan & Meminta Ma'af Itu Luar Biasa!



Kemarin sebuah Fan Page yang melawan perkara ribā membuat suatu postingan keliru yaitu menyamakan dosa ribā dengan dosa kesyirikan. Maka Netizen pun mengkoreksinya… namun alih-alih menghapus postingan tersebut, admin-nya yang kebetulan seorang ummu-ummu malahan membuat postingan baru yang berusaha mengklarifikasi (baca: menegakkan benang basah) bahwa apa yang dipostingnya sebelumnya itu tidak salah.

Subhānallōh…

Saya langsung miris melihat kelakuan seperti itu… sebab itu benar apa yang dimaksud oleh Baginda Nabī ﷺ di dalam hadīts mulia:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

(arti) _“Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”_ [HR al-Bukhōrī, Adabul-Mufrod no 556; Muslim no 91; Abū Dāwūd no 4092; at-Tirmidzī no 1999; Ahmad no 3600].

Awalan hadīts mulia itu Baginda Nabī ﷺ menyatakan bahwa takkan masuk Syurga orang yang di hatinya ada kesombongan walau hanya sedikit saja, karena  Syurga itu hanyalah disediakan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri.

📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ

(arti) _“Negeri Ākhirot itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka Bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”_ [QS al-Qoshosh (28) ayat 83].

Adapun lawan dari sombong itu adalah sikap tawādhu‘.

❓ Maka apa makna dari tawādhu‘ tersebut?

Imām al-Fudhoil ibn ‘Iyādh رضي الله تعالى عنه menjelaskan bahwa makna dari tawādhu‘ itu adalah tunduk terhadap kebenaran dan menta'atinya walau dari siapa pun juga kebenaran itu didapatkan, sekalipun kebenaran itu datang dari orang yang paling bodoh / rendah sekalipun [lihat: Jāmi’ Bayānil-‘Ilmi wa Fadhlihi].

Imām Ibnul-Qoyyim al-Jauziyah رحمه الله تعالى mengatakan bahwa apabila seseorang menghadapi kebenaran dengan tunduk, ta'at, merendahkan diri, dan masuk di bawah penghambaannya (terhadap kebenaran), kebenaran itulah yang senantiasa menjadi pengaturnya, sebagaimana tuan mengatur budaknya. Hamba yang seperti inilah yang akan mendapatkan akhlāq tawādhu‘ [lihat: Madārijus-Sālikīn].

Maka memang susah tawādhu‘ itu, coba ketika kebenaran itu datang dari orang yang kita anggap rendah atau remeh, memangnya gampang apa menerimanya?

Tidak…! Berat itu, Bung & Zus…!

Bayangkan, seorang professor doktor ditegur karena salah oleh seorang mahasiswa semester 1?
Bayangkan seorang direktur ditegur karena salah oleh seorang anak magang?
Bayangkan seorang pejabat tinggi ditegur karena salah oleh seorang pegawai rendahan?
Bayangkan seorang majikan ditegur karena salah oleh pembantunya?
Bayangkan seseorangtua ditegur karena salah oleh anaknya?

Atau dalam hal ini seorang ikhwan / akhwat kibar admin pengelola dari FansPage dengan ratusan ribu follower?

Orang yang sombong tak mau mengakui kesalahan itu hina… karena ia menafikan fakta bahwa ia, sepandai apapun juga, semulia apapun juga, adalah tukang berbuat kesalahan.

Bukankah kata Baginda Nabī ﷺ:

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

(arti) _“Setiap anak Ādam adalah tukang berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.”_ [HR Ibnu Mājah no 4251; Ahmad no 12576; ad-Dārimī no 2769].

Ya memang berat bagi orang yang hatinya dipenuhi rasa sombong untuk mengakui kesalahannya…

❓ Namun apa kata Baginda Nabī ﷺ tentang tawādhu‘ ini?

📌 Baginda Nabī ﷺ mengatakan:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إَلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

(arti) _“Dan tidaklah seseorang tawādhu‘ karena Allōh melainkan Allōh akan menambah kemuliaannya.”_ [HR Muslim no 2588; at-Tirmidzī no 2029; Ahmad no 8647, 9268; Mālik no 1936; ad-Dārimī no 1718].

Jadi justru orang yang tawādhu‘ akan semakin dimuliakan oleh Allōh ﷻ, sedangkan orang yang sombong akan terhina… dan itu sudah kita lihat contoh orang-orang sombong di al-Qur-ān semisal: Namrud, Fir‘aun, Qōrūn, Abū Jahal dan Abū Lahab…

Kita berdo'a:

ٱللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ
{allōhumma aĥyinī miskīnan wa amitnī miskīnan waĥsyurnī fī zumrotil-masākīn}

(arti) "Wahai Allōh, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin." – makna "miskin" dari do'a yang diajarkan oleh Baginda Nabī ﷺ ini menurut Imām Ibnu Atsir رحمه الله تعالى  adalah tawādhu‘ [lihat: an-Nihayah fī Ghoribil-Hadīts].

… … …

📝 NOTE: Apabila teman-teman melihat saya salah, maka saya minta tolong untuk diingatkan dengan cara yang baik dan tepat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh