Menjadi Imām Sholāt Dadakan



Bagi saya pribadi, siapapun berhak menjadi imām sholāt. Iya, karena yang namanya imām sholāt itu adalah perkara agama yang ketentuannya pun ditentukan oleh Syari‘at.

Maka apa kata Syari‘at tentang syarat menjadi imām itu?

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ‎:

يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا) ، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

(arti) _“Yang (berhak) menjadi imām suatu kaum ialah yang paling banyak dan paling pandai membaca Kitābullōh. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang Sunnah. Jika mereka dalam Sunnah sama, maka yang lebih dulu hijroh. Jika mereka dalam hijroh sama, maka yang lebih dulu masuk Islām (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imām terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali atas seizinnya.”_ [HR Muslim no 673; Abū Dāwūd no 582-4; at-Tirmidzī no 235; an-Nasā-ī no 780; Ahmad no 21308].

Maka jelas syarat utama adalah FASIH & BANYAK HAFALAN, kemudian pengetahuan tentang Sunnah.

Karena saya tahu akan hadīts mulia ini, maka saya tahu diri saja tak mau nekad menjadi imām sholāt karena bacaan saya dan hafalan saya apalah.

Maka sungguh mengherankan ada yang nekad menjadi imām sholāt sementara al-Fātihah saja masih "dicurinya" juga menjadi "shirōtholladzīna amta ‘alaihim", kemudian tasydid tak dibaca dengan baik, bahkan antara "أ" dengan "ع" atau "س" dengan "ص" pun hampir tak ada bedanya, apalagi mad-madnya.

Padahal ketika al-Fātihah salah baca, maka itu RUKUN, dan BATAL lah sholāt dari ma’mumnya semua!

So hati-hati memilih imām ya gaes, apalagi menunjuk diri jadi imām.

Ngeri…!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh