Mencukur Botak = Harōm?



Beredar fatwa seseungustad sebagaimana pada video terlampir yang memfatwakan bahwa menggunduli (botak) rambut itu adalah harōm kecuali untuk ‘ibādah (yaitu tahalul dan aqiqoh)…

❓ Pertanyaannya: benarkah demikian?

Maka jawabannya ternyata tidak demikian, sebab larangan menggunduli rambut kepala itu hanya kepada para perempuan.

📌 Diriwayatkan dari ‘Alī ibn Abī Thōlib رضي الله تعالى عنه bahwa:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ تَحْلِقَ الْمَرْأَةُ رَأْسَهَا

(arti) _“Rosūlullōh ﷺ melarang perempuan menggundul kepalanya.”_ [HR at-Tirmidzi no 914-5; an-Nasā-ī no 5049].

Adapun kepada laki-laki, maka itu tergantung niyat dan keadaan di mana para ‘ulamā’ menggolongkan hukumnya menjadi:

⑴. ‘Ibādah kepada Allōh ﷻ, yang mana hal ini akan menjadikan pelakunya mendapat pahala.

Adapun ‘ibādah menggunduli kepala ini hanya terdapat pada 4 hal saja, yaitu:
⒜. Hajji, dan
⒝. ‘Umroh [lihat: Fathul-Bāri XXXXVIII/27].
⒞. ‘Aqiqoh bayi [lihat: HR at-Tirmidzī no 1519; Ahmad no 25930].
⒟. Ketika seorang kāfir baru berislām [lihat: HR Abū Dāwūd no 356; Ahmad no 14885].

Sebagian ‘ulamā’ mengatakan bahwa tak disarankan untuk menggunduli kepala selain dari keempat hal tersebut [lihat: Ibnu Taimiyyah, al-Istiqōmah I/256].

⑵. Kesyirikan, apabila itu dilakukan dalam rangka merendahkan diri kepada makhluq.

Ini contohnya adalah sebagian murid-murid shufi yang menggunduli rambutnya demi guru-gurunya [lihat: Ibnul-Qoyyim, Zādul-Ma‘ād IV/195].

⑶. Kebid‘ahan, apabila melakukan penggundulan kepala dalam rangka meng‘ibādahi Allōh ﷻ tetapi di luar keempat hal yang telah disebutkan di atas.

Ini contohnya adalah kaum Khowārij yang menggunduli rambut mereka sebagai tanda kezuhudan dan tanda mereka menolak keduniawian [lihat: HR al-Bukhōrī no 7562; Muslim no 1064 ~ Syarhul-‘Umdah I/231; Majmū’ al-Fatāwā XXI/118].

⑷. Harōm, apabila dilakukan karena:
⒜. Terjadinya mushībah, seperti kematian sanak-saudara [lihat: HR Muslim no 104 ~ Ibnu Hajar, al-Zawājir ‘an Iqtirōf al-Kabā-ir].
⒝. Ingin menyerupai orang kāfir [lihat: Abū Dāwūd no 4031].

⑸. Boleh, jika alasannya adalah untuk pengobatan (semisal karena kepalanya berkutu) atau untuk kesehatan (semisal karena keringat dapat mengakibatkan luka atau allergy) [lihat: Ibnu Taimiyah, Majmū’ al-Fatāwa XII/117].

⑹. Alasan selain dari hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang hal ini, ada yang mengatakan hukumnya adalah:
⒜. BOLEH berdasarkan hadīts riwayat Abū Dāwūd no 4192 dan 4195 [lihat: Ibnul-Qoyyim, Zādul-Ma‘ād IV/159; Hāshiyat al-Sindi ‘alā al-Nasā-i; Majmū’ al-Fatāwa XXI/119; Syarhul-‘Umdah I/230], dan
⒝. MAKRUH Tanzih bagi sebagian ‘ulamā (seperti Imām Mālik ibn Anas رحمه الله تعالى) [lihat: ‘Aunul-Ma‘būd XI/248].

🔗 Referensi: https://bit.ly/39u3tEj

… … …

☠ Adapun sesengustad di video ini, maka inilah contoh kasus sok-sok berpendapat tetapi berlebih-lebihan sekaligus juga kebid‘ahan karena tidak ada Salaf-nya sama sekali. Sesengustad inj adalah bukti orang yang menjawab seenak perutnya saja, padahal ia buta pendapat madz-hab, tak menggunakan ta’lil, tak melihat siyaq, tak melihat kasus permasalahannya, dan tak tahu maqoshid Syari‘ah, dlsb…

Intinya: JĀHIL…!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh