Imârotus-Sufahâ’

Di dalam sebuah riwayat, Rosûlullôh صلى الله عليه وسلم pernah menasihati Shohâbat Ka‘ab ibn ‘Ujroh رضي الله عنه dengan sebuah nasihat tentang bagaimana menyikapi imârotus-sufahâ’, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang dungu.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم:

أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ … أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي

(arti) _“Semoga Allôh melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang dungu … (yaitu) para penguasa negara sesudahku yang tak mengikuti petunjukku dan tak pula berjalan di atas sunnahku. Siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka serta menolong mereka dalam kezhôlimannya, maka dia bukanlah golonganku dan aku bukan pula termasuk dari golongannya, mereka takkan datang kepadaku di telagaku. Siapa saja yang tidak membenarkan kedustaan mereka serta tidak menolong kezhôlimannya, maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka, serta mereka akan mendatangiku di telagaku.”_ [HR Ahmad no 13919, 14746].

Perhatikan…!

❓ Apakah ciri dari imârotus-sufahâ’ itu…?

Yaitu para penguasa negara yang:
☠ Tidak mengikuti petunjuk Rosûlullôh.
☠ Tidak berjalan di atas sunnahnya Rosûlullôh.
☠ Suka berdusta.
☠ Berlaku zhôlim.

❗Ternyata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم memohon perlindungan bagi ummatnya dari imârotus-sufahâ’. Bahkan Baginda Nabî melarang ummatnya untuk membenarkan kedustaan dan menolong kezhôliman yang dilakukan oleh imârotus-sufahâ’ tersebut…!

❓ Bagaimana kalau ada yang nekad membenarkan kedustaan dan menjadi pendukung kezhôlimannya imârotus-sufahâ’ tersebut…?

Maka…

🔥 Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم menyatakan bahwa para pembela dan pendukung, apalagi antek, dari imârotus-sufahâ’ itu bukanlah ummat Beliau dan takkan menemui Beliau di al-Haudh kelak…!!! 🔥

Tidak main-main konsekwensi dari menjadi pendukung, membela-bela, apalagi jadi antek dari imârotus-sufahâ’ itu, yaitu: dikeluarkan dari ummatnya Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم…!!!

⚠ Jadi bukan hanya pelaku kebid‘ahan saja yang dilarang mendekati al-Haudh-nya Baginda Nabî, tetapi para penjilat imârotus-sufahâ’ juga!

☠ Jadi percuma saja berbusa-busa mulutnya mengatakan atau pegal jarinya mengetikkan "menegakkan Tauhîd, menebar cahaya sunnah, dengan pemahaman Salafush-Shôlih", akan tetapi kenyataannya malah membenarkan kedustaan, menjadi pendukung kezhôliman, bahkan bangga jadi penjilat telapak kaki imârotus-sufahâ’. ☠

⚠ Menta'ati penguasa itu ada guidelinesnya.

Apa guidelinesnya itu?

1⃣ Keta'atan itu harus sejalan dengan keta'atan kepada الله dan Rosûl-Nya.

Dalîlnya adalah:

⒜. Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

(arti) _“Wahai orang-orang mu’min, ta'atilah Allôh dan ta'atilah Rosûl(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allôh (al-Qur-ân) dan Rosûl (sunnah) jika kamu benar-benar berîmân kepada Allôh dan Hari Âkhirot. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”_ [QS an-Nisâ’ (4) ayat 59].

Perhatikan…!

❗ Keta'atan kepada waliyul amri itu bersyarat, karena الله tak menyebutkan kata "أَطِيعُوا" (ta'atilah) sebelum menyebutkan kata "ulil amri", sehingga para ‘ulamâ’ menjelaskan bahwa itu menekankan bahwa keta'atan kepada ulil amri itu haruslah seiring dan sejalan dengan keta'atan terhadap الله dan Rosûl-Nya. Kemudian hal itu dipertegas lagi bahwa apabila terjadi perselisihan, maka harus dikembalikan kepada al-Qur-ân dan as-Sunnah.

⒝. Kata Nabî صلى الله عليه و سلم:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ

(arti) _“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allôh meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak hitam dari Habasyah yang cacat hidung atau telinganya, maka dengarlah dan ta'atilah ia selama ia memimpin kalian dengan Kitâbullôh.”_ [HR at-Tirmidzî no 1706; an-Nasâ-î no 4192; Ibnu Mâjah no 2861; Ahmad no 16052, 22150, 25999, 26001, 26005, 26007, 26009].

⚠ Jelas bahwa keta'atan kepada siapapun itu bersyarat, yaitu harus mengikut kepada Kitâbullôh dan as-Sunnah.

❓ Maka pertanyaannya:
✗ Apakah mungkin penguasa yang tidak menegakkan hukum الله dan tidak mengatur urusan Dunia dengan syari‘at yang الله turunkan lalu didapuk sebagai "ulil amri secara syar‘i"?
✗ Apakah mungkin penguasa yang mendasarkan kekuasaannya pada Wetboek buatan Kolonial Belanda lantas dikatakan sebagai "amirul mu’minîn"?

Lalu bagaimana sikap terhadap penguasa itu tidak berhukum dengan Hukum الله dan mengatur urusan duniawi dengan syari‘at yang diturunkan oleh الله…?

Maka masuk kepada guidelines kedua…

2⃣ Kepatuhan hanya terhadap hal-hal yang ma‘rûf (baik).

Dalîl-nya adalah sebuah riwayat dari Kholîfah ‘Alî ibn Abî Thôlib رضي الله عنه.

📌 Kata Kholîfah ‘Alî رضي الله عنه mengisahkan:

بَعَثَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً ، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ ، فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ تُطِيعُونِي قَالُوا بَلَى‏ ، قَالَ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ، ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا ، فَجَمَعُوا حَطَبًا فَأَوْقَدُوا ، فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ، قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِرَارًا مِنَ النَّارِ ، أَفَنَدْخُلُهَا ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتِ النَّار ُ، وَسَكَنَ غَضَبُهُ ، فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏:‏ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

(arti) _“Nabî صلى الله عليه و سلم pernah mengutus sebuah ekspedisi tempur dan mengangkat Shohâbat dari kalangan al-Anshôr (‘Abdullôh ibn Hudzafah) sebagai komandan mereka, dan Beliau memerintahkan mereka untuk menta'atinya. Selanjutnya (di dalam perjalanan), dia ('Abdullôh ibn Hudzafah) menjadi marah dan mengatakan: "Bukankah Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم telah memerintahkan kalian untuk menta'atiku?", "Ya" jawab mereka. Dia ('Abdullôh ibn Hudzafah) mengatakan: "Karena itu, aku ingin jika kalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api unggun, kemudian kalian masuk ke dalamnya!". Mereka pun mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api. Tatkala mereka mau memasukinya, satu sama lainnya saling memandang. Sebagian mengatakan: "Bukankah kita mengikuti Nabî صلى الله عليه و سلم untuk menjauhkan diri dari api, lalu mengapa sekarang kita malah mau memasukinya?". Tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba api unggun itu padam dan kemarahannya (‘Abdullôh ibn Hudzafah) pun mereda. Maka hal ini kemudian dilaporkan kepada Nabî صلى الله عليه و سلم, lantas Beliau mengatakan: "Kalaulah mereka memasukinya, niscaya mereka tidak bisa keluar dari api tersebut selama-lamanya!"”_ [HR al-Bukhôrî no 7145; Muslim no 1840; Ahmad no 588, 969].

Perhatikan…!

❗ Walaupun ‘Abdullôh ibn Hudzafah رضي الله عنه adalah komandan pasukan ekspedisi tempur yang ditunjuk langsung oleh Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم, yang artinya ‘Abdullôh ibn Hudzafah tak mungkin tidak berhukum dengan Hukum الله dan mengatur urusannya tidak dengan syari‘at yang diturunkan oleh الله, namun saat ia memerintahkan suatu kemaksiyatan, maka tak boleh untuk ta'at!

☠ Maka apalagi jika penguasa yang memerintahkan kezhôliman itu adalah seorang pendusta lagi suka berbuat kefâjiran yang mendasarkan kekuasaannya pada Wetboek buatan Kolonial Belanda…???

⚠ Kuncinya adalah: "tiada keta'atan dalam kemaksiyatan terhadap الله, keta'atan hanya adalah dalam perkara yang ma‘rûf (baik)".

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

(arti) _“Tiada keta'atan dalam kemaksiyatan. Keta'atan hanyalah dalam hal yang ma‘rûf (baik).”_ [HR al-Bukhôrî no 7257; Muslim no 1840; Abû Dâwud no 2625; an-Nasâ-î no 4205; Ahmad no 686].

Jadi kalau itu peraturan adalah peraturan keselamatan tranportasi, peraturan keamanan konstruksi bangunan, peraturan kesehatan dan keselamatan kerja, peraturan ketertiban dan keamanan lingkungan, peraturan perlindungan konsumen, dlsb, maka wajib untuk dita'ati.

🚫 Sedangkan jikalau kita disuruh untuk bermaksiyat, misalnya: melegalisasi pelacuran, perjudian, dan peredaran khomr, apalagi mencampuradukkan per‘ibadahan dengan orang kuffâr, maka wajib untuk menentangnya, di mana penentangan itu setidaknya adalah dengan menyuarakan ketidaksetujuan melalui lisan dan tulisan, bukan malahan langsung pasang posisi "selemah-lemah îmân".

Apakah bisa ta'at dengan memilih-milih begitu?

Bisa!

Perhatikan hadîts mulia berikut ini…

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

أَلَا إِنِّي أُوشِكُ أَنْ أُدْعَى فَأُجِيبَ فَيَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِي، يَقُولُونَ بِمَا يَعْلَمُونَ ، وَيَعْمَلُونَ بِمَا يَعْرِفُونَ، وَطَاعَةُ أُولَئِكَ طَاعَةٌ ، فَيَلْبَثُونَ كَذَلِكَ دَهْرًا ، ثُمَّ يَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِهِمْ ، يَقُولُونَ مَا لَا يَعْلَمُونَ ، وَيَعْمَلُونَ مَا لَا يَعْرِفُونَ ، فَمَنْ نَاصَحَهُمْ ، وَوَازَرَهُمْ ، وَشَدَّ عَلَى أَعْضَادِهِمْ فَأُولَئِكَ قَدْ هَلَكُوا ، خَالِطُوهُمْ بِأَجْسَادِكُمْ ، وَزَايِلُوهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ ، وَاشْهَدُوا عَلَى الْمُحْسِنِ بِأَنَّهُ مُحْسِنٌ ، وَعَلَى الْمُسِيءِ بِأَنَّهُ مُسِيءٌ

(arti) _“Ingatlah, aku khawatir akan dipanggil lalu aku harus menghadap (kepada Allôh), kemudian sepeninggalku kalian dipimpin oleh orang-orang yang mengatakan apa yang mereka ketahui (berupa kebaikan) dan meng‘amalkan apa yang mereka kenal. Maka, ta'at kepada mereka itulah keta'atan (yang sebenarnya). Itu akan berlangsung selama beberapa lama. Selanjutnya kalian akan diperintah oleh orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dan meng‘amalkan apa yang tidak mereka kenal. Siapa yang jadi penasihat mereka, atau jadi pembantu mereka, serta menguatkan kedudukan mereka, maka mereka itulah yang akan celaka! Pergaulilah mereka dengan jasad kalian, tetapi berpisahlah dengan mereka melalui ‘amalan kalian. Persaksikan bahwa yang baik itu adalah baik, dan yang buruk itu adalah buruk.”_ [HR ath-Thobrôni, al-Mu‘jam al-Ausath no 6988; al-Baihaqî, az-Zuhd al-Kabir no 191].

Perhatikan…!

❗ Pada hadîts mulia tersebut Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم memperingatkan akan adanya pemimpin yang melakukan apa yang mereka kenal, artinya mereka mengenali kebaikan dan Sunnah lalu meng‘amalkannya. Pemimpin seperti inilah yang harus dita'ati dengan keta'atan yang sebenarnya, bukan dalam keadaan terpaksa.

🔥 Kemudian akan ada pemimpin yang tidak tahu kebenaran atau mereka meng‘amalkan sesuatu yang mereka tidak tahu baik atau buruknya, dengan kata lain mereka tak lagi berpegang pada Sunnah Nabî. Pemimpin seperti ini dipergauli hanya dengan jasad yang tetap ada bersama mereka, tetapi perbuatan wajib berpisah dari mereka. Artinya, tak boleh mengikuti apa yang mereka lakukan.

Salah satu bentuk pemisahan diri itu adalah dengan tidak mematuhi perintah yang bernuansa kemaksiyatan.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

سَيَلِيْكُمْ أُمَرَاءُ بَعْدِيْ يُعَرِّفُوْنَكُمْ مَا تُنْكِرُوْنَ ، وَيُنْكِرُوْنَ عَلَيْكُمْ مَا تَعَرِّفُوْنَ ، فَمَنْ اَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ ، فَلاَ طَاعَةَ لِمَنْ عَصَى اللهَ

(arti) _“Sepeninggalku nanti akan ada masanya kalian dipimpin oleh para penguasa yang mereka menganggap baik apa yang kalian anggap munkar dan mengingkari apa yang kalian anggap baik. Siapa saja dari kalian yang mendapati yang demikian itu, maka tidak ada keta'atan kepada orang yang bermaksiyat kepada Allôh.”_ [HR al-Hakim, al-Mustadrok III/356 ~ dinilai hasan lighoirihi oleh Muhammad Nashîruddîn al-Albânî, as-Silsilah ash-Shohîhah no 590].

Perhatikan…!

⚠ Adalah pesan dari Baginda Nabî untuk memberi kesaksian bahwa yang baik itu adalah baik, dan yang buruk itu adalah buruk – dengan kata lain, apabila menjumpai pemimpin seperti itu, maka yang baiknya harus dikatakan sebagai baik sedangkan yang buruknya harus dikatakan sebagai buruk.

Hal itu selaras dengan hadîts shohîh yang diriwayatkan dari Shohaabat ‘Ubâdah ibn ash-Shômit  رضي الله عنه, di mana salah satu isi bai‘at mereka kepada Baginda Nabî adalah:

وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا ، لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

(arti) _“Agar kami mengatakan yang kebenaran di mana pun kami berada dan tidak takut dengan celaan para pencela.”_ [HR al-Bukhôrî no 7199, 7200; Muslim no 1709; an-Nasâ-î no 4149, 4150, 4151, 4152, 4153, 4154; Ibnu Mâjah no 2866; Ahmad no 15099, 21623, 21657, 21666; Mâlik no 999].

Adalah sangat tegas perintah untuk mengatakan baik itu baik dan buruk itu buruk, menunjukkan tak boleh ada penyembunyian kebenaran saat kita menilai pemimpin. Yang baik harus dikatakan sebagai baik, sedangkan yang buruk harus dikatakan sebagai buruk, dan itu bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan menjelaskan kebenaran dan amar ma‘rûf nahyi munkar.

⚠ Tentunya penjelasan itu harus dengan cara yang baik, bukan dengan caci-maki yang tak pada tempatnya, serta benar-benar menginginkan suatu kebaikan dan kemaslahatan kaum Muslimîn atas dasar Syari‘at Islâm.

Demikian, semoga dapat dipahami - والله أعلمُ بالـصـواب .

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh