Menyentuh Perempuan Membatalkan Wudhu’?

Lagi rame Pakde DILAN dibully di FPnya gara-gara masalah berjabatan-tangan dengan seorang perempuan pada sebuah acara, di mana acara itu katanya dilanjutkan dengan sholât. Ribut mempermasalahkan kenapa Pakde tidak berwudhu’ lagi.

Sebenarnya ada 2 permasalahan di sini, yaitu:

🔴 Masalah Pertama ⇒ apakah wudhu’nya seorang laki-laki yang bersentuhan dengan perempuan itu batal atau tidak?

Maka para ‘ulamâ’ berselisih pendapat soal ini, di mana setidaknya ada 3 pendapat utama:

⒜. Pendapat pertama bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu’ secara muthlaq. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imâm Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi‘î dan Imâm Ibnu Hazm, di mana ini adalah pendapat dari Shohâbat ‘Abdullôh ibn Mas‘ûd رضي الله عنه dan ‘Abdullôh ibn ‘Umar رضي الله عنهما.

⒝. Pendapat kedua bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu’ secara muthlaq. Pendapat ini dipilih oleh Imâm Abû Hanifah dan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah, di mana pendapat ini adalah pendapat dari Shohâbat ‘Abdullôh ibn ‘Abbâs رضي الله عنهما, dan para Tâbi‘în seperti Thowus ibn Kaisan, al-Hasan al-Bashri, ‘Atho’ ibn Abî Roba’.

⒞. Pendapat ketiga bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu’ hanya apabila disertai dengan syahwat. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imâm Mâlik ibn Anas dan pendapat yang masyhur dari Imâm Ahmad ibn Hanbal.

❓ Pertanyaan: pendapat manakah yang seharusnya dipilih…?

Jawabannya sederhana…

⚠ Karena di Indonesia ini mayoritas penduduknya adalah bermadzhab asy-Syâfi‘î, organisasi-organisasi muslimnya bermadzhab asy-Syâfi‘î, maka tentunya yang lazim dipakai oleh penduduknya adalah madzhab asy-Syâfi‘î pula, di mana kata para imâm dan ‘ulamâ’ madzhab asy-Syâfi‘îyah bahwa menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu’ secara muthlaq. Titik.

Ya tentunya akan ada yang nekad membela-bela Pakde -siapa lagi kalau bukan GPK Kokohiyyun?- dengan pembelaan yang mengangkat bahwa madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa menyentuh perempuan tak membatalkan wudhu’, serta juga menurut madzhab Hanabilah bahwa wudhu’ tak batal selama menyentuhnya tidak bersyahwat (maksudnya -ma'af- ereksi).

Baiklah…

Maka itu justru membawa kepada pembahasan hal kedua seperti yang dinyatakan di atas.

🔴 Masalah Kedua ⇒ bagaimana hukumnya laki-laki berjabat-tangan dengan perempuan yang bukan mahrom / bukan isteri?

Tentang hal ini, para ‘ulamâ’ juga berselisih pendapat, di mana secara garis besar ada 2 pendapat utama, yaitu:

⒜. Pendapat pertama bahwa diperbolehkan berjabat-tangan dengan perempuan yang sudah tua yang laki-laki tak bersyahwat / tertarik lagi dengannya, atau bagi seorang laki-laki tua yang sudah tak bersyahwat dengan perempuan lagi, atau antara perempuan yang sudah tua dengan laki-laki yang sudah tua. Pendapat itu adalah pendapat yang diambil oleh para ‘ulamâ’ madzhab Hanafiyah dan Hanabilah.

⚠ Tetapi ada syarat muthlaq yang harus dipenuhi yaitu: harus aman dari syahwat antara satu dengan yang lainnya, sebab keharôman berjabatan-tangan yang mereka anggap adalah karena dikhawatirkan terjerumus dalam fitnah zina. Jika keduanya berjabatan-tangan tidak dengan syahwat, maka dianggap kecil kemungkinannya fitnah akan muncul.

⒝. Pendapat kedua bahwa harôm berjabat-tangan dengan perempuan yang bukan mahrom, sekalipun terhadap perempuan tua yang mana laki-laki tak tertarik lagi padanya. Artinya, tak dibedakan apakah perempuan itu sudah tua ataupun masih muda. Pendapat ini adalah pendapat yang masyhur dari para ‘ulamâ’ madhzab Malikiyah dan asy-Syâfi‘îyah.

❓ Pertanyaan: pendapat manakah yang seharusnya dipilih…?

Jawabannya masih tetap sederhana saja…

⚠ Karena Indonesia ini mayoritas penduduknya bermadzhab asy-Syâfi‘î, organisasi-organisasi muslimnya bermadzhab asy-Syâfi‘î, maka tentunya yang lazim dipakai oleh penduduknya adalah madzhab asy-Syâfi‘î pula, di mana kata para imâm dan ‘ulamâ’ madzhab asy-Syâfi‘îyah bahwa berjabatan-tangan dengan perempuan yang bukan mahrom itu tidak diperbolehkan secara muthlaq. Titik.

Tambahan…

☠ Berjabat-tangan antara laki-laki muda dengan perempuan muda yang bukan mahrômnya - maksudnya muda di sini adalah yang masih bersyahwat dan masih bisa tertarik atau ditertariki - maka itu dihukumi harôm oleh banyak sekali ‘ulamâ’ madzhab, baik dari madzhab Hanafiyah, Mâlikiyah, asy-Syâfi‘îyah, dan Hanabilah. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah.

Hal ini adalah sebagaimana petunjuk dari Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

(arti) _“Ditusuknya kepala seorang laki-laki dengan paku besar dari besi, sungguh itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang bukan mahromnya.”_ [HR ath-Thobrônî, al-Mu‘jam al-Kabîr XX/211].

Tapi kan Pakde DILAN itu kan somebody gitu loh? Kan dia seleb, pasti banyak dong yang mau salaman sama dia?

Maka kita bawakan hadîts mulia dari Ibunda ‘Â-isyah رضي الله عنها berikut ini…

📌 Kata Ibunda ‘Â-isyah رضي الله عنها:

كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- " انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ " ؛ وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ - قَالَتْ عَائِشَةُ - وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ " قَدْ بَايَعْتُكُنَّ " ؛ كَلاَمًا

(arti) _“Apabila perempuan mu’minah berhijroh kepada Rosûlullôh, maka mereka diuji dengan firman Allôh ‘Azza wa Jalla: "Wahai Nabî, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang berîmân untuk mengadakan bai‘at, bahwa mereka takkan mempersekutukan Allôh, takkan mencuri, takkan berzina… [QS al-Mumtahanah (60) ayat 12]", (maka) siapa saja perempuan mu’minah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji. Rosûlullôh sendiri berkata ketika para perempan mu’minah mengikrarkan yang demikian: "Kalian bisa pergi karena aku sudah membai‘at kalian". Namun -demi Allôh-, Beliau sama sekali tak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun. Beliau hanya membai‘at para perempuan dengan ucapan Beliau. Rosûlullôh tak pernah menyentuh perempuan sama sekali sebagaimana yang Allôh perintahkan. Tangan Beliau tak pernah menyentuh tangan mereka. Ketika bai‘at, Beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata: "Aku telah membai‘at kalian".”_ [HR Muslim no 1866].

⚠ Perhatikan, itu bai‘at loh! Sumpah setia ta'at, patuh, dan membela dengan jiwa-raga dan harta-benda. Itu saja tak disalami oleh Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم, maka apalagi yang lebih remeh dari berjabatan-tangan tangan untuk kenalan atau say hello belaka???

Jadi pertanyaan yang tepat sebenarnya bukan perlu wudhu’ atau tidak, tetapi boleh atau tak boleh berjabatan-tangan dengan perempuan yang bukan mahrom.

Demikian, semoga dapat dipahami.

والله اعلم ب الصواب

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh