Tak Merayakan Maulid = Tak Dianugerahi Cinta?

Berlalu poster pembelaan perayaan Maulid Nabī ini di beranda saya.


Terus terang saya tidak merayakan Maulid Nabī, namun juga tidak menyerang yang merayakan Maulid Nabī. Tetapi poster ini benar-benar menyinggung karena bāṭil.

Iya bāṭil…!

Pertama, mengatakan bahwa "cinta tidak dapat diajarkan".

Coba perhatikan di dalam riwayat berikut ini dikisahkan:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ‎ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ ‎: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ . فَقَالَ لَهُ عَمَرُ : فَإِنَّهُ اْلآنَ ، وَاللهِ ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ‎ اْلآنَ يَا عُمَرُ

(arti) _“Kami pernah berjalan mengiringi Nabī ﷺ‎ dan Beliau menggandeng tangan Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb. Kemudian Ùmar berkata kepada Nabi ﷺ‎: "Wahai Rosūlullōh, sungguh anda sangat saya cintai melebihi apa pun selain diri saya sendiri.". Maka Nabī ﷺ‎ menjawab: "Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih kamu cintai melebihi dirimu sendiri.". Lalu Ùmar berkata kepada Nabī: "Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allōh, anda sangat saya cintai melebihi diri saya sendiri.". Maka Nabī ﷺ‎ bersabda: "Sekarang (kamu benar), wahai Ùmar!"”_ [HR al-Buḳōriyy no 6632; Ahmad no 21465].

Jadi jelas kecintaan itu bukan cuma "gift" (anugerah), akan tetapi ia juga harus diajarkan.

Bahkan perintah Allōh kepada Baginda Nabī ﷺ‎:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهَ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

(arti) _“Katakanlah (wahai Muhammad): "Apabila kamu (benar-benar) mencintai Allōh, maka ikutilah aku, niscaya Allōh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."”_ [QS Alī Ìmrōn ayat 31].

Allōh menyuruh Baginda Nabī ﷺ‎ mengatakan kepada manusia untuk mengikuti Beliau ﷺ‎.

Allōh TIDAK PERNAH menyuruh Nabī mengatakan: "liżā faḥtafilu biȉdi mīlādī" (arti: maka rayakanlah hari ulang tahunku).

Sehingga Nabī ﷺ‎ TIDAK PERNAH merayakan hari ulang tahunnya, dan Beliau ﷺ‎ TIDAK PERNAH pula menyuruh para Ṣoḥābat merayakannya.

Kedua, sepeninggal Nabī ﷺ‎, ternyata para Ṣoḥābat —yang telah terbukti & teruji kecintaannya kepada Baginda Nabī ﷺ‎— TIDAK PERNAH sama sekali merayakan Maulid Nabī.

Padahal, Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq رضي الله تعالى عنه ketika memproklamirkan keislāmannya di depan khalayak Makkah, Beliau digebuki sampai pingsan berhari-hari. Tetapi ketika Beliau sadar, perkataan pertama Beliau adalah, "Bagaimana keadaan Nabī ﷺ‎?".

Padahal, Ummu Sulaim رضي الله تعالى عنها sampai memeras keringat Nabī ﷺ‎ karena saking cintanya.

Padahal, para Ṣoḥābat takkan membiarkan ludah Nabī ﷺ‎ sampai ke tanah melainkan mereka tampung dengan tangannya.

Padahal, Àbdullōh ibn Ùmar رضي الله تعالى عنهما kalau berhajji takkan membiarkan tempat-tempat yang Baginda Nabī ﷺ‎ pernah BAK / BAB di sepanjang jalan melainkan Beliau akan melakukan hal yang sama di situ.

Padahal, Bilāl ibn Robāḥ رضي الله تعالى عنه –muażżin Rosūlullōh– saking sedihnya dengan kepergian Nabī, Beliau tak mau lagi mengumandangkan ażān.

Padahal, Anas ibn Mālik رضي الله تعالى عنه –yang 10 tahun mendampingi Rosūlullōh sebagai asisten– minta dikuburkan bersama dengan tongkat Rosūlullōh.

Ada begitu banyak kisah perbuatan kecintaan dari para Ṣoḥābat terhadap Baginda Nabī ﷺ‎ yang diriwayatkan secara ṣoḥīḥ oleh para ùlamā’ ahli ḥadīṫ. Kecintaan yang lahir karena perintah sekaligus karena memang pribadi Baginda Nabī ﷺ‎ adalah pribadi yang paling mulia dari seluruh manusia, sehingga orang yang hatinya bersih pasti akan Allōh ﷻ‎ beri hidāyah mencintai Baginda Nabī ﷺ‎.

Namun satupun dari para Ṣoḥābat رضي الله تعالى عنهم itu TIDAK ADA yang merayakan hari ulang tahun Nabī.

Lantas tiba-tiba ada orang yang hidup 1.400 tahun setelah wafatnya Nabī ﷺ‎, yang jelas tidak pernah bertemu dengan Nabī, lantas lancang mengatakan bahwa tidak merayakan Maulid Nabī karena tidak mendapatkan "karunia cinta"…???

Siapa anda…???

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh