Menikāh Polygyny Tak Boleh Dijalani Dengan Nafsu?

Jadi ada yang mengatakan bahwa "polygyny adalah pintu darurat yang tak boleh dibuka sembarangan".

Well, sebenarnya pernyataan ini sangat keliru, sebab laki-laki yang monogamy itu justru itulah yang darurat menurut keumuman firman Allōh ﷻ‎:

… فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً …

(arti) _“…maka nikāhilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku àdil, maka nikāhilah seorang saja…”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 3].

Lalu ada yang mengomentari sebagaimana di screenshot Gambar #1, intinya menurutnya: Pernikāhan polygyny tidak boleh dijalani dengan nafsu.


Maka saya tanyakan rujukannya di al-Qur-ān dan al-Ḥadiṫ apa?

Lalu dijawabnya sebagaimana Gambar #2, intinya menurutnya: Ikuti Baginda Nabī ﷺ‎ dengan kāffah.


Maka tentunya itu kita semua pastinya setuju dengan hal itu. Akan tetapi bagaimana cara kita bisa mengikuti Baginda Nabī ﷺ‎ kalau bukan dengan mempelajari al-Qur-ān & al-Ḥadiṫ, dengan membaca Siroh Nabawiyyah, di mana semua harus dipahami dengan pemahaman yang benar dan wajib di bawah bimbingan para ùlamā’? Kita kan tidak hidup sezaman dengan Baginda Nabī ﷺ‎?

Maka dijawab lagi sebagaimana Gambar #3, intinya menurutnya: Nabī tidak menikāhi perempuan karena nafsu, sebab menurutnya lagi Nabī menikahi janda-janda tua, dan tak punya anak dari mereka.


Maka kalau kita baca di kitāb-kitāb Siroh Nabawiyyah akan kita dapatkan informasi bahwa dari 11 (atau menurut pendapat lain 12) istri Nabī, yang dinikāhi, mereka yant relative sudah berusia tua itu hanyalah Ummul-Mu’minin Saudah رضي الله تعالى عنها (di usia ±50), lalu yang paruh baya adalah Ummul-Mu’minīn Ḳodījah رضي الله تعالى عنها (di usia 40), sedangkan selain dari itu para Ummul-Mu’minīn dinikāhi di usia remaja, 20an, dan 30an. – lihat: Gambar #5


Adapun anak Baginda Nabī ﷺ‎ itu semuanya ada 7, bukan 8. Di mana 6 anak dilahirkan oleh Ummul-Mu’minīn Ḳodījah رضي الله تعالى عنها, yaitu:
- Qosim (wafat di usia bayi)
- Àbdullōh (wafat di usia bayi)
- Zainab
- Ruqoyyah
- Ummu Kulṫum
- Fāṭimah

Selain itu ada putra Nabī yaitu Ibrōhīm (wafat waktu balita usia 16 bulan) yang dilahirkan oleh Mariyah al-Qibṭiyyah رضي الله تعالى عنها.

Adapun kalau Baginda Nabī ﷺ‎ tak mempunyai anak dari istri-istrinya yang lain, itu sama sekali BUKAN bukti bahwa Baginda Nabī ﷺ‎ itu menikāhi istri-istrinya hanya karena kasihan dan tak ada syahwat.

Lalu dijawabnya lagi sebagaimana Gambar #4, intinya ia tetap berkeras bahwa Baginda Nabī ﷺ‎ tidak menikāhi istri-istri Beliau ﷺ‎ selepas Ḳodījah dengan nafsu.


Maka itu jelas bertentangan dengan ḥadīṫ ṣoḥīḥ yang diriwayatkan dari Ṣoḥābat Anas ibn Mālik رضي الله تعالى عنه ini:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ‎ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ ‏

(arti) _“Nabī ﷺ‎ pernah menggilir istri-istri Beliau dengan sekali mandi.”_

Juga ḥadīṫ yang diriwayatkan dari Ummul-Mu’minīn Ȁiṡah bahwa Ummul-Mu’minīn Saudah karena merasa dirinya sudah tua, tak mampu lagi melayani Baginda Nabī ﷺ‎, maka Beliau memberikan jatah malam (menginap)nya kepada Ȁiṡah. Saudah mengatakan kepada Baginda Nabī ﷺ‎:

يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ جَعَلْتُ يَوْمِي مِنْكَ لِعَائِشَةَ

(arti) _“Wahai Rosūlullōh, aku berikan jatah hariku untuk Ȁiṡah.”_

Lagi pula, untuk apa menikāh kalau tak ada unsur nafsu? Bukankah menikāh itu justru untuk mengendalikan syahwat dan nafsu?

Kata Baginda Nabī ﷺ‎:

‏يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

(arti) _“Wahai pemuda, siapa saja yang telah sanggup menikāh maka menikāhlah, karena itu dapat menjaga pandangan dan kemaluan. Adapun siapa saja yang belum sanggup untuk menikāh, maka berpuasalah karena itu dapat menjadi pelindung baginya.”_

Jadi menikāh itu jelas harus ada unsur nafsu, karena menikāh itu untuk mengendalikan nafsu. Tiada perbedaan menikāhi 1, 2, 3, atau 4, semuanya harus ada unsur nafsunya.

Justru keẓōliman apabila menikāhi perempuan lantas tak diberikan nafkah baṭiniyyah. Berapa banyak kita dengar kasus laki-laki tua berduit lalu punya istri muda, tapi istri mudanya selingkuh karena tak terpenuhi kebutuhan seksualnya.

Jadi, polygyny itu adalah suatu kebolehan, bukan cuma "pintu darurat". Tidak. Menikāh polygyny pun sama saja dengan menikāh monogamy, harus ada unsur nafsu, tiada bedanya.

Namun jika ingin polygyny, maka lakukanlah dengan cara yang baik & benar sesuai Ṡariàt Agama dan aturan Pemerintah.

Demikian, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh