Nama Produk & Sertifikasi Ḥalāl

Menurut Sistem Jaminan Halal (SJH) yang tertulis pada buku HAS23000, disebutkan bahwa merek/nama produk tak boleh menggunakan nama yang mengarah kepada sesuatu yang diḥarōmkan atau ìbādah yang tak sesuai dengan Ṡarīàt Islām.

Kemudian pada Surat Keputusan Direktur LPPOM MUI No SK46/Dir/LPPOM MUI/XII/14, dijelaskan nama dan bentuk produk yang tak dapat disertifikasi ḥalāl seperti:
- mengandung nama minuman keras,
- mengandung nama babi & anjing serta turunannya,
- mengandung nama Ṡaiṭōn,
- sesuatu yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran & kebāṭilan,
- mengandung kata-kata berkonotasi erotis, vulgar, dan atau pornografi.

MUI Sumatera Barat di dalam fatwanya yang dikeluarkan pada Rapat Koordinasi Daerah MUI SumBar & MUI Kabupaten/Kota pada 20 Juli 2019, juga telah melarang penggunaan kata "Neraka", "Ṡaiṭōn", "Iblīs", dan kata-kata nyeleneh yang semisal, untuk nama produk: makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan pakaian.

⚠️ Jadi jelas bahwa MUI telah melarang produk menggunakan nama / istilah nyeleneh mendapatkan sertifikasi keḥalālan.

❓ Adakah pengecualian?

Ya pasti ada, contohnya seperti: "Bir Pletok", "Bakmi", "Bacon", "Charsiu", "Hamburger". Beer pasti alkohol, tapi sama orang Betawi yang anti Belanda, mereka ubah jadi "Bir Pletok" supaya anak muda Betawi tak minum beer. Begitu juga "bacon" & "hamburger", aslinya ya dari daging babi, tetapi sama orang Yahūdi yang beremigrasi ke Eropa ia dimodifikasi jadi olahan daging sapi / ayam / kambing / kalkun. Atau di sini, karena pasarnya adalah kaum Muslimīn, maka para koki keturunan etnis Cina pun memodifikasi kuliner seperti "charsiu" & "bakmi" yang dibuat dengan daging sapi atau ayam.

Akhirnya jadi jamaklah bahwa ternyata ada "Bir Petok", ada "Beef Burger", ada "Turkey Bacon", dan ada chicken charsiu, ada bakmi sapi, dlsb. Mereka tak ujug-ujug klaim ini bacon ḥalāl atau charsiu ḥalāl, tidak, tetapi awalnya pasti namanya dibilang ini "Bir Pletok", atau ini "Beef Bacon", atau ini "Chicken Charsiu" sebagai pembeda dengan produk aslinya yang tidak ḥalāl.

Maka ketika ada yang bikin produk mirip wine, lalu diklaim sebagai "Cabernet Sauvignon", well… it's annoying…!


Dipikirnya "Cabernet Sauvignon" itu limun kali ya? Apa itu bukan olok-olok jadinya? Itu sama saja dengan bikin produk bakso daging sapi, lalu diberi keterangan "Bakso 🐷" yang ḥalāl…!

❔ Akan tetapi di LN kan ada juga produk "non alcoholic wine"?

Well, kalau mau membaca literatur tentang wine, maka seharusnya legally tak boleh ada "Alcohol Free Wine", but we'll talk about it later…

Memang ada yang namanya "Alcohol Free Wine" dengan kemungkinan cara pembuatan, yaitu:

Pertama proses pembuatannya persis pembuatan wine, namun kemudian alkoholnya dipisahkan dan dikeluarkan.

Ada 3 metode pemisahan alkohol dari wine tersebut, yaitu dengan proses:
⑴. Vacuum distillation.
⑵. Spinning cone columns.
⑶. Reverse osmosis.

Metode 1 & 2 itu biayanya mahal, dan hampir tak mungkin sekelas Industri RT mampu melakukannya. Adapun metode ke-3, maka itu bisa dilakukan dengan biaya yang relative terjangkau oleh sekelas Industri RT.

Cuma masalahnya apakah boleh dilakukan pemisahan alkohol dari wine itu?

Maka tentunya kita harus merujuk kepada dalīl, dan ternyata Baginda Nabī ﷺ‎ melarang cuka yang dibuat dari ḳomr.

Diriwayatkan dari Ṣoḥābat Anas ibn Mālik رضي الله تعالى عنه:

سُئل رسول الله ﷺ‎ عن الخمر تُتَّخَذُ خَلًّا ؟ قال : لا

(arti) _“Rosūlullōh ﷺ‎ ditanya tentang ḳomr yang dijadikan cuka, maka Beliau menjawab: "Tidak boleh".”_ [HR Abū Dāwūd no 3675; Aḥmad no 11744].

Kita tahu ḳomr & cuka itu bahan dasar dan prosesnya sama, hanya durasi dari proses fermentasinya saja yang berbeda. Akan tetapi api Baginda Nabī ﷺ‎ melarang cuka yang dibuat dari ḳomr. Jadi secara hukum Ṡarīàt adalah tidak boleh melakukan penghilangan alkohol dari ḳomr.

Kedua adalah, memang entah bagaimana ada minuman yang prosesnya tak pernah mengandung alkohol, tapi berasa seperti wine.

Maka bagaimana secara hukum manusia?

Secara hukum di Barat, di European Union (EU) itu ada yang namanya "Wine Law", dan di Amrik juga ada semisal Wine Law.

Apa yang diatur pada UU Wine Law itu?

UU Wine Law itu mengatur antara lain:
- produksi,
- praktek Oenological & prosesnya,
- klasifikasi dari wine,
- rentang struktur & jenis support,
- aturan detail tentang deskripsi & pelabelan, dan
- import wine dari negara non-EU.

Ini referensi Wine Law di EU – 🔗 TKP: https://agriculture.ec.europa.eu/farming/crop-productions-and-plant-based-products/wine/eu-wine-legislation_en

❗ Nah salah satu aturan tentang wine itu adalah tidak ada yang namanya "wine rendah" atau "tanpa alkohol", sebab wine harus memiliki kadar alkohol minimal 8% – kecuali ada kasus khusus seperti: Moscato d'Asti.

Jadi penamaan wine itu sendiri secara hukum EU dan Amrik harus mengandung alkohol ≥8%. Kalau tak cukup kandungan alkoholnya maka harus disebut "wine based drink", TIDAK BOLEH dikatakan sebagai wine.

Demikian, semoga bermanfaat.


📝 Untuk tahu lebih lanjut apa itu Cabernet Sauvignon, silakan baca – 🔗 TKP: https://www.foodandwine.com/wine/cabernet-sauvignon-wine-guide

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh