Buanglah Akalmu: Agama Tak Pakai Àql?

Barusan di salah satu WAG saya beredar so-called poster da‘wah dari gerombolan Neo Murji-ah PENDAKU Salafiy dengan tema "Buanglah Akal" sebagaimana terlampir.


Sebenarnya perkara ini sudah beberapa kali saya ulas, namun tetap saja muncul terus. Well, Ṡaiṭōn memang tak pernah beristirahat dalam menyesatkan manusia.

❓ Seperti biasa, pertanyaannya adalah: bagaimana sebenarnya…?

Jadi perkataan pada poster itu adalah perkataan dari Ḳolīfah Àlī ibn Abī Ṭōlib رضي الله تعالى عنه:

لَوْ كَانَ ٱلدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ ٱللهِ ﷺ‎ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

(arti) _“Seandainya agama dengan ro’yu, maka tentulah bagian bawah ḳuff (sejenis kaus kaki dari kulit) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rosūlullōh ﷺ‎ mengusap bagian atas ḳuffnya.”_ [HR Abū Dāwūd no 162].

Ḥadīṫ mulia tersebut derajatnya ṣoḥīḥ, sehingga kita harus mengīmāninya.

Lalu letak salahnya gerombolan Neo Murji-ah PENDAKU Salafiy itu di mana…?

Salah mereka adalah salah dalam memahami kata "ro’yu" (الرأي) itu, di mana mereka memahaminya sebagai "àql". Padahal ro’yu itu maknanya BUKAN "àql", akan tetapi "opini".

Iya opini, karena di sana Ḳolīfah Àli langsung mengatakan bahwa seandainya agama itu berdasarkan opini, maka menurut opininya adalah bagian bahwa ḳuff lebih pantas untuk diusap saat berwuḍu’. Tetapi ternyata kan tidak? Justru petunjuk wahyu, yaitu: Sunnah Nabī, adalah mengusap bagian atas ḳuff.

Àql justru di dalam agama dipuji penggunaannya. Lihat saja di dalam al-Qur-ān berkali-kali Allōh ﷻ‎ menggunakan kalimat:
-  أَفَلَا تَعْقِلُونَ
-  أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
-  أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا
-  أَفَلَمْ تَكُونُوا تَعْقِلُونَ
yang mana semua itu kata dasarnya ya "àql" dan "fikr".

Bahkan syarat seorang manusia dibebani Ṡarīàt itu adalah kesempurnaan àql, di mana orang yang àqlnya tak sempurna ya tak dibebani Ṡarīàt seperti orang yang sempurna àqlnya.

Bagaimana contoh opini di kehidupan nyata…?

Misalnya adalah seorang setiap kali gajian ia keluarkan ṣodaqoh 10% dari penghasilannya. Lantas pas akhir tahun tabungannya ternyata melebihi niṣob zakāt māl, ya dia tetap saja harus keluarkan zakāt māl 2½% dari tabungannya. Tak bisa beropini: "saya kan sudah keluarkan 10% tiap kali gajian, jadi tak perlu lagi zakāt".

Atau semisal kita tahu nilai ṣolāt di Masjidil Ḥarōm itu 100.000x ṣolāt biasa. Maka kalau sudah ṣolāt 40 waktu di sana tak boleh seseorang itu beropini: "saya kan sudah ṣolāt 40 waktu di Masjidil Ḥarōm, jadi tak perlu ṣolāt lagi selama 273 tahun".

Paham ya sampai di sini…?

Jadi kalau sudah ada ketentuan Ṡarīàt yang jelas, maka tak boleh ada opini pribadi. Ḳomr itu ḥarōm, ya jangan pulak beropini bahwa yang penting tidak sampai mabuk. Atau menikāhi perempuan Ahlul Kitāb yang menjaga kehormatan itu diperbolehkan oleh Allōh ﷻ‎, maka jangan pulak dilarang orang menikāh karena tak semanhaj.

Sebaliknya, jika ada dalīl yang membuka peluang beropini, maka bukan ḥarōm juga untuk beropini.

Contohnya lihat saja ḥadīṫ tentang ḳilāfiyyah di kalangan Ṣoḥābat ketika mereka diperintahkan oleh Baginda Nabī ﷺ‎: "Jangan ṣolāt sebelum sampai di perkampungan Banī Quroiẓoh". Maka ada sebagian Ṣoḥābat yang beropini perintah Nabī itu adalah letterlijk apa adanya, sehingga mereka ṣolāt Àṣr, Maġrib, dan Ȉṡā’ sekaligus karena sampainya di waktu Ȉṡā’. Sebagian Ṣoḥābat lagi ada yang tetap mendirikan ṣolāt di waktu-waktunya sebab mereka beropini bahwa ṣolāt itu waktunya sudah ditetapkan oleh Allōh. Kemudian saat kejadian itu dibawa kepada Baginda Nabī ﷺ‎, maka Beliau mendiamkan saja masalah itu.

Kenapa…?

Karena kedua kelompok Ṣoḥābat itu beropini sesuai dengan dalīl yang dipahami mereka dengan keìlmuannya. Maka itulah yang kita kenal dengan istilah: "ijtihād".

Adapun siapa yang boleh berijtihād itu ya hanyalah para ùlamā mujtahid. Makanya muncul mażhab-mażhab fiqih, seperti yang kita kenal sekarang, yaitu: Ḥanafiyyah, Mālikiyyah, aṡ-Ṡāfiìyyah, Ḥanabilah, dan Ẓohiriyyah.

Para ùlamā’ itu kalau berijtihād, walau mereka salah, maka mereka tetap dapat pahala sebagaimana ḥadīṫ mulia:

إِذَا حَكَمَ ٱلْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ ، فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ ، فَلَهُ 

(arti) _“Apabila seorang ḥākim berijtihād dalam menetapkan suatu hukum, ternyata hukumnya benar, maka ḥakim tersebut akan mendapatkan 2 pahala, namun apabila ia berijtihād dalam menetapkan suatu hukum, tetapi ia salah, maka ia akan mendapatkan 1 pahala.”_ [HR al-Buḳōriyy no 7352; Muslim no 1716; Abū Dāwūd no 3574; at-Tirmiżiyy no 1326; an-Nasāiyy no 5381; Ibnu Mājah no 2314; Aḥmad no 17106, *48, *53].

Jelas ya…?

Orang biasa macam kita-kita ini tak boleh sembarangan berijtihād tanpa ìlmu pada perkara duniawi, maka apalagi pada perkara agama. Dosa…!

Demikian, semoga bermanfaat dan jangan lagi tertipu dengan poster-poster da‘wah menyesatkan dari kaum Neo Murji-ah PENDAKU Salafiy itu.

نسأل ٱلله ٱلسلامة وٱلعافية في ٱلدنيا وٱلآخرة

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh