Lisan

Kita, dan tentunya setiap Muslim yang waras, pasti mengharapkan ucapan terakhir menjelang ajal kita adalah kalimat tauḥīd. Sebab kata Baginda Nabī ﷺ‎:

مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله دَخَلَ ٱلْجَنَّةَ

(arti) _“Siapa saja yang akhir ucapannya (saat menjelang ajal) adalah kalimat "lā ilāha illallōh" maka ia masuk Syurga.”_

Namun demikian…

Baginda Nabī ﷺ‎ juga memperingatkan tentang apa yang paling banyak menjerumuskan orang ke dalam Neraka, yaitu:

ٱلْفَمُ وَٱلْفَرْجُ

(arti) _“Mulut dan kemaluan.”_

Bahkan lebih jauh lagi, Baginda Nabī ﷺ‎ memperingatkan:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

(arti) _“Sungguh-sungguh seorang hamba benar-benar mengucapkan perkataan yang tanpa dipikirkan yang menyebabkannya terjerumus ke dalam Neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara Timur dengan Barat.”_

Ucapan yang paling terakhir seseorang itu sangatlah penting, namun perlu diingat bahwa perilaku & kebiasaan seseorang dalam kehidupannya juga sangat menentukan keadaan bagaimana ia diwafatkan.

Seseorang yang kebiasaan (rutinitasnya) dalam kehidupan dipenuhi dengan aktifitas-aktifitas ìbādah & aḳlāq yang baik, kemungkinan besar ia akan Allōh ﷻ‎ wafat dalam keadaan yang baik pula.

Sebaliknya, seseorang yang kebiasaan (rutinitasnya) dalam kehidupan dipenuhi dengan aktifitas-aktifitas ma’ṣiyah & aḳlāq yang buruk, kemungkinan besar ia akan Allōh ﷻ‎ wafatkan dalam keadaan yang buruk pula.


Jika seseorang di kehidupan kesehariannya terbiasa mencela, memaki, mengumpat, atau lisan yang sangat buruk semisal: ġībah, namimah, merusak kehormatan orang, mela’nat, bahkan mengatakan kalimat-kalimat kekufuran, maka…

Bagaimana ia bisa merasa aman akan ucapan terakhirnya adalah kalimat terbaik "lā ilāha illallōh"?

Lisan yang baik itu adalah sebagaimana juga aḳlāq yang baik, ia HARUS dilatih setiap harinya, day-in day-out secara konsisten. Melatihnya ya dengan menjauhi perkataan yang buruk semisal kedustaan, umpatan & makian, apalagi yang tergolong dosa besar, semisal: ġībah, namimah, merusak kehormatan, dan kata-kata kekufuran.

Kalau belum bisa berkata yang baik, maka lebih baik diam, sebagaimana nasihat Baginda Nabī ﷺ‎:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

(arti) _“Siapa saja yang berīmān kepada Allōh dan Hari Āḳirot, hendaklah ia berkata yang baik atau diam saja.”_

Adapun di zaman social media ini, lisan itu termasuk juga memposting tulisan, chat, komentar di postingan orang, reels, vlog, podcast, dlsb.

Semoga dengan terus melatih diri setiap harinya untuk berkata yang baik, Allōh ﷻ‎ memberikan kita keistiqomahan dalam berkata yang baik… karena kita tak pernah tahu kapan & di mana kita akan diwafatkan.

Kita berdo'a:

ٱللّٰهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى
{allōhumma innī aȕżu bika min ṡarri samȉ wa min ṡarri baṣorī wa min ṡarri lisānī wa min ṡarri qolbī wa min ṡarri maniyyī}

(arti) _“Wahai Allōh, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pada pendengaranku, dan dari keburukan pada penglihatanku, dan dari keburukan pada lisanku, dan dari keburukan pada qolbuku, dan dari keburukan pada air maniku.”_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh