Daì Tak Boleh Menegur Tetangga Lalim?

Kemarin sahabat saya bercerita bahwa ada tetangganya yang suka menjemur cucian di pagar rumahnya tanpa meminta izin. Lalu saya komentari, "Apa tidak bisa diberitahu baik-baik?"

Lalu tiba-tiba ada yang mengomentari seperti screenshot terlampir.


Saya pahami intinya adalah biarkan saja keẓōliman, nanti itu jadi ṣodaqoh dan wasilah da‘wah katanya.

Baiklah, pertama tak ada ḥadīṫ berbunyi: "Sesungguhnya pada dinding rumahmu ada hak tetanggamu".

Adapun yang ada adalah riwayatnya begini:

لاَ يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِى جِدَارِهِ

(arti) _“Janganlah salah seorang di antara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dinding (tembok)nya.”_

Ḥadīṫ mulia itu berkenaan dengan meletakkan kayu yang berkaitan dengan konstruksi rumah. Adapun diperbolehkan untuk menyandarkan kayu ke dinding tetangga itu menurut para ùlamā’ ada beberapa syarat, yaitu:
⑴. Tak merusak atau merobohkan dinding tembok tetangga.
⑵. Memang sangat membutuhkan untuk meletakkan kayu itu di dinding tetangga.
⑶. Tiada cara lain yang memungkinkan untuk membangun rumah selain dari menyandarkan kayu ke tembok tetangga.

Adapun kalau menjemur pakaian, maka apakah itu termasuk ḥadīṫ itu? Apakah pemahamannya begitu sehingga boleh seenaknya menjemur pakaian di pagar rumah tetangga?

Tunggu dulu! Jangan disamakan antara memasang kayu demi konstruksi rumah (yang diperbolehkan dalam ḥadīṫ Nabī) dengan menjemur di pagar rumah orang, lalu mengatakannya itu ṣodaqoh dan menjadi wasilah da‘wah.

Ya jelas tidak, menjemur tanpa izin di pagar rumah orang itu keẓōliman yang menyakiti tetangga. Sementara menyakiti tetangga itu jelas peringatannya:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

(arti) _“Tidak masuk Syurga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.”_

Justru orang berbuat keẓōliman harus diberi tahu dengan cara-cara yang baik agar menghentikan keẓōlimannya. Seorang daì justru punya tugas menasihati, dan tetangga yang ẓōlim itu justru harus dinasihati.

Kata Baginda Nabī ﷺ‎:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

(arti) _“Agama adalah nasihat.”_

Maka para Ṣoḥābat pun bertanya, "Nasihat untuk siapa?", yang dijawab oleh Baginda Nabī ﷺ‎:

لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

(arti) _“Untuk (mengingat) Allōh, untuk (merujuk) kitāb-Nya, untuk (mematuhi) Rosūl-Nya, kepada pemimpin-pemimpin kaum Muslimīn, serta bagi ummat Islām keseluruhannya.”_

Nasihat bagi ummat Islām itu adalah termasuk kepada tetangga. Tujuannya untuk memberikan kebaikan kepada mereka, termasuk mengajarkan dan memeperkenalkan kepada mereka perkara yang wajib, serta menunjukkan mereka kepada al-haq (kebenaran) dan menjelaskan hal-hal yang dilarang.

Adapun kalau masuk keẓōliman, maka jelas seseorang yang berbuat ẓōlim justru harus dicegah dari keẓōlimannya.

Perintah Baginda Nabī ﷺ‎:

انْصُرْ أخاك ظالمًا أو مظلومًا

(arti) _“Tolonglah saudaramu ketika ia berbuat keẓōliman atau diẓōlimi.”_

Salah seorang Ṣoḥābat pun bertanya, "Wahai Rosūlullōh, saya dapat menolong jika memang ia diẓōlimi. Namun, bagaimana pendapat Anda jika ia adalah pelaku keẓōliman, bagaimana cara saya menolongnya?", yang dijawab oleh Baginda Nabī ﷺ‎:

تَحْجِزُهُ -أو تمْنَعُهُ- من الظلم فإنَّ ذلك نَصْرُهُ

(arti) _“Hendaklah kamu mencegahnya atau kamu larang dari keẓōliman itu. Demikianlah cara menolongnya.”_

Adapun "bersabar" dalam Islām konsepnya itu bukanlah: "jika pipi kirimu ditampar, berikan pipi kananmu". Tidak begitu.

Pun kalau benar ada kisah Salafuṣ-Ṣōliḥ yang bersabar bertahun-tahun diẓōlimi tetangganya yang non-Muslim, lalu tetangganya itu masuk Islām karena hal itu, maka perbuatan yang demikian itu bukanlah qoidah yang umum, itu hanya pilihan orang itu, tidak bisa dijadikan dalīl umum.

Demikian, semoga dapat dipahami.

هدانا الله وإياكم أجمعين

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh