Kalīmullōh

Kalīmullōh adalah gelar Nabī Mūsā عليه السلام karena Beliau bercakap-cakap langsung dengan Allōh ﷻ‎ di Bumi.


Kejadian ini terjadi pada awal masa kenabīan Nabī Mūsā, yaitu di Jabal-Ṭūr, sebagaimana Allōh ﷻ‎ nyatakan di dalam firman-Nya:

وَكَلَّمَ اللهَ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

(arti) _“Dan Allōh benar-benar telah berbicara kepada Mūsā.”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 164].

Kejadian Allōh berbicara langsung kepada Nabī Mūsā itu adalah suatu bentuk keutamaan Nabi Mūsā dibandingkan para Nabiyullōh lainnya, sebagaimana firman-Nya:

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللهَ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ

(arti) _“Rosūl-rosūl itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allōh berbicara dengannya, dan sebagiannya Allōh meninggikannya beberapa derajat.”_ [QS al-Baqoroh (2) ayat 153].

⚠️ Berbicara di sini adalah benar-benar pengalaman secara fisik, bukan hanya spiritual.

Allōh ﷻ‎ kisahkan di dalam firman-Nya:

وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَىٰ ۝‎ إِذْ رَأَىٰ نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّي آتِيكُم مِّنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى ۝‎ فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ يَا مُوسَىٰ ۝‎ إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى ۝‎

(arti) _“Apakah telah sampai kepadamu kisah tentang Mūsā, ketika ia melihat api. Lalu ia berkata kepada keluarganya: "Tinggallah kalian (di sini), sungguh aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.". Maka ketika ia sampai di tempat api itu, ia dipanggil: "Wahai Mūsā! Sungguh-sungguh Aku adalah Robb-mu, maka lepaslah kedua alas kakimu. Sungguh kamu berada di lembah yang suci, Ṭuwā."”_ [QS Ṭo-Ha (20) ayat 9-12].

Jadi apa yang terjadi dengan Nabī Mūsā adalah kejadian riil di Dunia Nyata, bukan di Alam Ġoib ataupun mimpi, sebab Nabī Mūsā melihat api yang terang di malam yang gelap. Lalu Nabī Mūsā datang menghampiri api itu. Di dalam riwayat juga dikisahkan bahwa yang melihat api itu bukan hanya Nabī Mūsā, tetapi juga keluarganya.

Menurut riwayat, Nabī Mūsā mendapati api itu berada di dahan sebuah pohon, namun pohon itu sama sekali tidak terbakar. Bahkan Nabī Mūsā kagum karena kehangatan & keindahan api itu sama sekali tak merusak pohon tersebut.

⚠️ Api itu hanyalah sebagai petunjuk / tanda saja, sama sekali bukan Dzat Allōh yang Maha Suci.

Sebenarnya kejadian Allōh ﷻ‎ bercakap-cakap dengan Nabī Mūsā عليه السلام di lembah Ṭuwa itu inṡā’Allōh mudah bagi kita dipahaminya.

Karena Nabī Mūsā bercakap-cakap di Bumi, bukan di Langit, maka tentunya adalah Sunnatullōh Nabī Mūsā memakai panca indranya, makanya Nabī Mūsā mendengar suara dari arah api itu yang memperkenalkan diri-Nya sebagai Robbul-Ȁlamīn, dan menyuruh Nabī Mūsā melepas alas kakinya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat itu Nabī Mūsā benar-benar sadar dan terjaga, bukan bermimpi.

Kemudian Allōh memperkenalkan nama-Nya, dan memerintahkan Nabī Mūsā mendirikan ṣolāt:

إِنَّنِي أَنَا اللهَ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

(arti) _“Sungguh-sungguh Aku ini adalah Allōh, tiada sesembahan yang berhak diìbādahi dengan benar selain Aku. Maka ìbādahilah Aku, dan dirikanlah ṣolāt untuk mengingat-Ku.”_ [QS Ṭo-Ha (20) ayat 14].

Tak perlu berpusing-pusing memahami kejadian ini sampai bikin perumpamaan aneh-aneh, sebab Allōh itu Maha Kuasa, Allōh tak butuh udara yang dilewatkan ke tenggorokan dan hidung lalu diolah oleh lidah, gigi, dan bibir untuk menciptakan bunyi huruf yang menjadi kata.

Kun fayakūn… maka terjadilah gelombang suara tanpa perlu ada sumbernya.

Kenapa apa yang didengar Nabī Mūsā itu benar-benar suara?

Karena ketika Allōh berbicara kepada hamba-Nya, ya tentunya disesuaikan dengan ṣifat yang dimiliki oleh si hamba. Tentunya dengan apa yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran si hamba. Tak mungkin si hamba yang menyesuaikan diri dengan ṣifat Allōh yang Maha Agung.

Allōh berbicara kepada hamba, bagi Allōh adalah mudah saja menciptakan tanpa perlu ada sebab. Maha Suci Allōh dari maḳlūq-Nya.

Demikian, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh