Standar Ukuran Zakāt Fiṭrōh & Fidyah

Menjelang memasuki bulan Romaḍōn ini, ada baiknya kita membahas tentang Zakāt Fiṭroh dan Fidyah.

Dalam membayarkan Zakāt Fiṭroh, yang menjadi ukuran aslinya bukanlah "berat timbangan" (Gram atau kiloGram) akan tetapi adalah "volume", yaitu: mudd dan ṣō‘, sebagaimana yang dijelaskan di dalam ḥadīṫ mulia dari Ṣoḥābat Àbdullōh ibn Ùmar رضي الله تعالى عنهما:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

(arti) _“Rosūlullōh ﷺ mewajibkan Zakāt Fiṭroh dengan 1 ṣō‘ qurma atau 1 ṣō‘ gandum bagi setiap Muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakāt tersebut diperintahkan untuk dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan ṣolāt Ȉd.”_ [HR al-Buḳōrī no 1503; Muslim no 984].

⚠ Jadi takaran Zakat Fiṭroh dalam ḥadīṫ Nabī adalah 1 ṣō‘.


❓ Pertanyaannya: berapa 1 ṣō‘ itu?

1 ṣō‘ = 4 mudd.

❔ Berapakah 1 mudd itu?

1 mudd itu adalah itu volume cakupan kedua telapak tangan yang dirapatkan dari orang dewasa (ukuran rata-rata). Maka ketika satuan mudd itu dijadikan satuan berat, yaitu "Gram" atau "kiloGram", maka para ùlamā’ berbeda pendapat tentang berapa ukurannya.

Kenapa sampai berbeda pendapat?

Seperti kita ketahui, makanan pokok itu bentuknya bermacam-macam tergantung dari suku bangsa & daerah. Para ùlamā’ menyebutkan contohnya seperti: qurma, gandum, jagung, beras, menir, tepung gandum, kismis, jelai, sagu, kacang buncis putih, kacang adas, kacang fava, daging, bahkan makaroni, yoghurt kering, dan keju. [lihat: https://bit.ly/3Jsz1Jk ]

Dari bermacam-macamnya jenis makanan pokok tersebut, maka pasti saja akan terjadi perbedaan jika yang digunakan adalah ukuran berat, karena "Berat Jenis"nya pasti berbeda-beda. Bahkan, benda yang sama pun akan berbeda beratnya apabila kandungan airnya berbeda. Mungkin itulah rahasianya kenapa Baginda Nabī ﷺ‎ menggunakan ukuran volume, bukan ukuran berat.

❓ Kenapa menggunakan ukuran berat?

Para ùlamā’ menganggap dengan menggunakan timbangan akan mempermudah, sebab timbangan berat itu standar dan lebih dekat dengan kepastian.

Berikut pendapat para ùlamā’ tentang berapa berat dari 1 ṣō‘ itu:
⒜. Paling kecil adalah 1 ṣō‘ beras setara dengan 2,1kilo Gram, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ṡaiḳ Muḥammad ibn Ṣōliḥ al-Ùṫaimīn رحمه الله تعالى.
⒝. Pendapat jumhūr ùlamā’ yang mengatakan 1 mudd = 544 Gram, sehingga 1 ṣō‘ adalah 2,176k Gram.
⒞. Pendapat Ṡaiḳ Àbdul-Àzīz ibn Bāz dan para ùlamā’ al-Lajnah ad-Dā-imah lil-Buḥūṫ al-Ìlmiyah wal-Iftā yang mengatakan 1 ṣō‘ setara dengan 3k Gram.
⒟. Pendapat para ùlamā’ mażhab Hanafi yang mengatakan bahwa 1 ṣō‘ = 2 riṭl Irōq (1 riṭl Irōq = 406,25 Gram → 2 riṭl Irōq = 2 x 406,25 = 812,5 Gram), sehingga 1 ṣō‘ = 4 x 812,5 Gram = 3,25k Gram.

Dari berbagai pendapat di atas, maka mengeluarkan Zakāt Fiṭroh dalam takaran berat untuk selamatnya menggunakan perkiraan 1 ṣō‘ antara 2,5k s/d 3k Gram beras.

Adapun jika memilih untuk mengeluarkan Zakāt Fiṭroh dengan bentuk uang [lihat: https://bit.ly/40dptZg1 ], maka hendaklah merujuk pada kadar berat 1 ṣō‘ di dalam mażhab Hanafī, yaitu 3,25k Gram yang dikalikan dengan harga beras yang biasa dimakan sehari-hari. Ini penting untuk menghindari talfīq (mencampuradukkan pandangan mażhab).

Sebab, hanya Imām Abū Ḥanīfah Nu‘mān ibn Ṫābit رحمه الله تعالى dan para ùlamā’ mażhab Hanafī lah yang memperbolehkan Zakāt Fiṭroh dikeluarkan dalam bentuk uang – walaupun ada juga salah satu pendapat dari Imām Aḥmad ibn Ḥanbal aż-Żuhlī رحمه الله تعالى yang memperbolehkan, namun para ùlamā’ mażhab Ḥanabilah tidak memperbolehkannya. Demikian pula ada ùlamā’ dari mażhab Mālikī & mażhab aṡ-Ṡāfiìyy yang memperbolehkannya, namun itu bukanlah pendapat mayoritas mażhabnya.

❓ Bagaimana dengan Fidyah?

Telah diketahui bahwa untuk orang yang sudah sangat tua atau orang yang sakit yang tak mungkin bisa membayar qoḍō’ puasanya, maka bisa membayar Fidyah sebagaimana perintah Allōh ﷻ:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

(arti) _“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tak berpuasa) membayar Fidyah (yaitu): memberi makan seorang miskin.”_ [QS al-Baqoroh (2) ayat 184].

Para ùlamā’ berbeda pendapat tentang berapa kadarnya memberi makan itu, sebagai berikut:
⒜. Para ùlamā’ mażhab Hanafī berpendapat bahwa kadar Fidyah yang wajib adalah dengan 1 ṣō‘ qurma, atau 1 ṣō‘ gandum, atau ½ ṣō‘ soba, yang dikeluarkan untuk setiap 1 hari puasa yang ditinggalkan.
⒝. Para ùlamā’ mażhab Mālikī dan mażhab aṡ-Ṡafiìyy berpendapat bahwa kadar Fidyah yang wajib adalah 1 mudd untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Ini adalah pendapat dari Imām Ṭōwūs ibn Kaisān, Imām Saȉd ibn Jubair, Imām Sufyān ibn Saȉd aṫ-Ṫsaurī, Imām Àbdul-Roḥmān ibn Àmrū al-Auzāȉ, dan al-Qōḍī Ìyāḍ ibn Mūsā ibn Ìyāḍ, serta juga menjadi pendapat dari jumhur ùlamā’.
⒞. Para ùlamā’ mażhab Hanbalī berpendapat bahwa Fidyah adalah ½ ṣō‘ qurma atau gandum untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Pendapat ini juga menjadi pendapatnya Ṡaiḳ Àbdul-Àzīz ibn Bāz, Ṡaiḳ Ṣōliḥ ibn Ṣōliḥ al-Fauzān, dan para ùlamā’ al-Lajnah ad-Dā-imah lil-Buḥūṫ al-Ìlmiyah wal-Iftā’ yang mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah ½ ṣō‘ dari bahan makanan pokok di negeri masing-masing.

Adapun pendapat yang menurut saya paling tepat dalam perkara ini adalah dikembalikan kepada ùrf (kebiasaan dari masyarakat setempat) ketika memberikan makan orang. Jadi membayar Fidyah yang sah dapat dilakukan dengan memberikan nasi bungkus (dengan standar layak makan bagi diri sendiri), maka inṡā’Allōh telah terpenuhi standar Fidyah memberi makan kepada 1 orang miskin untuk 1 hari puasa yang ditinggalkan. Contoh, apabila kita ada orangtua yang sudah tak kuat sama sekali puasa, maka membelikan NasPad 30 bungkus (sekira harga Rp 25k /bungkus), maka itulah Fidyah 1 bulannya.

Demikian, semoga bermanfaat.

نَسْأَلُ اللهَ اَلْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ فِيْ الْدُنْيَا وَالْآخِرَةِ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh