Belasting

Saya ingin membahas masalah belasting, akan tetapi bukan dari sisi agama karena para asatiż sudah banyak yang membahas dari sisi tersebut. Saya ingin membahasnya dari sisi apa ya… ya mungkin soal "rasa" dan ìlmu ekonomi sesuai bidang keìlmuan yang saya pelajari dulu.

Mungkin agak panjang, so bear with me, would you…?

Part 1 - "Rasa"

Belasting, antara pungli dengan palak, maka pertanyaannya adalah

Apakah belasting = pungli (pungutan liar)…?

Jawabannya: tentunya tidak, sebab pemungutannya resmi berdasarkan UU yang disahkan oleh anggota dewan yang terhormat (yang katanya wakil rakyat itu). Jadi adalah "wakil rakyat" sendiri lah yang mengizinkan rakyat ditarikin belasting.

Lalu kalau bukan pungli, maka:

Apakah belasting = palak…?

Jawabannya: nah ini bisa jadi, karena kebanyakan dari kita pasti merasa terpalak saat penghasilan dipotong 25% (bahkan sampai 35%). Belasting penghasilan dengan rate progressive itu sakit bener lah rasanya. Kita yang kerja 7x24 banting tulang "nan salapan karek", eh lalu dipotong begitu saja. Belum lagi belasting pertambahan nilai yang menarik 11% setiap kali transaksi, padahal cuma jual-beli yang entah di mana letak "value added"-nya? Belum lagi kalau kita makan di resto, ada belasting 10%. Belum lagi kalau punya kendaraan atau punya rumah / tanah yang ditarik belasting setiap tahun dengan nilai yang ditetapkan suka-sukanya saja.


Sebenarnya rakyat paham kok kalau belasting itu perlu untuk menjalankan roda pemerintahan, sebab RT-RW saja ada dana kas bersama kok? Tetapi, yang wajar lah besarannya, dan sebagian besar seharusnya dikembalikan lagi untuk kepentingan warga RT-RW dong?

Wajar maksudnya bagaimana…?

Wajar di sini adalah:
- Dasar pengenaannya wajar (apa yang dikenakan, nilai yang dikenakan).
- Siapa yang dikenakan wajar.
- Besaran pengenaannya wajar.
- Peruntukannya juga wajar.

Intinya, wajar itu harus memenuhi rasa keàdilan.

Coba deh, berapa banyak tanah / rumah dikenakan belasting bumi & bangunan yang begitu tinggi karena lokasinya ada di daerah elité? Sementara yang punya adalah para pensiunan. Lalu akhirnya mereka terpaksa menjualnya kepada kaum nouveau riche (yang kebetulannya dari etnis tertentu) karena tak mampu bayar belasting tahunan atas property-nya itu.

Besaran pengenaan itu juga rasanya tak àdil. Coba deh, makan di WarTeg atau WarPad pinggir jalan masa iya dikejar bayar belasting juga? Atau kendaraan yang kena belasting progressive padahal kita memang butuh kendaraan sebab sarana transportasi publik tidak tersedia dengan layak.

Kemudian penggunaan dana belasting ini yang wajar lah? Kalau untuk biaya penyelenggaraan sistem negara, ya oke lah… masih dipahami. Akan tetapi kalau untuk proyek hambur-hambur uang macam proyek iboe kota baru, apalagi untuk bayarin utang proyek kereta cepat yang tak jelas studi kelayakannya itu, maka rasanya sakit gitu loh! Belum lagi dana belasting dipakai buat biaya memenjarakan kriminal semisal koruptor kelas kakap seperti: Mantree Koruptor Benur, Mantree Koruptor BanSos, atau Gajoes si pegawai Belastingdienst yang berharta ratusan milyar, atau seperti Don Freddo Samboleone. Sudah lah mereka itu kaya raya 7 turunan 7 tanjakan karena korup, eh disuruh pulak rakyat yang membayarkan biaya pengerangkengan mereka!?! Àdilnya itu di mana??? Harusnya mereka itu dimiskinkan lalu dihukum kerja paksa untuk membiayai pengerangkengannya…!

Bicara soal keàdilan, maka alokasi anggaran hasil belasting itu harusnya dikembalikan lagi dong ke rakyat? Iya, untuk biaya jaminan sosial semisal kesehatan, hari tua, pendidikan, dlsb. Di negara-negara yang tax rate-nya tinggi semisal Belgia, Finlandia, Swiss, Jepang, Austria, dana belasting itu dikembalikan lagi ke rakyatnya dalam bentuk pelayanan jaminan sosial yang sangat baik. Sementara di kita? Anda sakit? Mati aja! Miskin? Ya miskin saja sendiri! Bodoh? Ya salah sendiri kenapa bodoh…!

Di situ rakyat merasa bahwa belasting walau ia bukanlah pungli, akan tetapi ia adalah pemalakan. Terlebih lagi kelakuan para ambtenaar Belastingdienst itu sendiri juga vangkeee. Para ambtenaar Belastingdienst itu dibenci rakyat karena mereka dulu seperti menari bersuka ria di atas penderitaan rakyat, maka sekarang para ambtenaar Belastingdienst modern tak merasa sungkan membuat group SunMoRi -yang anggotanya bermoge dengan harga fantastis- dengan judul "Belasting Rijder". Berasa kayak masih dijajah nggak sih…?!?

Part 2 - "Belasting & Pertumbuhan Ekonomi"

Sebagai seorang yang mempelajari Ìlmu Ekonomi, dulu saya tahu bahwa efek belasting itu pada perekonomian sebenarnya adalah negative. Tapi itu kan 30 tahun lalu, apakah masih valid?


Well, iseng saya browsing beberapa abtract paper yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ekonomi bergengsi (termasuk working papers di National Bureau of Economic Research (NBER)), ternyata ada cukup banyak studi mengenai belasting di Amrik dan di negara-negara lainnya. Penelitiannya mencakup berbagai macam type belasting, termasuk belasting pada pendapatan, belasting pada konsumsi, belasting perusahaan, dlsb.

Studi-studi itu menemukan bahwa pemotongan belasting akan berdampak positive pada pertumbuhan ekonomi. Tentunya seberapa besar beberapa pengaruhnya bergantung pada jenis belasting apa yang dipotong, untuk siapa (sasarannya), dan kapan dilakukannya.

Berikut efek belasting:

⑴. Terhadap "perusahaan" secara langsung akan meningkatkan biaya investasi modal (seperti mesin & peralatan) yang digunakan perusahaan & pekerja untuk menjadi produktif (saat perusahaan & pekerja lebih produktif, ekonomi tumbuh). Jadi, dengan meningkatkan biaya investasi, belasting perusahaan akan menghambat pertumbuhan investasi & produktivitas, karena ia akan mengurangi insentif bagi para pemegang saham untuk berinvestasi & mengakumulasi modal. Padahal, lebih sedikit investasi itu berarti lebih sedikit pekerja lini produksi dan ini artinya tingkat upah akan lebih rendah.

⑵. Terhadap individu (belasting atas penghasilan & upah) itu akan mengurangi insentif orang untuk bekerja. Belasting penghasilan yang ṣifatnya progresif (penghasilan yang lebih tinggi dikenai belasting dengan tarif yang lebih tinggi) akan mengurangi imbal hasil pendidikan. Kenapa begitu? Itu karena penghasilan tinggi diasosiasikan dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga penerapan belasting penghasilan progresif akan mengurangi insentif untuk membangun sumber daya manusia.

Sistem belasting progresif juga akan mengurangi investasi, membuat orang jadi risk avert, dan berefek negatif pada aktivitas kewirausahaan. Kenapa? Karena sebagian besar aktivitas tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berpenghasilan tinggi.

Intinya, kenaikan belasting itu merugikan pertumbuhan ekonomi. Bahkan sudah jadi konsensus di antara para ahli ekonomi bahwa belasting atas pendapatan perusahaan & belasting penghasilan pribadi itu sangat berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi. Ini karena pertumbuhan ekonomi pada akhirnya berasal dari produksi, inovasi, dan pengambilan risiko.

Manfaat belasting itu adalah untuk pembiayaan mesin yang bernama adminstrasi pemerintahan, walau di dalam Islām sendiri kita tahu hukum asal dari belasting adalah "ḤARŌM".

Lalu bagaimana menjalankan mesin administrasi pemerintahan dan lain-lain?

Well, dari zaman Nabī dan Ḳulāfa-ur-Rōṡidīn pun sudah ada "negara", tetapi tak ada belasting yang berjudul PPh, PPn, apalagi PBB dan PKB. Toh pemerintahan tetap bisa eksis, bahkan bisa menaklukkan Imperium Rūm Byzantium dan Persia Dinasti Dabuyid.

Kenapa?

Karena ada zakāt sehingga kaum faqir & miskin bisa disantuni dengannya. Kemudian ada jihād yang menghasilkan ġonīmah. Kemudian ada jizyah, sehingga mereka yang keluarganya tak bisa ikutan jihād pun berkontribusi secara finansial. Kemudian Negara juga punya asset yang bisa disewakan atau diḳorojkan. 

Kemudian yang paling penting, pejabat semasa Ḳulāfa-ur-Rōṡidīn itu TIDAK korup. Bahkan di zaman Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي الله تعالى عبه, penghasilan pejabat tinggi (khusus pejabat tinggi, yang merupakan wakil Ḳolīfah) yang di luar gaji dipotong sampai 50%.

Jadi kalau ditanya apakah mesin adminstrasi pemerintahan bisa jalan tanpa ada belasting, maka jawabannya: BISA, asal pejabatnya tidak korup, dan cerdik plus kreatif dalam mengembangkan government revenue non-belasting.

Demikian sharing pemikiran ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh