Ritual vs Spiritual

Kenapa ada orang yang rajin ‘ibādah ternyata melakukan kezhōliman juga rajin?

Bukan salah Syari‘atnya, tidak… karena jelas sholāt mencegah dari kekejian dan kemungkaran, sedangkan puasa adalah benteng. Itu pasti…!

Akan tetapi karena ‘ibādahnya tak meresap ke dalam hatinya.

Bukankah di dalam hadīts disebutkan ada orang yang sholātnya tak mendapatkan pahala, hanya capek ruku’ dan sujud belaka? Bukankah di dalam hadīts ada orang yang puasa tapi hanya sekadar mendapatkan lapar dan haus? Bukankah di dalam hadīts ada orang yang banyak berinfaq tetapi nilai pahalanya nol karena riyā’?

‘Ibādah mereka hanya sekedar ritual melepas kewajiban, atau lebih buruk lagi, ia dilakukan untuk berbangga di mata manusia. ‘Ibādahnya tak melahirkan spiritualitas yang kuat.

Itulah jawaban kenapa kita temukan orang yang terlihat rajin melakukan ritual ‘ibādah, tetapi tetap melakukan kezhōliman dan kemaksiyatan. Fenomena ini diakui oleh Psikolog / Psikiater, di mana mereka menemukan bahwa orang yang kuat melakukan ritual keagamaan bisa jadi pelaku kejahatan yang sadis, namun tetapi tiada pelaku kejahatan sadis yang kuat spiritualitasnya.

Spiritualitas itulah keīmānan.

Orang yang kuat spiritualitas (keīmānan)nya pasti kuat juga ‘ibādahnya (walau tentunya ada ups & downs karena īmān itu dinamis).

Makanya di dalam Islām īmān itu bertingkat… 

Kita meng‘ibādahi Allōh ﷻ‎ karena kita muslim yang terikat dengan Syari‘at.

Karena kita sadar kedudukan kita sebagai hamba Allōh ﷻ‎, sehingga kita takut akan hukuman bagi hamba yang durhaka dan kita sangat ingin penuh harap mendapatkan Syurga-Nya.

Karena kita butuh untuk berterima kasih, bersyukur kepada Allōh ﷻ‎ atas segala nikmat pemberian-Nya.

Hadirkan lah rasa takut, penuh harap, dan cinta kepada Allōh ﷻ‎ semuanya sekaligus di dalam meng‘ibādahi-Nya, untuk kualitas keadaan hati yang lebih tinggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh