Kleptomania, UU ITE, & Kecemburuan Rasial


Heboh perkara video seorang perempuan yang ketahuan mencuri di gerai waralaba lalu divideokan dan videonya viral, lalu si perempuan itu dengan memakai pengacara mengancam si pegawai gerai waralaba, akhirnya berakhir dengan "damai" di mana si perempuan itu meminta ma'af di kantoor Polisi.

Well, menurut saya itu tak menyelesaikan masalah.

Kenapa…?

Karena ada 3 perkara utama di sini, yaitu:

Pertama, GANGGUAN KEJIWAAN Kleptomania. Perempuan itu jelas terduga menderita gangguan jiwa Kleptomania (yang harus divalidasi oleh Psikiater), atau dorongan untuk melakukan pencurian, karena sudah beredar fotonya mengalami masalah yang sama di gerai lain.

Jadi si perempuan itu melakukan pencurian bukan karena ia ngiler coklat (tapi tak mampu beli) atau apalagi karena ia lapar. Tidak. Sebab mobilnya saja Mercedes-Benz yang harganya di atas semilyar. Pun ia mampu menyewa jasa pengacara, itu artinya keluar uang puluhan juta loh… So money is not an issue for her.

Gangguan jiwa Kleptomania ini bisa diderita oknum dari status sosial apa saja. Bahkan ada sosialita high class crazy rich yang menderita gangguan kejiwaan itu. Adapun tindakan untuk orang yang menderita gangguan jiwa itu ya yang bersangkutan harus masuk perawatan di RS Jiwa. Loh iya dong, namanya juga "sakit jiwa"? Tempatnya mereka bukan di penjara / bui.

Kemudian, kalau perlu dibuat peraturan bahwa orang yang menderita gangguan jiwa Kleptomania dibuatkan badge khusus yang harus dipakainya saat ia memasuki toko / gerai atau pasar. Badge itu harus terus dipakai selama ia belum dinyatakan sembuh oleh Psikiater.

Jadi itu "solusinya", bukan videonya tertangkap mencuri malah diviralkan, dan ini masuk ke masalah kedua yaitu UU ITE. Perempuan itu marah karena videonya viral. Ya marahlah, karena seharusnya rekaman video itu tak boleh di-upload ke social media, sebab kan kasusnya sudah berakhir dengan ia tertangkap mencuri lalu membayar dendanya?

Kenapa lagi videonya mesti di-posting di social media dan diberi judul bombastis? Ya wajar lah ia marah, keluarganya malu… apalagi wajahnya pun tidak di-blur. Jadi si perempuan itu dan keluarganya merasa dipermalukan, dan itu diakomodir oleh UU ITE.

Jadi dalam hal ini menurut saya pegawai gerai itu telah salah, namun tindakan menyuruh si pegawai itu meminta ma'af juga salah. Karena cukup minta saja videonya di-take out kemudian bikin pernyataan resmi bahwa kasusnya sudah selesai. Tak perlu sampai bikin video meminta ma'af segala, karena itu jadinya "menekan orang kecil," apalagi si perempuan itu dari etnis keturunan China.

Ya terjadilah apa yang kita lihat terjadi, Netijah Indo pun run amok…!

Itu membawa kita ke masalah ketiga, yaitu: "kecemburuan rasial" yang melahirkan issue rasisme. Whether we admit it or not, dalam 8 tahun terakhir ini situasi sosial kemasyarakatan kita terhadap etnis keturunan China sedang tidak baik-baik saja. Apalagi ada kasus penistaan al-Qur-ān oleh oknum gubernur keturunan etnis China yang dikenal beradab buruk beberapa tahun lalu. Well, tak perlu cerita lebih lanjut lah ya?

Terus terang, issue rasisme ini tidak baik, tidak oke, dan itu memecah-belah bangsa ini. Ras itu given, tiada seseorang pun yang bisa meminta ia dilahirkan dari ras tertentu. Jadi bencilah perbuatannya, bukan rasnya. Jangan pula bilang kalau "oknum kok banyak", jangan ya…?

Demikian lintasan pemikiran pagi ini.

نسأل الله السلامة والعافية في الدنيا والأخرة

… … …

📝 Catatan:
Saya lebih suka pakai istilah "China", karena itu istilah umum di Dunia, BUKAN penghinaan. Please do not accuse me racist, ya? Karena saya punya teman-teman laki dan perempuan dari etnis keturunan China yang sedari kecil berteman baik dengan saya, baik di Dunia Nyata maupun di social media. Do you?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh