Ketika Manusia Sok-sok Jadi Tuhan



Di awal Dekade 70an, rezim penguasa di Negara Komunis RRC menerapkan "One Child Policy" di mana satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak saja. Saat itu, mereka memandang kalau tak ada kebijakan pengendalian populasi yang drastis seperti itu, maka penduduk RRC (yang di awal Dekade 70an itu sekira 800 juta) akan jadi tak terkendali. Mereka membayangkan akan menghadapi krisis multi dimensi yang mengerikan, seperti: kelaparan, kekumuhan kota, kriminalitas, dlsb.

Penerapan One Child Policy ini dilakukan dengan tangan besi sehingga klinik-klinik aborsi pun menjamur di seluruh kota di RRC. Ditambah pula budaya etnis China yang agak-agak misogynistic… sehingga begitu banyak janin perempuan diaborsi karena mereka menginginkan anak laki-laki.

Apa akibatnya…?

Dalam jangka pendek, jumlah perempuan di perkotaan menurun karena kebijakan satu anak ini kuat diterapkan di perkotaan dibanding di pedesaan. Sehingga di kota-kota, laki-lakinya kekurangan perempuan dan terpaksa mencari jodoh perempuan dari pedesaan.

Besar keluarga itu mengecil, sehingga anak-anak yang dilahirkan sejak Dekade 70an tak tahu rasanya bagaimana punya saudara kandung. Ini saya tahu sendiri karena waktu saya sekolah di Melben, beberapa teman dari "Mainland" kagum karena saya cerita punya 2 kakak, sementara mereka dengan wajah memelas dan mata berkaca-kaca cuma bisa bilang, "No siblings, all friends…"

One Child Policy ini begitu sukses sehingga RRC memiliki angka Fertility Rate 1,16 (2021), yang mana itu sangat rendah.

Apa artinya…?

Well, gampangnya OECD mengatakan bahwa kalau mau punya "stable population", maka Fertility Rate itu harus di kisaran 2,1.

Paham sampai di sini…?

Jadi kalau angkanya di bawah 2,1 maka artinya populasi menurun. Decaying society…!

Ya iyalah, kalau seorang laki dan perempuan menikah cuma punya 1 anak, artinya 2 "diteruskan" oleh 1. Maka tentunya populasinya akan tergerus. Paham kan?

Apa konsekwensinya…?

Nah… bayangkan generasi yang lahir di Dekade 70an dan 80an itu, mereka akan menua kan? Saat mereka tua, sudah tak produktif lagi, maka anak-anak mereka harus menanggung biaya hidup kedua ortunya. Sementara 1 anak menanggung 2 ortu. Akhirnya piramida kependudukan terbalik. Masyarakat dengan piramida kependudukan terbalik (jumlah yang tua jauh lebih banyak dari jumlah yang muda), adalah masyarakat yang akan hancur (decaying society)…!

Terbayangkan 10-20 tahun dari sekarang "mesin ekonomi" RRC mogok karena kekurangan manusia yang menjalankannya?

Menyadari kesalahan itu rezim penguasa RRC telah mencabut kebijakan One Child Policy itu sejak 2016, dan bahkan kini mulai melarang aborsi. Tetapi, masyarakatnya sendiri "sudah keenakan" dengan punya anak sedikit, bahkan tak punya anak sekalipun, karena mahalnya biaya "membesarkan anak". Akibatnya, mereka tanpa perlu dipaksa-paksa pun jadi "malas beranak".

Sebenarnya masalah rendahnya Fertlity Rate ini bukan hanya dialami oleh RRC, tapi juga Taiwan (1,07), Korea Selatan (1,09), Singapura (1,15), dan Jepang (1,38). Sampai-sampai rezim penguasa di Singapura memberikan insentif fiskal (pajak dan subsidi) bagi warganya agar beranak!

Well, itulah kalau manusia sok-sok menjadi tuhan memaksa mengontrol kehidupan secara drastis. Akibatnya ya ambyaaar…

Saya jadi ingat hadīts mulia ini:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى ؟ قَالَ : كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ

(arti) _“Seseorang laki-laki bertanya: "Wahai Rosūlullōh, sungguh aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku melakukan ’azl (coitus interuptus – mengeluarkan mani di luar farji -pent) terhadapnya, serta tak ingin ia hamil. Aku menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki, sementara orang-orang Yahūdi mengatakan bahwa ‘azl adalah pembunuhan kecil?". Beliau ﷺ‎ menjawab: "Orang-orang Yahūdi itu telah berdusta. Seandainya Allōh menghendaki untuk menciptakannya (hamil), maka mereka takkan dapat menolaknya."”_ [HR Abū Dāwūd no 2173].

Family planning itu boleh, tapi tak boleh dilakukan dengan sadis. Tak boleh menjadikan masyarakat hancur. Kalau sok-sok, ya tanggung sendirilah akibatnya!

Demikian lintasan pemikiran pagi ini, semoga bermanfaat.

نسأل الله السلامة والعافية في الدنيا والأخرة

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh