Masih Tentang Ketertampakan Hilāl



Beredar meme yang menukil berita Menteri Agama sudah tiba di Tanah Suci untuk menunaikan hajji lalu diberi caption: "doi yang ngumumin Lebaran hari Ahad, lantas doi malah lebaran hari Sabtu"…

❓ Terus bagaimana?

Jadi saya barusan diberikan screenshot yang katanya dari Observatorium Bosscha (sebagaimana terlampir) yang mana dinyatakan bahwa hilāl sebenarnya terlihat oleh Bosscha pada tanggal 29 Juni 2022. Lalu saya teringat bahwa ada informasi persaksian ru’yah (penglihatan) hilāl di Sidogiri yang katanya hilāl terlihat walau dengan sudut kurang 2° dari ufuq. Memang sudut kurang 2° dari ufuq itu dianggap tak lazim, akan tetapi bukankah ada juga tempat pengamatan hilāl yang sering dianggap demikian seperti di Cakung dan di Gresik?

Maka untuk lebih memahami, harus paham apa dulu apa sih hilāl itu, baru bisa menjawab tentang mungkin atau tak mungkinnya hilāl terlihat dengan sudut kurang dari 2° di ufuq…

Hilāl itu adalah penampakan awal Bulan terlihat dalam satu periode. Seperti kita ketahui Bulan itu kan berotasi mengelilingi Bumi, dan Bulan itu tak punya cahaya sendiri melainkan ia hanya memantulkan cahaya Matahari yang mengenai permukaannya. Karena itulah sebetulnya ukuran ketertampakan Bulan bukan soal derajat ketinggian dari ufuq, akan tetapi soal "kalahnya ketertampakan" cahaya Bulan oleh sinar Matahari yang masih terlalu dekat (dalam pandangan mata). 

Jadi ibarat melihat bintang di waktu Zhuhur, maka mungkin atau tak mungkin terlihatnya bukanlah jawaban, sebab walau bintang itu memiliki pancaran sinar sendiri, akan tetapi ia kalah dengan cahaya Matahari sehingga kemungkinan terlihatnya kecil. Maka begitu juga dengan cahaya Bulan yang adalah pantulan dari sinar Matahari di permukaan Bulan, tampak atau tak tampaknya adalah perkara kalah atau tak kalahnya "cahaya" Bulan itu terhadap sinar Matahari. Jadi kalau derajat dari ufuqnya terlalu dekat, maka secara teoritis ya kalah lah cahaya Bulan itu dengan sinar Matahari. Sederhananya, kalau pemantulnya sangat dekat dengan sumber sinar yang dipantulkan (dalam pandangan mata), maka tentunya pantulan itu akan kalah oleh sinar aslinya, bukan? Sebab pemantul terliputi oleh sumber sinar aslinya.

Itulah kenapa selama ini Lajnah Falaqiyah menolak persaksian hilāl yang kurang dari 2° dari ufuq.

❓ Lalu bagaimana dengan persaksian ru’yah yang kurang dari 2° itu?

Kemungkinan "salah lihat" sangat bisa terjadi, karena ada banyak faktor di mana ru’yah itu bisa keliru, antara lain:
⑴. Faktor adanya obyek lain di dekat posisi tersebut sehingga dikira hilāl padahal bukan.
⑵. Faktor psikologis berupa harapan yang sangat kuat untuk bisa melihat hilāl sehingga bayangan dalam pikiran itu terasa seolah nyata (namun ini biasanya akan sadar setelah beberapa menit).
⑶. Faktor berupa pantulan hilāl di atas ufuq, di mana ini cukup membuat penasaran karena kenapa bisa ada cerminan hilāl yang terlihat di atas ufuq? Ternyata hilāl terpantulkan oleh debu atau partikel pengotor di udara.

❓ Lalu bagaimana dengan persaksian orang yang melihat hilāl yang kemungkinan bukan hilāl itu?

Penglihatan hilāl itu sebenarnya secara tradisi akan disumpah dengan nama Allōh ﷻ. Jadi karena para penglihat itu mereka bersumpah atas dasar keyakinan, maka kalau ada yang bisa memastikan bahwa keyakinan tersebut keliru, ya sah-sah saja menolak sumpah itu. Akan tetapi seandainya diterima, karena kita tak punya kemampuan dan ‘ilmu soal penglihatan hilāl, maka juga tak bisa disalahkan secara ‘ilmu fiqih kalau kita menerimanya.

Itulah kenapa ru’yah-ru’yah di Sa‘ūdi juga banyak yang tergolong "ru’yah super", tetapi akhirnya diterima oleh Negara… bahkan diikuti negara-negara di sekitarnya.

❓ Bagaimana ‘ibādah kita yang mengikuti ru’yah yang kemungkinan salah itu?

‘Ibādahnya insyā’allōh tetap sah. Para ‘ulamā’ fuqohā’ menegaskan bahwa seandainya pun penentuan tanggal 9 Dzul-Ḥijjah di ‘Arofah itu keliru, maka wukufnya para jamā‘ah hajji tetap sah dan tak perlu diulang.

Dalam sejarahnya sendiri, terus terang saya belum baca bahwa pernah ada perbedaan para jamā‘ah hajji yang berarti tentang penentuan tanggal wukuf ini. Satu dua orang berbeda mungkin, akan tetapi kalau jamā‘ah sampai terbelah dua dalam penentuan wukuf -sebatas yang saya tahu- tak pernah terjadi. Wallōhu a‘lam.

Oya, ada kejadian menarik di tahun 2005 dulu di mana Pemerintah Sa‘ūdi meralat penetuan tanggal Dzul-Ḥijjah. Kebetulan saya pas lagi berhajji ketika itu. Jadi hari wukuf yang awalnya diumumkan pada hari Khamis, tiba-tiba diralat menjadi hari Rabu. Diralatnya karena ada laporan ru’yah dari 3 orang saksi, dan sepertinya itu adalah laporan susulan setelah sudah ada pengumuman. Sempat jadi geger, akan tetapi setelah diralat ya akhirnya semuanya kompak wukuf mengikut hari hasil dari ralat itu.

Demikian, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh