Cinta Transaksional



Kaum Feminist SePiLis dengan ideologi Misandri-nya mencoba menjadikan hubungan suami-istri adalah hubungan transaksional antara manusia dengan manusia.

☠️ Padahal itu betul yang merusak sendi-sendi kemanusiaan…!

Betapa tidak? Kalau sekedar transaksi antara manusia dengan manusia, maka begitu salah satu pihak dianggap sudah tak menguntungkan lagi, maka habis sudah… Atau lebih "tinggi" lagi jika salah satu pihak terus menarik deposit "coin of love"nya hingga sampai habis, maka that's it, habis sudah hubungan itu… bubar…!

Apakah salah jika memandang hubungan antara manusia itu transaksional…?

Well, tidak… karena motivasi transaksional itu sudah hardwired di dalam hati manusia. Itu sudah "Sunnatullōh" karena manusia bukanlah Malā-ikat yang tak mempunyai hawa nafsu, sehingga kita berbuat sesuatu pasti mengharapkan balasan. Nah di sinilah Islām mengajarkan kita mencapai tingkatan yang paling tinggi dari transaksi, yaitu: "IKHLĀSH".

Selama ini kita mendapati definisi yang keliru dari kata "ikhlāsh" yaitu tanpa pamrih. Tidak, ikhlāsh itu BUKAN tanpa pamrih, ikhlāsh itu juga bukan hanya mengharap Ākhirot semata dengan tak mengharap Dunia, sebab Dunia diciptakan untuk orang berīmān.

❓ Lalu apa definisi ikhlāsh yang tepat…?

📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ ٱلدُّنْيَا فَعِندَ ٱللَّهِ ثَوَابُ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

(arti) _“Siapa saja yang menghendaki balasan di Dunia saja (maka ia merugi) karena di sisi Allōh ada balasan Dunia dan pahala di Ākhirot. Dan Allōh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 134].

⇛ Jadi yang tepat definisi dari ikhlāsh itu adalah HANYA mengharapkan ridhō dan balasan dari Allōh ﷻ semata ketika ber‘amal.

⚠ Jadi ikhlāsh itu bukan tanpa pamrih, tidak. Kita justru mengharapkan betul Allōh ﷻ yang membalas ‘amal kita, dan kita melepaskan diri kita dari pamrih terhadap makhluq karena begitu hati kita tersusupi riyā’ dan sum‘ah, maka rusaklah ikhlāsh.

‼️ Jika kita sudah benar memahami makna ikhlāsh bahwa ikhlāsh adalah pamrih hanya kepada Allōh ﷻ dengan menolak sedikitpun dari makhluq, maka kita paham bahwa memang ber‘amal itu transaksional karena kita bertransaksi dengan Allōh ﷻ.

📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ

(arti) _“Sungguh-sungguh Allōh membeli dari orang-orang mu’min baik diri maupun harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka.”_ [QS at-Taubah (9) ayat 111].

Maka begitu juga dengan pernikahan, pernikahan itu juga transaksi. Maka naikkanlah tingkatan transaksi itu ke derajat yang paling tinggi, yaitu: ikhlāsh karena Allōh ﷻ semata.

Jika seorang suami berbuat baik kepada istri, maka niyatkan itu karena perintah Allōh ﷻ‎ dan Rosūl-Nya ﷺ‎. Sebaliknya begitu juga ketika istri ta'at dan melayani suami, maka niyatkan itu adalah karena perintah Allōh ﷻ‎ dan Rosūl-Nya ﷺ‎.

Itulah rumah tangga yang melahirkan cinta sejati, cinta yang melayani tanpa diminta… cinta yang berkorban tanpa dituntut… karena suami dan istri yakin bahwa balasan hanyalah dari Allōh ﷻ semata. Semakin murni niyat di qolbū, maka kembali kepada QS an-Nisā’ ayat 134 di atas, bahwa Allōh ﷻ lah yang akan membalasnya dengan kebaikan di Dunia dan di Ākhirot… 

Sehingga saat rumah tangga itu mengalami cobaan, semakin tinggi tingkat keikhlāshan, maka akan semakin rendah tingkat kekecewaan – sebab bukankah orang yang ikhlāsh takkan pernah kecewa karena ia tak mengharapkan balasan dari makhluq?

Kita berdo'a:

ٱللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ نَفْسًا بِكَ مُطْمَئِنَّةً تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ وَتَرْضَى بِقَضَائِكَ وَتَقْنَعُ بِعَطَائِكَ
{allōhumma innī as-aluka nafsan bika muthma-innatan tu’minu biliqōika watardhō biqodhō-ika wataqna-‘u bi-‘athō-ika}

(arti) "Wahai Allōh, saya memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepada-Mu, yang yakin akan bertemu dengan-Mu, yang ridhō dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh