Pengaturan Speaker Adzan

Bagi saya, penggunaan speaker arah keluar untuk adzan itu adalah keharusan.

❗ Tidak boleh ada tawar-menawar, karena memang adzan itu untuk memanggil Ummat Islâm untuk mendirikan sholât.

🔥 Siapapun yang mencegah adzan, apalagi menistakan adzan, maka mereka itu adalah musuh Ummat Islâm.

Namun, setuju perlu adanya pengaturan terhadap penggunaan speaker arah ke luar tersebut.

Misalnya…

⑴. Berapa decibel tingkat kekerasan volumenya?

Hal ini tentunya harus dilihat dari Masjidnya di lingkungan yang bagaimana? Seberapa jauhkah jarak antara Masjid yang satu dengan Masjid yang lain? Seberapa rapatkah rumah-rumah di sekitar Masjid tersebut?

Aturan ini harus dibuat dan disesuaikan dengan kelas atau jenis lingkungannya.

⑵. Yang diizinkan pakai speaker ke luar hanyalah untuk adzan dan iqomah.

🚫 Sedangkan untuk yang lain, tidak boleh menggunakan speaker luar, termasuk untuk tilawah atau sholâwatan…!

❓ Loh, kenapa…?

⇛ Iya, karena yang namanya dzikir kepada الله itu sebaiknya dilakukan dengan lembut dan tak mengganggu orang sebagaimana petunjuk junjungan kita Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم ketika para Shohâbat yang mulia berdzikir keras-keras lalu Beliau mencegahnya…

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ،  تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ

(arti) _“Wahai sekalian manusia! Kasihanilah diri  (lirihkanlah suara) kalian, karena kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan tidak ada. Sungguh Allôh bersama kalian. Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat.”_ [HR al-Bukhôrî no 2992; Muslim no 2704].

Perintah Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم itu adalah sejalan dengan petunjuk Robbul-‘Âlamîn pada firman-Nya di dalam al-Qur-ân.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

(arti) _“Berdo'alah kepada Robb-mu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut. Sungguh Allôh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”_ [QS al-A‘rôf (7) ayat 55].

Di dalam ayat suci yang lain…

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

(arti) _“Dan sebutlah (nama) Robb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan dengan penuh rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.”_ [QS al-A‘rôf (7) ayat 205].

Itu dasarnya kenapa tilawah dan sholâwatan seharusnya tidak menggunakan speaker luar.

❓ Tapi bukankah ada dalîl tentang dzikir dikeraskan dan dzikir jamâ‘ah…?

Iya betul, silakan tilawah, dzikir jamâ‘ah, atau sholâwatan di dalam Masjid. Tetapi jangan pakai speaker ke luar, karena itu mengganggu bagi sebagian tetangganya.

Sementara mengganggu tetangga itu jelas dilarang oleh Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ

(arti) _“Siapa saja yang berîmân kepada Allôh dan Hari Âkhirot, maka janganlah ia mengganggu tetangganya.”_ [HR al-Bukhôrî no 6108, 6136, 6475; Muslim no 47; Abû Dâwud no 5154; Ahmad no 7307, 9223, 9558].

⚠ Di situlah indahnya Syari‘at Islâm…

Tilawah dan sholâwatan adalah bentuk ‘ibadah, namun itu bisa jadi mengganggu tetangganya yang sedang butuh istirahat, atau yang butuh ketenangan, apabila dilakukan dengan speaker luar.

Para fuqoha mengenal qoidah: "دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِح" – yang artinya: menghilangkan kemudhorotan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan.

Jadi tak perlu lah memakai speaker ke luar untuk tilawah, sholâwatan, atau pengajian emak-emak… apalagi untuk latihan ngaji / adzan anak-anak yang suaranya serak aduhai begitu…

Tentunya lebih tak perlu lagi speaker luar Masjid untuk memutar lagu gambus à la Sabyan mengiringi warga yang lagi gotong royong.

Demikian, والله أعلمُ بالـصـواب.

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh