Menimbang Diri, Layakkah Menjadi Imâm Sholât?

Di dalam kitâb-kitâb fiqih sholât, maka para fuqoha menetapkan beberapa syarat kelayakan seseorang menjadi imâm sholât berdasarkan suatu hadîts mulia yang hampir semua Ummat Islâm tahu.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

ييَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

(arti) _“Yang (berhak) menjadi imâm (suatu) kaum, adalah yang paling pandai membaca Kitâbullôh. Apabila mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang Sunnah. Jika mereka dalam Sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijroh. Jika mereka dalam hijroh sama, maka yang lebih dahulu masuk Islâm (di dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imâm terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.”_ [HR Muslim no 673; Abû Dâwud no 582, 583, 584; at-Tirmidzî no 235; an-Nasâ-î no 780; Ibnu Mâjah no 980; Ahmad no 16477, 21308].

Jadi…

⚫ Syarat pertama itu adalah kefasihan seseorang di dalam al-Qur-ân, di mana itu menyangkut makhroj huruf, mad panjang pendek, dan tentunya tajwid.

⚫ Kemudian syarat kedua adalah ke‘aliman seseorang terhadap agama. Ke‘aliman di sini tentunya yang pertama-tama adalah berkenaan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sholât, mulai dari rukun-rukun wudhu’, rukun dan bacaan-bacaan sholât, hukum-hukum Sujud Sahwi, dan yang seterusnya.

Apabila ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan al-Qur-ân dan lebih ‘alim (baik dalam sholât dan fiqih yang lain), maka sebaiknya ia mendahulukan orang tersebut, di mana hal tersebut adalah sebagaimana perintah dari Baginda Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم pada hadîts mulia di atas.

⚠ Kalau setara bacaannya, setara ke‘alimannya, baru kemudian masuk kepada adab, yaitu: mendahulukan yang lebih tua, mendahulukan penguasa, dan mendahulukan tuan rumah.

Maka perhatikan gambar di bawah ini…

Orang yang ditandai dengan angka 1, itu adalah… well, you know who lah?

Orang yang bacaan al-Fâtihahnya salah fatal – link: https://youtu.be/I76Giya9iVM
Orang yang bacaan Hawkallôhnya mengerikan – link: https://youtu.be/3q-QEiAUPGc
Orang yang idhtiba’nya ketika ‘umroh terbalik – link: http://bit.ly/2BblDJC
Orang yang terpergok berkali-kali menyuap makanan dan minum ke mulut dengan tangan kiri – link: http://bit.ly/2B8TmDr

Malah menjadi imâm sholât bagi orang berpeci hitam yang ditandai dengan angka 2, yang jelas adalah lulusan doktoral / S3 Tafsîr dari al-Azhar, Mesir.

Padahal jelas no 2 itu bacaan al-Qur-ânnya tak perlu diragukan… begitu pula dengan pengetahuannya akan hukum-hukum yang berkenaan dengan sholât sama sekali tak perlu diragukan lagi… dan tentunya orang no 2 itu adalah "tuan rumah" di situ…

Satu hal penting lagi…

☠ Seseorang sangat tidak dianjurkan menjadi imâm apabila jamâ‘ah tidak menyukainya.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

ثَلاَثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

(arti) _“Tiga golongan yang tidak terangkat sholât mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka (,yaitu): seseorang menjadi imâm suatu kaum sementara mereka membencinya, perempuan yang melewati malam sementara suaminya marah kepadanya, dan dua orang bersaudara yang memutuskan hubungan.”_ [HR Ibnu Mâjah no 971]

⇛ Zhohir hadîts ini menerangkan bahwa tiada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ‘ilmu) atau yang lainnya. Tak pula disebutkan apakah kebencian yang timbul itu berasal dari permasalahan duniawi ataukah sebab agama / syar‘i.

Tentunya seseorang yang dibenci karena ingkar janji dan melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, apalagi berteman dekat dengan orang yang telah terbukti menista Kitâbullôh dan malah bangga dengan pertemanannya itu, adalah sangat-sangat tidak pantas menjadi imâm, bukan?

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh