Calon Suami Idaman

Di dalam hadîts, dikatakan bahwa laki-laki yang sebagai "calon suami idaman" itu syaratnya 2, yaitu:
⑴. Baik agamanya.
⑵. Baik akhlâqnya.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَانْكِحُوْهُ ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

(arti) _“Apabila datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhôi agama dan akhlâqnya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di Bumi dan kerusakan yang besar.”_ [HR at-Tirmidzî no 1085; Ibnu Mâjah no 1967 ~ dinilai shohîh oleh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, Silsilah al-Ahâdîts ash-Shohîhah no 1022].

❓ Pertanyaannya bagaimana kriteria ridhô terhadap agama dan akhlâq tersebut?

Tentunya keduanya, baik agama apalagi akhlâq tersebut bukan dilihat pada saat nazhor apalagi khitbah, karena itu hanyalah "tourist's consumption" saja.

⇨ Tidak demikian, tetapi harus ditanyakan kepada orang yang benar-benar paham dan mengenal baik akan si karakter si laki-laki tersebut, yaitu tentang bagaimana keadaan kesehariannya di dalam beragama dan berinteraksi.

Misalnya bertanya dengan tetangga dekatnya, dengan partner bisnisnya, dengan teman sekolahnya, atau dengan teman safarnya (safar yang lama dan berat, misalnya hajji reguler).

Definisi tentang "mengenal baik" seseorang itu adalah berdasarkan nasihat dari Kholîfah ‘Umar ibn al-Khoththôb رضي الله عنه ketika beliau menanyakan tentang bagaimana seseorang itu mengatakan dirinya mengenal seseorang dengan baik [lihat: Irwa’ al-Gholil VIII/260 no 2637 dan Mawa‘idz Shohâbah], yaitu apabila:
⒜. Tetangga dekat yang mengetahui kondisinya di malam hari dan di siang hari, serta datang dan perginya.
⒝. Pernah bermu‘amalah yang berkaitan dengan dirham dan dinar di mana keduanya adalah indikasi sikap waro’.
⒞. Pernah bersafar dalam waktu yang lama dengan perjalanan yang berat, yang mana safar merupakan indikasi dari mulianya akhlâq seseorang.
⒟. Pernah memberi amanah.

Jadi sebelum bertanya, maka tentunya pastikan bertanya kepada orang yang tepat.

Kemudian setelah ditanya, maka tentunya standard "baik" itu apa?

Ternyata di dalam al-Qur-ân ada petunjuk standard baiknya agama dan akhlâq seorang laki-laki calon suami, yaitu bagaimana seorang laki-laki itu mendirikan sholât dan menunaikan zakat, dan bagaimana ia memperlakukan dan berinteraksi dengan ibunya.

Apa dalîlnya?

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ menceritakan pernyataan Nabiyullôh ‘Îsâ عليه الصلاة و السلام:

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۞ وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

(arti) _“Dan Dia (Allôh) menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan sholât dan menunaikan zakat selama hidupku, dan berbhakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang kasar lagi sombong dan celaka.”_ [QS Maryam (19) ayat 31-32].

⇒ Laki-laki yang itu harus disiplin dalam menunaikan sholât dan membayarkan zakat selama hidupnya.

🔥 Kalau sholât saja yang fardhu ‘ain ditinggalkan, bolong-bolong, maka apa yang bisa diharapkan dengan perlakuan kepada istrinya?

🔥 Kalau zakat saja yang wajib ia remehkan, padahal mampu dan berpenghasilan tetap, maka bagaimana dengan yang kewajibannya terhadap istrinya?

Kemudian soal akhlâq, maka…

⇒ Laki-laki itu harus dilihat dari bagaimana ia berbhakti kepada ibunya dan bagaimana ia memperlakukan ibunya.

Mengapa?

Karena seseorang yang tidak berbhakti kepada ibunya, biasa ia akan jadi keras lagi sombong, bahkan celaka (tidak diberkahi hidupnya)…!

🔥 Bagaimana ia akan baik kepada istrinya, perempuan yang baru ketemu setelah ia tumbuh dewasa, sementara dengan perempuan yang mengandungnya 9 bulan, menyapihnya sampai dua setengah tahun dari bayi hingga balita, membesarkannya, merawatnya ketika sakit, bahkan suapan yang telah sampai di depan mulut saja diberikan kepadanya, tetapi diperlakukannya dengan buruk?

☠ Pribadi laki-laki yang demikian adalah pribadi yang kasar lagi sombong.

Dan…

☠ Itu akan menyebabkan kehidupannya "celaka" (شَقِيًّا) atau "tidak diberkahi".

Tidak berbhakti kepada ibu itu akan menyebabkan hidup susah akibat tiadanya keberkahan, karena jelas-jelas الله Subhânahu wa Ta‘âlâ memerintahkan untuk berbhakti kepada ibu kandung.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

(arti) _“Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya yang mengandungnya dengan susah-payah, dan melahirkannya dengan susah-payah pula, dan mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.”_ [QS al-Ahqôf (46) ayat 15].

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

(arti) _“Dan Kami perintahkan kepada manusia berbhakti kepada kedua orangtuanya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.”_ [QS Luqmân (31) ayat 14].

Para ‘ulamâ’ terdahulu mengatakan syukur kepada الله Subhânahu wa Ta‘âlâ takkan diterima sebelum syukur kepada kedua orangtua, khususnya kepada ibu. Sebab, perintah berbhakti kepada kedua orangtua itu digandeng dengan perintah mentauhîdkan الله.

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

(arti) _“ Dan Robb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan meng‘ibadahi selain dari Dia, dan hendaklah kamu berbhakti kepada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya.”_ [QS al-Isrô’ (17) ayat 46].

Demikian pentingnya melihat seorang calon suami dari sisi bagaimana ia berbhakti kepada kedua orang tuanya, karena itu akan mempengaruhi sangat terhadap bagaimana ia memperlakukan istrinya kelak.

Last but not the least, tentunya harus memperhatikan kondisi sekufu / setara.

Sekufu / setara dalam hal apa?

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَع ٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

(arti) _“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, yaitu: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah perempuan yang ta'at beragama, niscaya kamu akan beruntung.”_ [HR al-Bukhôrî no 5090; Muslim no 1466; Abû Dâwud no 2047; an-Nasâ-î no 3230; Ibnu Mâjah no 1858; Ahmad no 9156].

Kesetaraan ini penting, karena kondisi yang terlalu berbeda (jomplang) akan membebani keharmonisan berumahtangga kelak.

Kesemuanya itu adalah prerequiste, alias syarat-syarat sebelum… adapun selanjutnya ketika sudah menikah, tentunya bagaimana kita masing-masing menjalaninya.

والله أعلمُ بالـصـواب 

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh