Amar Ma‘rûf Nahyi Munkar Itu Harus Persisten

Salah satu bukti dari betapa rusaknya ‘aqidah "murji-ah ma‘al hukkâm"-nya GPK Kokohiyyun itu adalah mereka membiarkan kezhôliman yang dilakukan oleh hukkâm yang lalim dengan beralasankan untuk mencegah fitnah kerusakan yang lebih besar.

Bahkan bukan hanya mengajarkan agar ummat apatis terhadap kezhôliman hukkâm, GPK Kokohiyyun itu dengan tak tahu malu malah membenarkan kelakuan hukkâm yang lalim itu dengan mengutip matan hadîts dho‘if: "وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ … وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ" (arti: akan ada di kalangan mereka orang-orang yang hatinya adalah hati Syaithôn berwujud manusia … meski punggungmu dipukul dan hartamu dirampas).

Tak cukup sampai di situ, mereka pun malah menjadi pendukung dan penjilat hukkâm yang zhôlim, sampai mengeluarkan analogi-analogi bodoh yang menyamakan presiden dengan bapak lah, dengan suami lah, bahkan dengan guru lah…

Intinya, bagi GPK Kokohiyyun itu yang namanya kezhôliman penguasa harus disikapi sebagai: taqdir yang harus diterima dengan sikap nrimo, karena menurut mereka penguasa itu adalah cerminan dari rakyatnya, sehingga rakyatnya yang harus diganti, bukan penguasanya.

❓ Pertanyaannya: karena GPK Kokohiyyun itu mengadang-gadang diri mereka sebagai pengikut Salafush-Shôlih, maka apakah memang demikian keyakinan dan sikap para Salafush-Shôlih ketika menghadapi hukkâm yang zhôlim?

Ternyata sama sekali tidak…!

Perhatikan apa yang dikatakan oleh seorang Tâbi‘în berikut ini…

📍 Kata Yûnus ibn ‘Ubaid رحمه الله:

إذا خالف السلطان السنة وقالت الرعية : قد أمرنا بطاعته ؛ أسكن الله قلوبهم الشك وأورثهم التطاعن

(arti) _"Apabila penguasa menyelisihi Sunnah, dan rakyat (membelanya) pula dengan mengatakan: "kita diperintahkan untuk mena'atinya", maka Allôh akan menempatkan syak wasangka di dalam hati mereka dan menjadikan sesama mereka saling cela-mencela."_ [lihat: Ibnu Baththoh al-‘Akbarî, al-Ibânah ash-Shoghîr no 173 ~ tahqiq ‘Adil al-Hamdan].

Hal itu memang terbukti, karena secara logis saja, apabila hukkâm itu berlaku zhôlim, misalnya ketika berbicara berdusta, ketika berjanji mengingkari, ketika diberi amanah berkhianat, dan ketika berselisih berlaku jahat, maka ketidakadilan akan meruyak tatanan hidup kemasyarakatan…

Akibatnya masyarakat akan saling tak percaya, curiga mencurigai, dan mudah melontarkan celaan satu sama lainnya.

Ketidakadilan akibat kezhôliman itu adalah pangkal masalahnya.

❓ Lalu solusinya apa?

⚠ Solusinya adalah menegakkan amar ma‘rûf nahyi munkar.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

(arti) _“Siapa saja yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika ia tak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika ia tak mampu juga, maka ingkari dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya îmân.”_ [HR Muslim no 49; Abû Dâwud no 1140, 4340; at-Tirmidzî no 2172; an-Nasâ-î no 5008, 5009; Ibnu Mâjah no 1275, 4013; Ahmad no 10651, 10723, 11034, 11068, 11090, 11442].

Adapun melakukan amar ma‘rûf nahyi munkar itu tidak hanya cukup sekali lurus saja, lantas kalau tak diacuhkan, maka ditinggalkan karena menganggap telah ditunaikan kewajiban…

Tidak…! - tidak ada cerita yang namanya nahyi munkar itu hanyalah: "cukup disampaikan, kalau tak bisa diluruskan, maka tinggalkan saja karena kewajiban telah gugur" - itu adalah pemahaman yang keliru…!

Perhatikan…

📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ ۞ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

(arti) _“Telah dila‘nati orang-orang yang kâfir dari Banî Isrô-îl dengan lisan Dâwûd dan ‘Îsâ ibn Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu!”_ [QS al-Mâ-idah (5) ayat 78-79].

⇛ Menurut yang dijelaskan oleh sebahagian ‘ulamâ’, orang-orang kâfir dari Banî Isrô-îl itu dila‘nat bukanlah karena mereka sama sekali meninggalkan amar ma‘rûf nahyi munkar. Tidak! Tetapi persis seperti yang telah sebutkan di atas, yaitu: ketika mereka merasa sudah menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemungkaran, tapi seruannya itu tak diterima, maka mereka meninggalkan amar ma‘rûf nahyi munkar karena berpendapat: "kan sudah disampaikan, kewajiban telah gugur", lalu mereka sibuk menshôlihkan diri mereka sendiri saja, dan bahkan ada yang berhaha-hihi lagi dengan para pelaku kemungkaran.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ

(arti) _“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya! Kalian harus terus menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah kemungkaran, atau Allôh akan mengirimkan adzab dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian ketika kalian berdo'a kepada-Nya, namun Allôh tak mengabulkan do'a kalian!”_ [HR at-Tirmidzî no 2169; Ahmad no 22212, 22238].

⇛ Ketika berhenti melakukan atau meninggalkan amar ma'rûf nahyi munkar, maka tatanan kehidupan akan rusak, di mana akibatnya pasti terjadi fitnah dan kekacauan. Berdo'a pun takkan diijabah, karena bagaimana mau diijabah saat tiada yang berusaha untuk merubah keadaan?

❗ Ingat, bukankah "innâllôha lâ yughoyyiru mâ biqowmin hattâ yughoyyirû mâ bi-anfusihim" - sungguh-sungguh الله takkan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka yang berusaha untuk merubah keadaan yang ada pada diri mereka.

Sejalan dengan itu…

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

لَنْ يَهْلِكَ النَّاسُ حَتَّى يَعْذِرُوا أَوْ يُعْذِرُوا مِنْ أَنْفُسِهِمْ

(arti) _“Manusia takkan dibinasakan kecuali telah banyak melakukan dosa, atau hingga mencari-cari alasan (dalih) atas kesalahan (karena sudah ditegakkan hujjah kepada mereka).”_ [HR Abû Dâwud no 4347; Ahmad no 17573, 21468].

Makanya kita melihat para Salafush-Shôlih itu tak pernah berhenti berusaha menegakkan amar ma‘rûf nahyi munkar sepanjang hidup mereka. Para Salafush-Shôlih itu sadar betul bahwa jihâd terbaik itu adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

(arti) _“Jihâd yang terbaik itu adalah mengatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim.”_ [HR Abû Dâwud no 4344; at-Tirmidzî no 2174; Ibnu Mâjah no 4011].

Para Salafush-Shôlih itu juga tak takut mengatakan kebenaran, karena mereka juga tahu betul bahwa Baginda Nabî melarang untuk takut kepada manusia saat tahu akan kebenaran.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

أَلاَ لاَ يَمْنَعَنَّ رَجُلاً هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

(arti) _“Ingatlah! Janganlah ketakutan terhadap manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran apabila ia mengetahuinya.”_ [HR Ibnu Mâjah no 4007].

Mereka tak takut akan ancaman apapun, dan itu bisa diteladani dari Imâm Abû Hanifah رحمه الله dan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah رحمه الله di mana mereka berdua wafat di penjara karena teguh dalam keyakinan mempertahankan kebenaran. Atau Imâm Ahmad ibn Hanbal رحمه الله yang dipenjara dan disiksa selama belasan tahun karena tak mau menyembunyikan kebenaran.

Jadi, memang sangat jauh beda antara ‘aqidah dan kelakuan GPK Kokohiyyun / BongLaf itu dengan ‘aqidah dan teladan sikap dari para Salafush-Shôlih.

Maka pertanyaannya: apakah masih mau merujuk masalah agama kepada GPK Kokohiyyun itu?

▪ IQ itu given, stupid itu pilihan.

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh