Beda Peran, Beda Tugas

Membaca postingan terlampir ini sungguh itu adalah bentuk logika serampangan yang didasari oleh kebodohan prosedural yang hanya dilontarkan oleh orang beràqal lemah yang malas berpikir.


Iya, bagaimana tidak?

TNI dan PolRI itu memang punya mandat struktural: mereka adalah Aparat Negara yang digaji oleh Negara. Mereka memiliki komando, perlengkapan, serta kewajiban formal untuk turun ketika bencana terjadi. Ketika mereka turun dalam SAR dan mitigasi bencana, maka itu adalah tugas kedinasan, bukan aksi moral tambahan. Mereka menjalankan apa yang memang sudah menjadi kontrak profesionalnya — bukan kemurahan hati ekstra yang layak dijadikan bahan propaganda politik.

Adapun membandingkan peran terstruktur aparat dengan mahasiswa yang tidak punya sumber daya, tidak punya pelatihan SAR, dan bahkan tidak punya kewajiban formal, jelas tidak logis dan tidak setara. Mahasiswa turun ke jalan adalah bagian dari fungsi sosial mereka sebagai civil society, bukan unit SAR. Mereka mengawasi kekuasaan, mengkritik kebijakan, dan menjaga ruang demokrasi — peran yang dalam sejarah justru sering menolong bangsa mencegah kerusakan yang lebih besar. Kalau tidak ada gerakan mahasiswa, maka banyak rezim sudah kelewat batas jauh sebelum rakyat bergerak secara total.

Sedangkan menuntut mahasiswa "ikut turun bantu bencana" sebagai syarat sahnya aksi mereka adalah salah kaprah dan bukti kelemahan àqal. Orang Barat punya perkataan, "it takes every kind of people to make this world go round". Setiap kelompok itu punya peran yang berbeda. Hanya orang yang lemah àqal berpikiran dangkal yang tidak mampu membedakan fungsi sosial satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Saat bencana, kontribusi masyarakat tentu luas dan bermacam-macam — donasi, logistik, relawan, kampanye informasi, dan lain sebagainya. Sebenarnya kalau sering turun ke lapangan, maka pasti tahu kalau mahasiswa itu sering terlibat tanpa perlu mempublikasikan diri.

Memaksakan narasi seolah-olah mahasiswa itu tak peduli hanya karena mereka tidak terlihat di foto / video viral semisal:
✗ artis muda anggota DPR yang berpose pakai tactical vest jongkok sok-sok menunjuk ke sungai, atau
✗ mantreee yang sok-sok menyerok lumpur dan angkat karung beras 5kG di pundak berasa seakan jadi Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي اللـه تعالى عنه,
✗ gabener nepo yang sok-sok drop kardus bantuan dari chopper,
maka itu adalah bentuk penyederhanaan yang curang lagi licik…!

Itu sama sekali bukan kritik, melainkan kecengengan dari oknum BuzzeRp yang dibungkus dengan moralitas palsu.

Tidak setiap peran harus identik dan bisa dipukul rata.

Framming bodoh "kalau bisa demo, harusnya bisa begini-begitu" macam ini adalah teknik propaganda "whataboutism" yang kerap digunakan untuk mendeligitimasi gerakan mahasiswa. Itu adalah cara halus untuk mendegradasi dan meremehkan kritik publik, mengalihkan pembicaraan dari substansi perjuangan mereka. Ujung-ujungnya adalah supaya mahasiswa diam, tunduk, dan berhenti mengusik kenyamanan rezim yang berkuasa.

Kalau tidak mampu berpikir jernih, minimal jangan mempermalukan diri sendiri di ruang publik lah.

Demikian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Membeli Karena Kasihan?