Berdo'a Meminta Dihindarkan Dari Cara Kematian Yang Buruk

Baginda Nabī ﷺ mengajarkan ummatnya untuk meminta kepada Allōh ﷻ agar dihindarkan dari cara kematian yang buruk.

📌 Adapun do'a yang diajarkan Baginda Nabī ﷺ itu adalah:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَرَقِ وَالْحَرِيقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا
{allōhumma innī a-‘ūdzu bika minat-taroddi wal-hadmi wal-ghoroqi wal-ĥarīqi wa a-‘ūdzu bika an-yatakhobbathonisy-syaithōnu ‘indal-mauti wa a-‘ūdzu bika an amūta fī sabīlika mudbiron wa a-‘ūdzu bika an amūta ladīghō}

(arti) _“Wahai Allōh, sungguh-sungguh saya berlindung kepada-Mu dari kebinasaan (terjatuh), dari kehancuran (tertimpa sesuatu), dari tenggelam, dari kebakaran, dan saya berlindung kepada-Mu dari dirasuki Syaithōn pada saat kematian, dan saya berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan berpaling dari jalan-Mu, dan saya berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan tersengat binatang berbisa.”_ [HR an-Nasā-ī no 5533].

‼️ Perhatikan…!

▪ At-taroddi itu artinya jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
▪ Al-hadm itu artinya tertimpa reruntuhan.
▪ Al-ghoroq itu artinya tenggelam.
▪ Al-ĥariq itu artinya terbakar api.
▪ An-yatakhobbathonisy-syaithōnu ‘indal-mauti itu artinya dikuasai oleh Syaithōn saat menjelang kematian sehingga terhalang untuk bertaubat.
▪ Al-ladhīghō itu artinya mati dalam karena terkena bisa sengatan / gigitan binatang semisal ular, kalajengking, laba-laba, dlsb.

❓ Loh bukankah kematian seperti tenggelam, tertimpa reruntuhan, dan terbakar tersebut disebutkan di dalam hadīts yang shohīh juga itu bisa membuat orang mendapatkan pahala mati syahīd? Kenapa Baginda Nabī ﷺ malah mengajarkan ummatnya untuk berdo'a meminta perlindungan dari hal-hal tersebut di atas?

Perhatikan penjelasan dari Imām ath-Thibi رحمه الله تعالى berikut ini…

ℹ️ Hal-hal yang disebutkan asalnya adalah mushībah, dan adapun mengharapkan kesyahīdan dari mushībah tersebut, perlu dipahami bahwa memang setiap mushībah sampai duri yang menusuk pun akan mendapatkan pahala, akan tetapi SANGAT BERBEDA antara syahīd di medan jihād fī sabīlillāh dengan syahīd karena mushībah itu. Sebab kesyahīdan di medan perang itu memang diharap-harap, sebaliknya syahīd karena terjatuh dari tempat tinggi, terbakar, dan tenggelam, itu tak boleh dicari-cari. Kalau seseorang berusaha mencari-cari kematian dengan cara-cara tersebut, malah dihukumi berdosa besar!

Perkara kesyahīdan itu pada dasarnya adalah PERKARA GHOIB dan hakikat sebenarnya hanya Allōh ﷻ saja yang Maha Mengetahui.

Berdasarkan nash, para ‘ulamā’ menggolongkan kesyahīdan itu dalam 3 jenis, yaitu:
⑴. Syahīd Dunia & Ākhirot, yaitu orang yang mati dalam peperangan di jalan Allōh dengan niyatnya benar-benar murni untuk mencari ridhō Allōh ﷻ semata.
⑵. Syahīd Dunia, yaitu: orang-orang yang mati dalam peperangan di jalan Allōh, akan tetapi tujuannya adalah mencari keduniawian semisal ghonimah atau agar dikatakan pemberani, bukan murni untuk mencari ridhō Allōh ﷻ.

‼️ Karena keadaan sebenarnya bagaimana kesyahīdan itu adalah pekara ghoib, bahkan untuk orang yang jelas-jelas gugur di medan jihād fī sabīlillāh saja Baginda Nabī ﷺ MELARANG para Shohābat untuk mengatakan semisal: "dia pasti telah syahīd" atau "dia telah di Syurga" tanpa petunjuk wahyu.

Contohnya ketika Perang Khoibar ada seorang budak (hadiah dari Banī Judzam) yang mati dipanah oleh musuh, dan para Shohābat pun mengatakan: "Berbahagialah ia dengan pahala syahīd!".

Maka apa kata Baginda Nabī ﷺ?

Dengan tegas Baginda Nabī ﷺ bersabda:

كَلاَّ ! وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عَلَيْهِ نَارًا أَخَذَهَا مِنَ الْغَنَائِمِ يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ ‏!

(arti) _“Sekali-kali tidak! Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain yang ia ambil dari rampasan Perang Khoibar yang belum dibagi akan menyalakan api padanya!”_ [lihat: HR al-Bukhōrī no 6707; Muslim no 115; Abū Dāwūd no 2711; an-Nasā-ī no 3827].

Begitu juga saat di dalam sebuah peperangan para Shohābat Nabī mendapati seorang laki-laki yang bertempur begitu gagah berani dengan tak membiarkan seorang pun dari kaum Musyrikīn yang berlalu di hadapannya kecuali ia kejar dan ia tebas dengan pedangnya, ditemukan telah gugur. Maka para Shohābat pun mengatakan: "Tidaklah seseorangpun dari kita pada hari ini mendapatkan kehebatan pahala seperti yang didapatkan oleh si Fulān itu…"

Tetapi apa kata Baginda Nabī ﷺ?

Baginda Nabī ﷺ malah mengatakan:

أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ‏

(arti) _“Sungguh-sungguh ia termasuk dari penduduk Neraka!”_

Maka para Shohābat pun keheranan bahkan sampai agak-agak down dan mengatakan: "Siapakah di antara kita yang bisa menjadi penghuni Syurga apabila orang sehebat itu saja masih termasuk penghuni Neraka?"

Ternyata ada yang mempersaksikan kalau laki-laki yang tampak pemberani itu tersebut saat ia terluka dengan luka yang parah, ia ingin segera mati hingga ia letakkan (gagang) pedangnya di tanah lalu ia menusukkan mata pedangnya pada ulu hatinya dengan menekankan badannya di atas pedang tersebut, hingga ia pun mati karena bunuh diri. [lihat: HR al-Bukhōrī no 4203].

❌ Apabila bagi orang yang jelas-jelas gugur di medan jihād fī sabīlillāh saja terlarang memastikan untuk kesyahīdannya tanpa ada petunjuk dari wahyu, maka apalagi dengan yang lainnya?

⑶. Makanya para ‘ulamā’ menggolongkan orang-orang yang mati karena:
⒜ proses melahirkan anak,
⒝ tenggelam,
⒞ tertimpa reruntuhan atau tertimbun tanah,
⒟ terbakar,
⒠ teraniaya,
⒡ sakit pada perutnya, dan
⒢ Thō‘ūn (wabah),
sebagai: "Syahīd Ākhirot", yang mana jenazah orang-orang yang termasuk dalam golongan tetap ini wajib untuk dimandikan, dikafani, dan disholātkan, lalu dikuburkan.

⚠️ Namanya "Syahīd Ākhirot" itu adalah karena hukumnya di Dunia sama seperti orang yang wafat dalam keadaan lainnya. Kita hanya bisa berhusnuzhon saja kepada Allōh ﷻ‎ bahwa berdasarkan hadīts yang shohīh orang tersebut mungkin mendapat pahala kesyahīdan. Akan tetapi tentang kepastian bagaimana kesyahīdannya itu, maka kelak di Ākhirot adalah Allōh ﷻ yang Maha Memutuskan.

Maka dari itu, yang sering sekali diajarkan oleh Baginda Nabī ﷺ do'anya adalah untuk memohon kepada Allōh ﷻ HUSNUL-KHŌTIMAH:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ حُسْنَ الْخَاتِمَةُ

Kita memohon kepada Allōh ﷻ‎ agar diberikan kesempatan untuk bertaubat sebelum kematian menjemput:

اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِيْ تَوْبَتًا نَصُوْحًا قَبْلَ الْمَوْتِ

Dan kita memohon kepada Allōh ﷻ agar diteguhkan di atas agama-Nya yang lurus selama hayat dikandung badan, tak terpengaruh syubhāt atas nama "kemanusiaan", "politically correctness", atau paham-paham sesat lainnya:

اَللّٰهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk