Metode Penentuan Awal Bulan Qomariyah



Kaum Muslimīn mengenal 3 metode penentuan awal bulan, yaitu:

⑴. Ru’yatul-Hilāl (رؤية الهلال)

Metode Ru’yatul-Hilāl ini bisa dikatakan adalah metode pertama yang dikenal manusia sebelum manusia menguasai Matematika dan Astronomi. Inti dari metode ini adalah aktivitas mengamati visibilitas hilāl pada saat Matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Qomariyah.

Jadi ru’yat hanya dilakukan manakala telah terjadi konjungsi Bulan-Matahari dan pada saat Matahari terbenam, hilāl telah berada di atas ufuq dan dalam posisi dapat terlihat. Konsekwensinya, apabila pada tanggal tersebut hilāl tidak terlihat, baik karena faktor cuaca atau memang hilāl belum tampak, maka bulan Qomariyah digenapkan menjadi 30 hari.

Inilah yang disebut pada hadīts mulia:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

(arti) _“Apabila bulan telah masuk malam ke-29 (dari bulan Sya‘bān -pent), maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilāl. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya‘bān menjadi 30 hari.” [HR al-Bukhōrī no 1907; ].

Metode ru’yat ini adalah paling basic, akan tetapi ia memiliki kekurangan mendasar di mana ummat Islām tidak mungkin bisa membuat kalender. Metode ini tidak dapat "meramal" tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui pada hari ke-29 (H minus 1). Bahkan, kalau mau dibahas, tidak jelas juga bagaimana kita tahu kapan tanggal 29 itu terjadinya kapan!


⑵. Wujūdul-Hilāl / Hisab (وجود الهلال)

Wujūdul-Hilāl ini adalah metode penetuan awal bulan Qomariyah berdasarkan hitungan Matematis Astronomis. 

Intinya, bulan baru dimulai apabila pada Hari ke-29 berjalan saat Matahari terbenam terpenuhi tiga syarat secara kumulatif, yaitu:
⒜ telah terjadi ijtima’,
⒝ ijtima’ terjadi sebelum Matahari terbenam, dan
⒞ pada saat Matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuq (yang mana ini adalah sebagai perwujudan dari perintah pada dalīl bahwa bulan harus digenapkan 30 hari jika hilāl tak terlihat).

Metode Hisab Wujūdul-Hilāl ini ditolak oleh sebagian fuqohā’ berdasarkan hadīts mulia:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

(arti) _“Sungguh kami adalah ummat ummiyah. Kami tidak mengenal kitābah (tulis-menulis -pent) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (Beliau ﷺ berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (Beliau ﷺ‎ berisyarat dengan bilangan 30).”_ [HR al-Bukhōrī no 1913; Muslim no 1080; an-Nasā-ī no 2141].

Namun sebagian fuqohā’ yang lain mengatakan bahwa hadīts itu tidak menunjukkan larangan pengunaan metode hisab dalam penghitungan penanggalan Qomariyah, akan tetapi hadīts mulia itu menunjukkan betapa mudahnya Syari‘at Islām itu (sehingga orang tak perlu disusahkan menguasai Metematika dan Astronomi yang rumit).

Namun kini ketika IPTek sudah berkembang pesat, dan penghitungan dengan rumus matematika yang rumit pun dapat dilakukan dengan cepat memakai bantuan komputer dengan kemampuan hitung giga FLOPS bahkan untuk kelas super komputer sudah sampai ratusan ribu peta FLOPS, dan kaum Muslimīn sudah menguasai pula ‘ilmu Astronomi yang rumit, maka tentunya ummat Islām saat ini sudah tak bisa dikatakan lagi sebagai "ummiyah" bukan?


⑶. Imkānur-Ru’yat (إمكان الرؤية)

Metode ketiga ini bisa dikatakan penggabungan antara metode Hisab dan metode Ru’yat. Sebab para ahli falak melakukan penghitungan Matematis Astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi (ijtima’), namun juga sekaligus melakukan pengamatan lapangan untuk memastikan benar tidaknya hilāl itu terlihat (sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya).

Pada metode ini penanggalan adalah berbasis perhitungan Matematis Astronomi dari peredaran Bulan, di mana akan dianggap memasuki perhitungan baru jika pada sore Hari ke-29 bulan Qomariyah berjalan pada saat Matahari terbenam, Bulan berada di atas ufuq dengan ketinggian tertentu yang memungkinkannya untuk dapat dilihat.

Kelemahan dalam metode ini adalah kriteria dianggap terlihatnya hilāl tersebut. Sebab para ahli tidak sepakat dalam menentukan berapa ketinggian Bulan di atas ufuq untuk dapat dilihat. Kriteria yang baru dari Menteri Agama Brunei Darussalam (MoRA), Malaysia (MABIMS), dan Singapura (MUIS) – yang juga baru saja dipakai oleh Indonesia – menetapkan sudut ketinggian Bulan ≥3° dengan elongasi ≥6.4° (padahal katanya kriteria demikian sulit sekali terlihat hilāl). Adapun di negara-negara lain seperti Amerika Utara (ISNA) mereka menetapkan sudut ketinggian hilāl ≥15°, Eropa (ECFR) mereka menetapkan sudut ketinggian hilāl ≥8°, sedangkan di Mesir sudut ketinggian hilāl ≥4°.

Kenapa berbeda-beda kriteria? Mungkin berdasarkan lokasi geografis daerah lalu dihubungkan dengan data statistik pengamatan hilāl selama bertahun-tahun.


Kalau ditarik kesimpulan, metode paling pasti tentulah adalah Ru’yatul-Hilāl (tapi kesulitannya adalah penanggalan kalender menjadi sangat sulit kalau tak mau dikatakan sebagai tak mungkin). Sedangkan Wujūdul-Hilāl lebih memberikan kepastian dibandingkan Ru’yatul-Hilāl. Adapun Imkānur-Ru’yat berusaha untuk mengkompromikan antara Ru’yatul-Hilāl dengan Wujūdul-Hilāl.

Adapun kita sebagai awam, ya ikutilah mana yang kita yakini. Karena ini bukan perkara salah benar, insya’Allōh para ‘ulamā’ fuqohā’ sudah berijtihād dengan sebaik-baiknya tentang hal ini.

نسأل الله السلامة والعافية

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh