Mendo'akan Kebaikan Bagi Pemimpin Yang Zhōlim?

🔵 Ketika Do'a Menjadi Senjata Mu’min Terhadap Kezhōliman Penguasa

Dahulu saat Nabiyullōh Mūsā عليه الصلاة و السلام sudah merasa memuncak kemarahannya terhadap kelaliman sang Penguasa Negeri Mesir, yaitu Fir‘aūn dan kroni-kroninya, disebabkan Fir‘aun mendustakan agama Allōh ﷻ dan menzhōlimi orang-orang yang berīmān, maka Nabī Mūsā pun berdo'a kepada Allōh ﷻ.

📌 Kata Allōh ﷻ mengisahkan do'a Nabī Mūsā tersebut di dalam firman-Nya:

رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَن سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ

(arti) _“Wahai Robb kami, sungguh Engkau telah memberi kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan di Dunia. Wahai Robb kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, mereka tak pernah akan berīmān hingga mereka melihat adzab yang pedih.”_ [QS Yūnus (10) ayat 88].

⇒ Lihatlah betapa mengerikannya permintaan dalam do'a Nabī Mūsā عليه الصلاة و السلام kepada الله untuk keburukan penguasa negeri Mesir dan kroni-kroninya itu!

Maka apa jawaban Allōh ﷻ terhadap do'a Nabī Mūsā itu?

📌 Kata Allōh ﷻ:

قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

(arti) _“Sungguh telah diperkenankan permohonan kalian berdua. Sebab itu, tetaplah kalian berdua pada jalan yang lurus, dan janganlah sekali-kali kalian mengikuti jalan orang-orang yang tak mengetahui.”_ [QS Yūnus (10) ayat 89].

Sebenarnya ada banyak contoh do'a dari para Nabiyullōh meminta keburukan terhadap kaumnya termasuk penguasanya yang kāfir lagi zhōlim, yang diabadikan oleh Allōh ﷻ di dalam al-Qur-ān.

❓ Tetapi bukankah penguasa zaman sekarang tidaklah sebengis dan sekāfir Fir‘aun, dan bukankah kita juga bukanlah Nabī Mūsā?

⇨ Iya, bisa jadi penguasa Zaman Now belum sebengis, selalim, dan sekāfir Fir‘aun, namun pastinya kita juga takkan seperti Nabī Mūsā, akan tetapi itu bukan berarti teralang mendo'akan keburukan bagi penguasa yang zhōlim!

Bahkan, telah jelas Baginda Nabī ﷺ mendo'akan keburukan bagi siapapun yang mempunyai kekuasaan atas Ummat Islām lalu ia berbuat zhōlim terhadap kaum Muslimīn.

📌 Do'a Baginda Nabī ﷺ:

اللّٰهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
{allōHumma man waliya min amri ummatī syai-an fasyaqqo ‘alaiHim fasyquq alaiHi wa man waliya min amri ummatī syai-an farfaqo biHim farfuq biH}

(arti) _“Wahai Allōh, siapa saja yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku, lalu ia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah ia. Siapa saja yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku, lalu ia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah ia.”_ [HR Muslim no 1828; Ahmad no 23481, 25003, 25015].

Bahkan pada sebuah riwayat dari Abū ‘Awānah dalam kitāb shohīhnya, penguasa yang khianat itu dido'akan la‘nat oleh Baginda Nabī ﷺ.

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:

مَنْ وَلِيَ مِنْهُمْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَعَلَيْهِ بَهْلَةُ اللَّهِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا بَهْلَةُ اللَّهِ ، قَالَ : لَعْنَةُ اللَّهِ

(arti) _“"Siapa saja yang memimpin mereka (kaum Muslimīn) dalam suatu urusan lalu ia menyulitkan mereka, maka semoga bahlatullōh atasnya.", maka mereka pun bertanya: "Wahai Rosūlullōh, apakah bahlatullōh itu?", Beliau ﷺ menjawab: "La‘nat Allōh."”_ [lihat: Subulus-Salām no 1401].

Coba perhatikan, ketika itu Baginda Nabī ﷺ tidak dalam posisi yang dizhōlimi oleh penguasa, namun jelas-jelas Beliau ﷺ mendo'akan keburukan penguasa yang zhōlim kepada kaum Muslimīn.

Maka apalagi do'a orang (rakyat) yang benar-benar mendapat perlakuan dizhōlimi…???

📌 Bukankah Nabī ﷺ pernah bersabda:

اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ ، فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

(arti) _“Takutlah dengan do'a orang yang dizhōlimi, karena tiada pembatas antara ia dengan Allōh.”_ [HR al-Bukhōrī no 1496, 2448, 4347; Muslim no 19; Abū Dāwūd no 1584; at-Tirmidzī no 625, 2014; an-Nasā-ī no 2435, 2522; Ibnu Mājah no 1783; Ahmad no 1967; ad-Dārimī no 1655].

Jika dilihat redaksi lengkap dari hadīts tersebut, maka jelas itu adalah perintah Baginda Nabī ﷺ kepada Shohābat Mu‘ādz ibn Jabal رضي الله تعالى عنه untuk berlaku ‘adil terhadap penduduk Yaman yang ta'at kepadanya (Mu‘ādz diutus sebagai pengambil harta zakāt ke Yaman).

☠ Maka sungguh sangat menggelikan kalau orang sudah dizhōlimi sebegitu rupa malahan dilarang mendo'akan keburukan terhadap penguasa yang menzhōliminya, sementara jelas Baginda Nabī ﷺ memerintahkan untuk berhati-hati dengan do'a orang yang dizhōlimi! Sesat menyesatkan itu yang demikian!

Jika membuka kitāb Hisnul Muslim, karya Syaikh Dr Sa‘īd ibn ‘Alī Wahf al-Qothoni, maka akan ditemukan do'a berikut yang diajarkan oleh Nabī صلى الله عليه و سلم kepada kaum Muslim saat berhadapan dengan penguasa yang zhōlim.

📌 Baginda Nabī ﷺ berdo'a:

اَللّٰهُـمَّ إِنّاا نَجْـعَلُكَ فِي نُحُـوْرِهِـمْ ، وَنَعـُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهِـمْ
{allōHumma innā naj‘aluka fī nuhū riHim, wa na‘ūdzu bika min syurūriHim}

(arti) _“Wahai Allōh, sungguh kami menjadikan-Mu di depan kami dalam menghadapi mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka.”_ [HR Abū Dāwūd no 1537 ~ Shohīh Sunan Abī Dāwūd II/335].

Masih di dalam kitāb Hisnul Muslim, Nabī صلى الله عليه و سلم juga mengajarkan do'a saat menghadapi kezhōliman penguasa.

📌 Baginda Nabī ﷺ:

اَللّٰهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ ، وَرَبَّ الْعَرشِ الْعَظِيْمِ ، كُنْ لِيْ جَارًا مِنْ ~فُلَانِ~ وَأَحْزَابِهِ مِنْ خَلَائِقِكَ ، أَنْ يَفْرُطَ عَلَيَّ أَحَدٗ مِنْهُمْ أَوْ يَطْغَى ، عَزَّ جَارُكَ ، وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ
{allōHumma robbassamāwātissa‘i, wa robbal ‘arsyil ‘azhīm, kun-lī jāron min ~Fulān~ wa ahzābihi min kholā-iqik, an yafrutho ‘alayya ahadū minHum aw yathghō, ‘azza jāruk, wa jalla tsanā-uk, wa lā ilāha illā ant}

(arti) _“Wahai Allōh, Robb 7 Langit dan Bumi, Robb ‘Arsy yang agung, jadilah penolongku kala menghadapi ~Fulān~ dan dari sekutunya dari makhluk ciptaan-Mu, (agar) tiada seseorang pun dari mereka berlaku sewenang-wenang terhadapku atau melampaui batas, pembelaan-Mu amatlah besar, pujian terhadap-Mu amatlah agung, dan tiada sesembahan yang berhak di‘ibadahi dengan benar selain dari Engkau.”_ [HR al-Bukhōrī, al-Adab al-Mufrod no 707; Ibnu Abī Syaibah no 29176 ~ dishohīhkan oleh Syaikh Muhammad Nāshiruddīn al-Albānī, as-Silsilah adh-Dho‘ifah no 2400].

Atau lafazh lain:

اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَعَزُّ مِنْ خَلْقِهِ جَمِيْعًا ، اَللهُ أَعَزُّ مِمَّا أَخَافُ وَأَحْذَرُ ، أَعُوْذُ باِللهِ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْمُمْسِكِ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ أَنْ يَقَعْنَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، مِنْ شَرِّعَبْدِكَ ~فُلاَنٍ~ ، وَجُنُوْدِهِ وَأَتْبَاعِهِ وَأَشْيَاعِهِ ، مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ ، اَللّٰهُمَّ كُن لِيْ جَارًا مِنْ شَرِّهِمْ ، جَلَّ ثَنَاؤُكَ وَعَزَّ جَارُكَ ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ ، وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ
{allōHu akbar, allōHu a-‘azzu min kholqiHi jamī-‘ā, allōHu a‘azzu mimmā akhōfu wa ahdzar, a-‘ūdzu billāHilladzī lā ilāHa illā Huwal mumsikissamāwātissab‘i an yaqo‘na ‘alal-ardhi illā bi-idzniH, min syarri ‘abdika ~Fulān~, wa junūdiHi wa atbā-‘iHi wa asy-yā‘iH, minal-jinni wal-ins, allōHumma kun-lī jāron min syarriHim, jalla tsanā-uka wa ‘azza jāruk, wa tabārokasmuk, wa lā ilāHa ghoiruk}

(arti) _“Allōh Maha Besar, Allōh lebih perkasa dibanding seluruh makhluk-Nya, Allōh lebih perkasa dibanding semua yang aku takuti dan aku khawatirkan, aku berlindung kepada Allōh yang tiada sesembahan yang berhak di‘ibadahi dengan benar selain-Nya, Yang mengendalikan 7 Langit hingga tak runtuh ke Bumi kecuali atas seizin-Nya, dari kejahatan hamba-Mu ~Fulān~ dan bala tentaranya serta pendukung-pendukungnya dari golongan jinn dan manusia. Wahai Allōh, jadilah penolongku untuk menghindari kejahatan mereka. Pujian terhadap-Mu amatlah agung, perlindungan-Mu amatlah besar, Maha Suci nama-Mu, dan dari-Mu. Tiada sesembahan yang berhak di‘ibadahi dengan benar selain dari-Mu.”_ [HR al-Bukhōrī, al-Adab al-Mufrod no 708; Ibnu Abī Syaibah no 29177; ath-Thobrōnī, al-Mu’jam al-Kabīr no 10599; al-Baihaqī, ad-Da‘awāt no 422].

… … …

🔵 Mendo'akan Kebaikan Suatu Negeri Adalah Sunnah Nabiyullōh

Salah satu do'a dari para Nabiyullōh yang Allōh ﷻ abadikan dalam al-Qur-ān adalah do'a al-Kholil Ibrōhīm عليه الصلاة و السلام untuk negeri Makkah agar menjadi negeri yang aman.

📌 Kata Allōh ﷻ mengisahkan di dalam firman-Nya:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

(arti) _“Dan (ingatlah) ketika Ibrōhīm berdo'a: "Wahai Robb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang berīmān (di antara mereka) kepada Allōh dan Hari Ākhir."”_ [QS al-Baqoroh (2) ayat 126].

Begitu juga saat Baginda Nabī ﷺ berda‘wah di Thō-if, lalu Beliau ﷺ dizhōlimi oleh penduduk Thō-if, yang mana tentunya tindakan itu pastinya dimotori oleh para pemimpin / pemuka masyarakat di sana. Kemudian datanglah Malā-ikat Jibrīl dengan Malā-ikat Penjaga Gunung, yang seandainya diperintahkan oleh Nabī untuk menimpakan gunung ke kota Thō-if, maka ia telah diberi izin oleh Allōh ﷻ untuk melakukan hal itu.

Tetapi apa jawab Baginda Nabī ﷺ?

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

(arti) _“Tidak, Namun aku berharap (berdo'a) supaya Allōh membangkitkan dari anak keturunan mereka orang yang ber‘ibadah kepada Allōh semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.”_ [HR al-Bukhōrī no 3231; Muslim no 1795].

Itulah do'a para Nabiyullōh ketika dihadapkan dengan kezhōliman rakyat - yang tentunya dimotori oleh para pemuka / pemimpin kaumnya.

⚠ Jadi jelas ya mendo'akan kebaikan bagi suatu negeri atau penduduknya adalah sunnah dari para Nabiyullōh.

☠ Sementara mendo'akan kebaikan bagi penguasa yang zhōlim lagi jahat kepada kaum Muslim, penguasa yang mengambil sekutu dari kaum Kuffār yang memusuhi Ummat Islām, maka entahlah itu sunnahnya siapa…?!?

Sebab, penguasa yang zhōlim - yang suka berdusta kepada rakyatnya, suka ingkar janji, suka berlaku tidak adil dan zhōlim - itu bahkan diancam oleh Baginda Nabī ﷺ…!

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

(arti) _“Siapa saja yang diberi beban oleh Allōh untuk memimpin rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allōh mengharōmkan Syurga atasnya.”_ [HR Muslim no 142; ad-Dārimī no 2838].

Mendo'akan keburukan bagi penguasa zhōlim itu juga dilakukan oleh para Tābi'īn yang paling utama seperti:

▫ Sa‘īd ibn Jubair رضي الله عنه -seorang ‘ulamā’ ahli fiqih dan ahli tafsīr, salah satu murid terbaik dari Shohābat ‘Abdullōh ibn ‘Abbās رضي الله تعالى عنهما- mengecam keras Gubernur di Madīnah saat itu, yaitu: al-Hajjāj ibn Yūsuf ats-Tsaqofī, yang terkenal sangat zhōlim.

Diceritakan oleh Abū al-Yaqzhōn:

كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون : قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين . فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي

(arti) _“Sa‘īd ibn Jubair pernah berkata ketika hari Dir al-Jamājim, saat itu ia sedang berperang (melawan pasukan Hajjāj): "Perangilah mereka karena kezhōliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allōh. Mereka mematikan sholāt dan merendahkan kaum Muslimīn.". Ketika penduduk Dir al-Jamājim kalah, Sa‘īd ibn Jubair mengungsi ke Makkah. Kemudian ia dijemput oleh Khōlid ibn ‘Abdullōh, lalu dibawa kepada al-Hajjāj bersama Ismā-‘il ibn Awsath al-Bajalī."_ [Atsar Riwayat Muhammad ibn Sa‘ad, Thobaqot al-Kubro VI/265].

▫ Sa‘īd ibn al-Musayyib رحمه الله تعالى -seorang Tābi‘īn senior (wafat tahun 94H)- malah mendo'akan keburukan kepada Banī Marwan sebagaimana yang diriwayatkan muridnya, ‘Ālī ibn Zaid ibn Jud‘an, dari perkataan gurunya yang dinukil pada kitāb al-Ma’rifah wat-Tarikh jil 1 hal 474, karya Ya‘qub al-Fasawi:

حدثنا الحجاج ، ثنا حماد ، عن علي بن زيد قال : قلت لسعيد بن المسيب : يزعم قومك أنه إنما منعك من الحج أنك جعلت لله عليك إذا رأيت الكعبة أن تدعو على بني مروان ؟ قال : ما فعلت ، وما أصلي لله صلاة إلا دعوت الله عليهم ! ، وإني قد حججت واعتمرت بضعا وعشرين مرة

(arti) _“Al-Hajjāj menceritakan kepada kami, Hammād menceritakan kepada kami, dari ‘Alī ibn Zayd: "Aku bertanya kepada Sa‘īd ibn al-Musayyib: "Kaum anda mengatakan yang menghalangi anda untuk berhajji adalah tiap kali melihat Ka’bah, anda mendo'akan keburukan atas Banī Marwān?". Sa‘id menjawab: "Bukan itu yang aku lakukan, akan tetapi justru setiap kali sehabis sholāt, aku selalu mendo'akan keburukan buat mereka. Aku ini telah berhajji dan ber‘umroh lebih dari 20 kali.""”_

▫ Imām Ibrōhīm ibn Yazid an-Nakho‘ رحمه الله تعالى (wafat tahun 96H) yang apabila disebut nama al-Hajjāj ibn Yūsuf ats-Tsaqofī di hadapannya, maka beliau berkata: "Ketahuilah, sungguh la‘nat Allōh atas orang-orang yang zhōlim!".

▫ Imām al-Hasan al-Bashri رحمه الله تعالى (wafat tahun 110H) pernah terang-terangan berkhutbah mencela al-Hajjāj ibn Yūsuf ats-Tsaqofī [lihat: ‘Abdul-Mun‘im al-Hasyimi, ‘Ashrut-Tābi‘īn].

▫ Imām Ahmad ibn Hanbal رحمه الله تعالى (wafat tahun 241H) yang pernah diancam untuk dipenggal dengan pedang oleh Kholīfah al-Ma’mun apabila ia tak mau mengatakan bahwa al-Qur-ān itu adalah makhluk (fitnah Kholqi al-Qur-ān), maka ketika Imām Ahmad mendengar kabar tersebut, Imām Ahmad justru mendo'akan keburukan terhadap Kholīfah al-Ma’mun dengan do'a:

سَيِّدِي غَرَّ هَذَا الْفَاجِرَ حِلْمُكَ حَتَّى يَتَجَرَّأَ عَلَى أَوْلِيَائِكَ بِالْقَتْلِ وَالضَّرْبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ يَكُنِ الْقُرْآنُ كَلَامَكَ غَيْرَ مَخْلُوقٍ فَاكْفِنَا مُؤْنَتَهُ

(arti) _“Tuhanku, si Durjana ini telah tertipu oleh kelembutan-Mu sampai ia berani membunuh dan memukul para walī-Mu. Wahai Allōh, kalau al-Qur-ān adalah kalam-Mu, bukan makhluq, maka bebaskan kami dari akibat buruknya al-Ma‘mun.”_ [lihat: Abū Nu‘aim, al-Hilyah al-Awliyā’].

▫ Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah رحمه الله تعالى mendo'akan Mahmūd Ghōzān, seorang penguasa zhōlim pada masa beliau dengan do'a:

اللهم إن كان هذا عبدك محمود إنما يقاتل لتكون كلمتك هي العليا وليكون الدين كله لك فانصره وأيده وملكه البلاد والعباد ، وإن كان إنما قام رياء وسمعة وطلبا للدنيا ولتكون كلمته هي العليا وليذل الإسلام وأهله فآخذ له وزلزله ودمره واقطع دبره

(arti) _“Wahai Allōh, seandainya hamba-Mu yang bernama Mahmūd itu berjihād demi menjadikan kalimat-Mu sebagai yang tertinggi, dan menjadikan agama ini semuanya bagi-Mu, maka tolonglah ia, kuatkanlah ia, dan berilah ia kekuasaan atas negeri-negeri dan budak-budak. Namun apabila seandainya ia berdiri berjihād karena riyā’ dan sum‘ah, dan karena menginginkan keduniawian, dan menjadikan kalimat dirinya sebagai yang tertinggi, dan menghinakan Islām dan penganutnya, maka cabutlah kerajaannya, hancurkanlah ia, dan musnahkanlah ia!"_ [lihat: Ibnu Katsīr, al-Bidāyah wan-Nihāyah XIV/102].

☠ Jadi, bagaimana bisa masuk akal sehat apabila para Nabiyullōh, para ‘ulamā’ robbani justru mendo'akan keburukan bagi penguasa yang zhōlim, sementara malah ada yang nekad menentangnya dengan menyuruh mendo'akan kebaikan bagi penguasa yang zhōlim…???

⚠ Ingatlah bahwa mendukung kedustaan dan kezhōliman penguasa, entah dengan cara apapun - termasuk juga dengan cara memelintir pemahaman atas dalīl - telah diancam keras oleh Baginda Nabī ﷺ:

📌 Peringatan Baginda Nabī ﷺ:

اسْمَعُوا ! هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ ، فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَىَّ الْحَوْضَ ، وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَىَّ الْحَوْضَ

(arti) _“Dengarkanlah! Apakah kalian pernah mendengar bahwa setelah aku akan ada penguasa-penguasa, siapa saja yang mendekat-dekat kepada mereka dan membenarkan kedustaan mereka, dan mendukung kezhōliman yang mereka lakukan, maka ia bukanlah bagian (ummat)ku dan aku bukanlah bagian darinya, dan dia tidak akan ikut minum bersamaku di al-Haudh. Siapa saja yang tak mendekat-dekat kepada mereka, tak menolong kezhōliman mereka, dan tak membenarkan kedustaan mereka, maka ia adalah bagian dari (ummat)ku dan aku adalah bagian darinya, dan ia akan minum bersamaku di al-Haudh.”_ [HR at-Tirmidzī no 2259; an-Nasā-ī no 4208; Ahmad no 17424].

☠ Apalagi malah memalsukan dalīl demi melanggengkan kekuasaan penguasa yang zhōlim…?!? - ittaqillāh…!!!

… … …

🔵 Mendo'akan Hidayah Bagi Penguasa Kāfir / Zindiq?

Ada ungkapan yang sering digadang-gadangkan yaitu: "Kalau kau cela pemimpinmu, pemimpinmu akan berubah, tidak? Tidak akan berubah! Tetapi kalau kau do'akan pemimpinmu, maka Allōh ﷻ Maha Bisa mengubah pemimpinmu! Lalu kenapa tak kau do'akan pemimpinmu?"

Pernyataan itu lantas biasanya disambung dengan mengambil dalīl bahwasanya Nabī ﷺ dahulu pernah mendo'akan agar salah satu dari dua ‘Umar agar masuk Islām.

Memang mendo'akan orang kāfir semisal: "semoga dia dapat hidayah" atau: "semoga ia berubah jadi baik", itu tak pernah ada larangannya secara spesifik. Apalagi hidayah, di mana ia Allōh ﷻ yang Maha Kuasa atasnya, dan Allōh ﷻ memberikan hidayah-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

❓ Namun jika mempelajari siroh Nabawiyyah dengan baik, maka pertanyaanya adalah: "Apakah pernah Baginda Nabī ﷺ mendo'akan penguasa yang jahat yang lalim lagi bejat?"

Perhatikan beberapa poin berikut ini…

Poin ke-① │ Baginda Nabī ﷺ ketika mendo'akan hidayah untuk salah satu dari dua ‘Umar, yaitu ‘Umar ibn al-Khoththōb dan ‘Amr ibn Hisyam (Abū Jahal), maka pada saat itu kaum Muslimīn masih lemah, alias masih sedikit jumlahnya (minoritas) di Makkah.

Adapun do'a tersebut tidaklah diungkap oleh Nabī ke muka umum, dan Nabī tidak pernah menceritakan do'anya kepada para Shohābat sebelum ‘Umar ibn al-Khoththōb telah benar-benar masuk ke dalam Islām.

☠ Sementara, mendo'akan hidayah kepada penguasa yang sangat jelas keberpihakannya kepada kaum Kuffār, yang begitu jelas melakukan perbuatan menentang kebenaran, yang begitu jahat kepada kaum Muslimīn, maka itu sungguh-sungguh merendahkan harkat dan martabat Ummat Islām…!

Mengumumkan (apalagi menyebar video dan tulisan di sosmed) agar Ummat Islām mendo'akan penguasa lalim itu sangatlah tidak bijak. Itu malah membuat kaum kuffār dan para pendukungnya dari kaum munāfiq semakin jumawa. Mereka akan semakin sombong karena merasa: "Tuh kan?!? Ummat Islām ternyata takut dan mereka butuh sekali terhadap gue, sampai-sampai memelas dan mengemis-ngemis agar gue jadi muslim!"

Apalagi jika dipikir: kok ya membandingkan ‘Umar ibn al-Khoththōb رضي الله تعالى عنه yang dido'akan oleh Baginda Nabī ﷺ dengan siapapun juga oknum di masa kini?

Jauh sekali…!!!

Poin ke-② │ Tak semua pembesar kāfir itu dido'akan oleh Baginda Nabī ﷺ

▫ Silakan temukan apa yang Baginda Nabī ﷺ lakukan dalam menyikapi kelakuan jahat Ka‘ab ibn al-Asyrof?

Apakah Baginda Nabī ﷺ mendo'akan kebaikan bagi Ka‘ab ibn al-Asyrof?

Tidak, sekali-kali tidak…!

📌 Bahkan Baginda Nabī ﷺ berkata:

مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

(arti) _“Siapakah yang bersedia membunuh Ka‘ab ibn al-Asyrof? Karena ia telah menyakiti Allōh dan Rosūl-Nya.”_ [HR al-Bukhōrī no 2510, 3031, 3032, 4037; Muslim no 1801; Abū Dāwūd no 2768].

▫ Atau ketika Baginda Nabī ﷺ mendengar surat yang Beliau ﷺ yang ditujukan kepada Kisro’ (Kaisar Persia) ternyata malah dicabik-cabik oleh Kisro’, maka apakah Nabī mendo'akan kebaikan bagi Kisro’…???

Tidak, sekali-kali tidak…!!!

📌 Baginda Nabī ﷺ justru berdo'a:

أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ

(arti) _“(Semoga Allōh) Merobek-robek (kerajaan Kisro’) dan menghancurkannya sehancur-hancurnya.”_ [HR al-Bukhōrī no 64, 2939, 4424, 7264; Ahmad no 2075, 2644].

▫ Begitu juga belum pernah ada hadīts shohīh tentang Nabī صلى الله عليه و سلم yang mendo'akan hidayah bagi Abū Sufyan Shokhr ibn Harb, padahal Abū Sufyan itu adalah mertuanya Nabī, walau pada akhirnya Abū Sufyan itu masuk Islām dan menjadi salah seorang Shohābat mulia.

… … …

🔵 Tolonglah Saudaramu Yang Berbuat Zhōlim

Orang yang zhōlim itu seharusnya ditolong.

Loh kok…?

Iya, orang yang berbuat zhōlim itu harus dicegah dari melakukan perbuatan zhōlim.

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

(arti) _“Tolonglah saudaramu yang berbuat zhōlim dan yang dizhōlimi.”_

Kemudian ada seorang Shohābat bertanya tentang bagaimana cara menolong orang yang berbuat zhōlim…?

Jawab Baginda Nabī ﷺ:

تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

(arti) _“Kamu cegah ia dari berbuat kezhōliman, maka sungguh kamu telah menolongnya.”_ [HR al-Bukhōrī no 6952; Muslim no 2584; at-Tirmidzī no 2255; Ahmad no 11511, 12606, 13943; ad-Dārimī no 2795].

Begitulah Baginda Nabī ﷺ memerintahkan ummatnya untuk mencegah saudara sesama muslimnya dari berbuat kezhōliman, di mana itu adalah sebagai bentuk dari "menolong". Maka tentunya seorang penguasa yang kalau dianggap masih muslim yang berlaku zhōlim itu adalah lebih berhak lagi untuk ditolong, bukan?

⚠ Bentuk menolongnya tentu adalah dengan melakukan tindakan amar ma’rūf nahyi munkar. Misalnya dengan menasihati baik secara langsung ataupun terbuka.

☠ Justru membiarkan seorang penguasa muslim yang zhōlim terus berbuat kezhōliman dengan alasan: "toh ia sudah dido'akan keburukan oleh Nabī", atau berpikir: "toh sudah ada pemuka-pemuka agama yang menasihatinya secara 4 mata?", maka itu artinya malah tidak menolongnya dan tak menginginkan kebaikannya baginya!

Padahal…

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

(arti) _“Tidaklah (sempurna) berīmānnya seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri.”_ [HR al-Bukhōrī no 13; Muslim no 45; at-Tirmidzī no 2705; an-Nasā-ī no 5016, 5017, 5039; Mālik no 69].

⇛ Apabila tak mampu melakukan dengan tindakan nyata, maka lakukanlah dengan perkataan lisan atau tulisan, misalnya dengan melakukan nasihat / kritik dengan tulisan.

⇛ Jika tak mampu juga, maka dengan mendo'akan agar si penguasa segera turun / diganti dengan orang yang lebih baik.

❗ Seorang penguasa muslim yang zhōlim itu harus dido'akan agar segera turun / diganti, karena jika ia dibiarkan terus berkuasa dan berbuat kezhōliman, maka itu artinya ia akan terus menumpuk-numpuk dosa dari perbuatan zhōlimnya itu.

Pemimpin itu sangat berpengaruh akan keadaan rakyat yang dipimpinnya, karena setiap kebijakannya akan berdampak kepada rakyatnya.

📍 Makanya Imām al-Fudhoil ibn ‘Iyādh رحمه الله تعالى pernah berkata:

لو أني أعلم أن لي دعوة مستجابة لصرفتها للسلطان

(arti) _“Seandainya aku tahu bahwa aku memiliki do'a yang mustajab, maka aku akan gunakan untuk mendo'akan penguasa.”_ [Atsar Riwayat Abū Nu'aim al-Ashfahanī, Hilyatul Auliyā’ VIII/77].

Demikian, semoga dapat dipahami.

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh