Robbul ‘Âlamîn Itu Ada di Atas Langit

Seorang ustâdz terkenal menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa الله itu ada di atas Langit, beristiwâ di atas ‘Arsy yang agung. Alasannya kalau الله ada di atas Langit, maka berarti di kanan, di kiri, di belakang, di depan, atau di bawah tidak ada الله dong?

Maka membantah logika seperti itu tidak susah, sebab mayoritas Ummat Islâm pasti tahu peristiwa agung al-Isrô’ wal-Mi’roj bukan?

⭕ Semua pasti tahu bahwa al-Isrô’ itu adalah perjalanan di waktu malam dari Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم  dari Masjid al-Harôm di Makkah ke Masjid al-Aqshô di Baitul Maqdis dengan memakai kendaran al-Burôq.

Kemudian, dari Masjid al-Aqshô Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم melakukan perjalanan lagi naik ke Langit, yaitu al-Mi’rôj, untuk menghadap kepada الله Subhânahu wa Ta‘âlâ yang ada di atas Langit ke-7 dalam rangka menjemput perintah mendirikan Sholât Fardhu 5 waktu sehari semalam.

⚠️ Maka jelas Baginda Nabî itu al-Mi’roj ke atas, yaitu ke Langit, BUKAN melakukan perjalanan ke mana-mana yang tidak tentu arah dan tempatnya.

Adapun pengetahuan tentang adanya الله Subhânahu wa Ta‘âlâ di tempat yang paling tinggi, yaitu di atas Langit, maka ini memang sama dengan dengan apa yang diyakini oleh Yahûdi dan Nashrônî.

Kenapa?

Karena bukankah keduanya tadinya juga asalnya adalah agama Samawi? Maka pasti masih ada tersisa kesamaan-kesamaan dengan Islâm.

Bahkan kalau mau diteliti lebih jauh, ternyata agama-agama kaum Pagan penyembah berhala pun menyebutkan bahwa dewa / tuhan tertinggi mereka bersemayam di tempat yang paling tinggi di atas Langit.

Bukti orang semenjak dahulu sudah tahu bahwa الله Subhânahu wa Ta‘âlâ itu ada di atas Langit yang paling tinggi, adalah kisah dari seorang budak perempuan yang tahu tentang ada di mana الله Subhânahu wa Ta‘âlâ itu, sebagaimana hadîts yang diriwayatkan dari Mu‘âwiyah ibn al-Hakam as-Sulamî رضي الله عنه bahwa ia memiliki seorang budak perempuan yang biasa mengembalakan kambing-kambingnya di daerah antara Uhud dan al-Jawaniyyah. Lalu pada suatu hari sang Budak itu berbuat suatu kesalahan, dan karena kesalahannnya itu Mu‘âwiyyah menamparnya. Setelah itu Mu‘âwiyyah merasa bersalah dan ia merasa khawatir sehingga ia mendatangi Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم, kemudian ia menceritakan perkaranya dan bertanya apakah ia harus membebaskan budak perempuannya itu sebagai tebusan.

Lalu Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم memerintahkan agar budak perempuan itu dibawa ke hadapannya.

Kemudian setelah budak perempuan itu dihadapkan kepada Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم, budak itu pun ditanya oleh Baginda Nabî:

أَيْنَ اللَّهُ

(arti) _“Di mana Allôh?”_

Budak perempuan itu menjawab:

فِى السَّمَاءِ

(arti) _“Di atas Langit.”_

Lalu Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم bertanya lagi:

مَنْ أَنَا

(arti) _“Siapakah saya?”_

Budak perempuan itu menjawab:

أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ

(arti) _“Anda adalah Rosûlullôh.”_

Lantas Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم berkata:

أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

(arti) _“Merdekakanlah dia, karena dia adalah seorang perempuan yang berîmân.”_ [HR Muslim no 537; Abû Dâwud no 930; ad-Dârimî no 1543, 1544].

⇛ Kalau seorang budak perempuan yang sederhana saja, dengan pengetahuan dan pergaulan yang sangat terbatas, tahu dan paham bahwa الله Subhânahu wa Ta‘âlâ ada di atas Langit yang paling tinggi, maka seharusnya orang yang orang merdeka, berpendidikan tinggi, lebih wajib lagi untuk tahu tentang hal itu.

Kita ketahui juga dengan jelas bahwa Imâm Madzhab Fiqh yang empat, yaitu Imâm Abû Hanifah, Imâm Malik ibn Anas, Imâm Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi‘î, dan Imâm Ahmad ibn Hanbal رحمهم الله, semuanya jelas menyatakan bahwa الله Subhânahu wa Ta‘âlâ ada di atas Langit, beristiwâ di atas al-‘Arsy yang agung.

⚠ Maka kita sebagai Muslim meyakini bahwa الله Subhânahu wa Ta‘âlâ berada di atas Langit, beristiwâ di atas ‘Arsy yang agung. Sedangkan kekuasaan dan pengetahuan الله meliputi segala sesuatu yang ada di Alam Semesta ini tanpa kecuali.

Adapun yang mengatakan الله ada di mana-mana itu adalah kaum Jahmiyyah.

📍 Kata ‘Abdur-Rohman ibn Abî Hâtim رحمه الله menceritakan tentang ayahnya yang menceritakan bahwa Sa‘îd ibn ‘Âmir adh-Dhubaî berpendapat mengenai kaum Jahmiyyah:

الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء

(arti) _“Jahmiyyah itu lebih buruk dari Yahûdi dan Nashrônî. Telah diketahui bahwa Yahûdi dan Nashrônî serta agama lainnya bersama kaum Muslimîn bersepakat bahwa Allôh ‘Azza wa Jalla bersemayam tinggi di atas al-‘Arsy. Sedangkan Jahmiyyah, mereka katakan bahwa Allôh tidak di atas sesuatu apapun.”_ [lihat: al-‘Uluw lil-‘Aliyyil Ghoffar].

والله أعلمُ بالـصـواب

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk