Apa Maksud ‘Adil Dalam Polygyny?

Berlalu di lini massa saya tulisan seseakun yang tentang ‘adil dalam perkara polygyny yang mengatakan bahwa pada dasarnya polygny itu dilarang dengan menukil QS an-Nisā’ ayat 129.

❓ Benarkah pendapat demikian?

Mari kita lihat, di dalam Islām seorang laki-laki boleh menikahi 2, 3, sampai 4 perempuan dengan syarat mempunyai "potensi" mampu untuk berlaku ‘adil dalam terhadap istri-istrinya.

📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

(arti) _“Dan apabila kamu takut takkan dapat berlaku ‘adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (apabilamana kamu menikahinya –pent), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut takkan dapat berlaku ‘adil, maka (nikahilah –pent) satu orang saja, atau dari budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 3].

⚠ Kalimat "خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا" (arti: takut akan tidak mampu berbuat) adalah syarat untuk berpolygyny, yaitu: "potensi untuk bisa berlaku ‘adil". Jadi yang dilihat adalah kemampuan / potensi dari seorang laki-laki apakah mungkin mewujudkan ke‘adilan di antara istri-istrinya apabila ia menikahi lebih dari 1 perempuan. Jadi bukan ‘adilnya itu sendiri, tetapi potensinya. Sebab kalau ‘adilnya yang menjadi syarat, maka nanti ada yang coba-coba dulu, lalu saat dirasa tak bisa ‘adil, lalu bubar jalan. Tidak begitu Syari‘at mengatur.

❓ Lalu bagaimana ke‘adilan yang dimaksud QS an-Nisā’ ayat 3 itu?

⚠ Ke‘adilan manusia itu adalah sesuatu yang bisa dikuantifisir, yaitu:
✓ membagi sama banyak,
✓ menimbang sama berat, dan
✓ mengukur sama panjang.

‼ Sehingga adalah ijmā’ dari para ‘ulamā’ bahwa ke‘adilan yang dituntut dalam polygyny adalah memberikan hak yang sama kepada semua istri, yaitu di dalam:
⑴ membagi giliran bermalam, dan
⑵ membagi belanja rutin pribadi (untuk tempat tinggal dan kebutuhan pokok),
yang mana itu adalah di luar kebutuhan anak [lihat: Badā-i‘ ash-Shonā-i‘ II/332; al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah XXIV/64; Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu VI/216; Fiqh ‘alā Mazhabihi al-Arba‘ah IV/213].

📍 Imām Muḥammad ibn ‘Alī asy-Syaukānī رحمه الله تعالى di dalam Nailul-Authōr mengatakan:

ولا يجب على الزوج التسوية بين الزوجات فيما لا يملكه كالمحبة ونحوها لحديث عائشة الآتي ، وقد ذهب أكثر الأئمة إلى وجوب القسم بين الزوجات

(arti) _“Tidak wajib bagi suami untuk berbuat ‘adil dalam hal yang tidak mungkin seperti rasa cinta dan semacamnya. Akan tetap mayoritas ‘ulamā’ mewajibkan suami berlaku ‘adil di dalam menggilir istri-istrinya.”_

Di dalam al-Mawsū‘ah disebutkan:

قال العلماء : المراد الميل في القسم والإنفاق لا في المحبة ، لما عرفت من أنها مما لا يملكه العبد

(arti) _“Dan berkata para ‘ulamā’: "Yang dimaksud adalah kecenderungan tidak ‘adil adalah di dalam masalah giliran bermalam dan nafkah, bukan pada perasaan cinta, karena masalah perasaan termasuk perkara yang di luar kemampuan seorang hamba."” [lihat: al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah XXXVI/189].

Perkara hati seperti: cinta dan kenikmatan hubungan seksual, maka itu suatu kecenderungan yang di luar kemampuan manusia untuk mengelolanya dengan ‘adil. Jelas yang namanya perkara hati adalah sesuatu yang manusia takkan mungkin bisa mengendalikannya.

📌 Kata Allōh ﷻ dalam firman-Nya:

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

(arti) _“Ketahuilah! Sungguh-sungguh Allōh menjadikan adanya pembatas antara manusia dan hati sanubarinya. Dan sungguh-sungguh kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.”_ [QS al-Anfal (8) ayat 24].

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

(arti) _“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati sanubari manusia itu selalu berada di antara jari-jemari Allōh. Siapa saja yang Allōh kehendaki, maka Allōh akan berikan keteguhan di dalam īmān. Kemudian siapa saja yang Allōh kehendaki, maka Allôh pun bisa menyesatkannya.”_ [HR at-Tirmidzī no 3522].

⚠ Jelas bahwa perkara hati adalah suatu yang di luar kekuasaan manusia, maka inilah yang dimaksud oleh Allōh ﷻ di bahwa seorang laki-laki takkan mampu untuk berlaku ‘adil di dalam perkara hati.

📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

(arti) _“Dan kamu sekali-kali takkan dapat berlaku ‘adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai –pent) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan –pent), maka sungguh-sungguh Allōh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 129].

Imām Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurthubī رحمه الله تعالى saat menjelaskan ayat suci tersebut mengatakan bahwa Allōh ﷻ memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap ‘adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati di dalam cinta, berhubungan seksual, dan ketertarikan hati. Allōh ﷻ menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan takkan mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh sebab itulah Baginda Nabī ﷺ berkata (dalam do'a Beliau): "Wahai Allôh, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu lakukan, maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki namun tak aku miliki.". Kemudian Allōh ﷻ melarang untuk terlalu cenderung kepada istri yang dicintai. Imām al-Qurthubī mengutip penjelasan dari Imām Mujahid yang mengatakan bahwa janganlah seorang suami sengaja berbuat buruk (menganiaya istri-istrinya), akan tetapi tetaplah berlaku ‘adil dalam pembagian giliran bermalam dan memberi nafkah biaya hidup, karena ini termasuk perkara yang mampu dilakukan manusia. [lihat: Tafsīrul-Qurthubī V/387].

Imām Ismā-īl ibn ‘Umar ibn Katsīr رحمه الله تعالى mengatakan bahwa arti ayat suci di atas adalah manusia sekali-kali takkan dapat bersikap ‘adil (menyamakan) di antara istri-istrinya dalam semua segi. Karenanya, meskipun seorang laki-laki mampu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, akan tetapi pasti akan ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat, dan hubungan seksual, sebagaimana keterangan dari Shohābat ‘‘Abdullōh ibn al-‘Abbās رضي الله تعالى عنهما, ‘Ubaidah as-Salmāni, al-Ḥasan al-Bashri, dan Dhohhak ibn Muzahim. [lihat: Tafsīr Ibnu Katsīr I/747].

Imām Ibnu Hajar al-Asqolānī رحمه الله تعالى ketika menjelaskan ucapan Imām al-Bukhōrī saat Beliau membawakan ayat suci tersebut, bahwa ‘adil yang dinafikan dalam ayat ini (yaitu ‘adil yang tak mampu dilakukan manusia) adalah ‘adil di antara istri-istri dalam semua perkara, dan hadīts Rosūlullōh ﷺ yang shohīh menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘adil (dalam polygyny) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Apabila seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup), dan bermalam dengannya (secara layak), maka ia tak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu yaitu berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka). [lihat: Fat-hul-Bāri IX/313].

Syaikh ‘Abdur-Roḥman ibn Nāshir as-Sa‘dī رحمه الله تعالى di dalam kitāb tafsīrnya saat menjelaskan QS an-Nisā’ ayat 129 mengatakan bahwa suami takkan mampu berbuat ‘adil secara sempurna kepada istri-istrinya. Karena ‘adil melazimkan ke‘adilan dalam segala hal termasuk cinta, kemudian mewujudkannya dalam bentuk ‘amalan sebagai konsekuensinya. Takkan mungkin berbuat ‘adil secara sempurna untuk itu semua, karenanya Allōh ﷻ mema'afkannya. [lihat: Taisīr al-Karīmir-Roḥmān fī Tafsīr Kalāmul-Mannān].

⚠ Laki-laki TAKKAN MUNGKIN bisa ‘adil dalam masalah hati, maka ia pun TIDAK DITUNTUT ‘adil dalam masalah itu. Sedangkan hal yang mampu suami berbuat ‘adil, maka ia DILARANG untuk tidak ‘adil, yaitu: masalah membagi hari dan membelanjai istri-istrinya. Masalah cinta, kenikmatan hubungan seksual, dan respect, adalah sesuatu yang takkan bisa dikuantifisir, sehingga takkan bisa berlaku ‘adil secara sempurna. Makanya yang dilarang itu adalah "terlalu cenderung" kepada salah satu istri.

⇨ Adapun masalah membagi hari bermalam dan belanja, maka itu sesuatu yang bisa dikuantifisir, sehingga pada perkara itu WAJIB untuk berlaku ‘adil.

Kalau kita simak baik-baik, ayat suci QS an-Nisā’ ayat 129 itu berbicara kepada Baginda Nabī ﷺ, sementara Beliau ﷺ adalah manusia yang ma’shum, manusia yang paling mulia, manusia paling ber‘ilmu, dan paling ‘adil. Namun Beliau ﷺ disebutkan oleh Allōh ﷻ punya kecenderungan kecintaan, karena bukankah cinta Beliau ﷺ kepada Ibunda Khodījah رضي الله تعالى عنها begitu besarnya sampai-sampai Ibunda ‘Ā-isyah رضي الله تعالى عنها pun cemburu. Padahal, dalam hadīts yang sangat masyhur jelas-jelas Baginda Nabī ﷺ menyebutkan bahwa orang yang paling Beliau ﷺ cintai adalah Ibunda ‘Ā-isyah رضي الله تعالى عنها.

📌 Makanya Baginda Nabī ﷺ pun berdo'a tentang perkara kecenderungan hati ini:

ٱللّٰهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ

(arti) _“Wahai Allōh, inilah pembagian yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku atas sesuatu yang hanya Engkau yang mampu sedangkan aku tak mampu.”_ [HR Abū Dāwud no 2134; at-Tirmidzī no 1140; an-Nasā-ī no 3943; Ibnu Mājah no 1971; ad-Dārimī no 2253].

ℹ️ Menurut para ‘ulamā’, kalimat "qosmī" dalam hadīts tersebut ditafsīrkan sebagai "membagi perasaan cinta dan kecenderungan hati", sehingga Baginda Nabī ﷺ mengakui tak mampu untuk melakukan itu, sebab hati sanubari manusia seutuhnya ada di dalam genggaman Allōh ﷻ. Hati itu begitu yang mudah berubah kapan saja sesuai kehedak Allōh ﷻ. [lihat: Asnal-Matholib III/329].

🚫 Jadi jelas tentang standard ‘adil itu bagaimana menurut para ‘ulamā’, sehingga jangan ada lagi yang mengada-adakan standard baru, karena para ‘ulamā’ yang sangat jauh lebih ber‘ilmu daripada kita tiada yang berani menetapkan standard yang tidak bisa dikuantifisir.

Semoga dapat dipahami.

نَسْأَلُ اللهَ اَلْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ فِيْ الْدُنْيَا وَالْآخِرَةِ

… … …

📝 Note:
⑴. Istilah untuk laki-laki yang beristri lebih dari satu yang tepat adalah "polygyny".
⑵. Polygyny secara hukum bergantung kepada si pelaku, ia bisa jadi "harōm" jika tidak memiliki potensi untuk bisa berlaku ‘adil dan tak memiliki kemampuan harta / fisik (sehingga terjadi kezhōliman), namun bisa jadi juga ia "sunnah" jika seseorang memiliki potensi berlaku ‘adil dan mampu secara harta / fisik.
⑶. Hukum yang sudah ditetapkan Allōh ﷻ adalah jelas, bahwa polygyny itu boleh, namun hendaklah diperhatikan dan ditimbang dengan baik perasaan dari kebanyakan perempuan bahwa ini sangat berat bagi mereka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk