Tak Punya Gelar S1 Tapi Punya Gelar Doktor?
Sebenarnya fenomena tak punya gelar S1 tapi punya gelar doktor (S3) bukanlah cerita yang baru, karena setidaknya ada 2 nama yang saya tahu benar-benar memiliki gelar doktoral (S3) walau tak punya gelar S1.
🔵 Nama pertama adalah Srinivasa Ramanujan Aiyanga (1887–1920), seorang jenius matematika asal India (yang saat itu masih jadi jajahan Inggris). Ramanujan ini sudah dikenal sebagai anak jenius di bidang matematika sejak usianya 11 tahun. Selepas SMA, Ramanujan mendapakan beasiswa di Government Arts College, Kumbakonam, namun ia begitu fokus pada bidang matematika sehingga ia mengabaikan mata pelajaran lain sehingga ia pun gagal di sebagian besar mata kuliah. Akibatnya, ia kehilangan beasiswa siswanya.
Pada tahun 1905, Ramanujan mendaftar di Pachaiyappa's College di Madras, dan diterima dalam di Jurusan Matematika, namun ia lagi-lagi membuat masalah dengan memilih hanya menjawab soal ujian yang menarik baginya dan meninggalkan soal yang lain tanpa memberikan jawaban. Selain itu Ramanujan juga buruk dalam mata pelajaran lain, seperti: Bahasa Inggris, Fisiologi, dan Sanskerta. Ramanujan gagal ujian Fellow of Arts (S1) di 1906, dan gagal lagi setahun kemudian sehingga ia pun DO.
Akibat tak punya gelar maka Ramanujan ini hidup miskin sekali, bahkan ia sering kelaparan walau ia bekerja sebagai akuntan. Sampai pada tahun 1913 ia berkenalan dengan matematikawan Inggris bernama GH Hardy (penemu prinsip Hardy–Weinberg di bidang Genetika) dari University of Cambridge. Maka tahun berikutnya, 1914, Ramanujan pun berangkat ke Inggris dan bertemu dengan orang-orang hebat di bidang science di Inggris ketika itu. Ramanujan pun diperkenankan untuk melanjutkan pendidikannya di Trinity College (University of Cambridge) sehingga ia berhasil meraih gelar Bachelor of Arts by Research (gelar ini adalah gelar PhD pada masa lalu) pada tahun 1916.
Pada tahun 1917, Ramanujan terpilih menjadi anggota London Mathematical Society. Kemudian pada tahun 1918, di usia 31 tahun, ia terpilih sebagai Fellow of Royal Society, dan menjadi orang India kedua yang diterima setelah Ardaseer Cursetjee (pada tahun 1841). Ramanujan merupakan salah satu fellow termuda dalam sejarah Royal Society. Ia terpilih karena penelitiannya dalam fungsi eliptik dan Teori Bilangan. Pada tahun 1918, ia menjadi orang India pertama yang terpilih sebagai Fellow of Trinity College, Cambridge.
Satu hal akibat masa lalu Ramanujan yang hidup sangat miskin ketika di India, ia jadi mengalami berbagai masalah kesehatan sepanjang hidupnya. Kesehatannya memburuk saat berada di Inggris, dan ia juga menjadi kurang tahan terhadap kondisi iklim Inggris. Ditambah lagi Ramanujan kesulitan menjaga persyaratan diet ketat agamanya di Inggris, yang diperburuk lagi dengan adanya pembatasan makanan selama Perang Dunia I (1914–1918). Ramanujan didiagnosis menderita TBC dan kekurangan vitamin yang parah, sehingga ia sempat dirawat di sanatorium. Pada tahun 1919, Ramanujan kembali ke Kumbakonam, Madras. Pada tahun 1920 Ramanujan meninggal di usia 32 tahun.
🔵 Nama kedua adalah Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka (1884–1964), yang nama aslinya "Lesya", adalah seorang budayawan, ìlmuwan pakar sastra Jawa Kuno, Filolog otodidak. Sebagai keturunan bangsawan, anak dari KRMT Poerbodipoero Yoedonegoro (Bupati Anom Kasunanan Surakarta), Poerbatjaraka mendapatkan sejumlah keistimewaan antara lain ia bisa bersekolah di HIS (Hollandsch-Indische School – setara SD namun dengan masa sekolah 7 tahun). Di HIS Poerbatjaraka belajar Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, dan berbagai pengetahuan dasar lainnya. Akan tetapi, sebelum ia bisa menyelesaikan pendidikannya, ia dikeluarkan di tahun terakhir masa pendidikan dengan alasan yang tak jelas (namun ditenggarai karena Belanda melihat kemampuan akademiknya bisa membahayakan bagi Belanda).
Perkenalan pertama Poerbatjaraka dengan sastra Jawa Kuno terjadi ketika ia menemukan buku karangan ahli Indologi termasyhur, Prof Dr Hendrik Kern, yang sebenarnya adalah hadiah dari Residen Surakarta kepada Pakubuwono X. Akan tetapi karena Pakubuwono X kurang mengerti isi buku ini dan juga tak fasih dalam bahasa Belanda, maka ia memberikannya kepada Poerbodipoero (maksudnya agar dapat menjelaskan isi buku tersebut kepadanya). Sejak saat itulah Poerbatjaraka menjadi sangat tertarik pada sastra Jawa Kuno.
Karena Poerbatjaraka merasa lebih cocok dengan pendekatan ìlmiyyah yang dibacanya dari buku-buku Belanda, maka ia pun menulis surat kepada Residen Surakarta waktu itu, Helpke. Pada awalnya Pakubuwono X tak mengizinkannya pindah ke Batavia, sebab menurutnya Poerbatjaraka tidak berterima kasih karena sudah disekolahkan dan sudah menjadi pandai, tetapi mau meninggalkan Surakarta. Namun Helpke berhasil membujuk Pakubuwono X sehingga akhirnya menyetujuinya dan Poerbatjaraka pun pindah ke Batavia.
Di Batavia, Poerbatjaraka dipekerjakan di Dinas Purbakala (Museum Gajah), dan ia pun bertemu dengan Dr Hendrik Kern, seorang ahli sejarah dan sastra Jawa terkemuka dari Belanda kelahiran Purworejo. Dr Hendrik Kern, yang memperhatikan potensi Poerbatjaraka, memutuskan untuk mengirimnya untuk langsung mengambil program doktoral di Universiteit Leiden, Belanda. Maka pada tahun 1921 Poerbatjaraka yang sama sekali tak mempunyai ijazah formal, bahkan ijazah HIS sekalipun tak ada, berangkat ke Leiden untuk mengambil program doktoral di bawah bimbingan Prof Dr GAJ Hazeu.
Pengetahuan yang dimiliki oleh Poerbatjaraka membuat kagum Prof Hazeu, dan itu ia perlihatkan juga kepada masyarakat Belanda dengan mempublikasikan sejumlah artikel dan naskah kuno dalam majalah Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Jurnal Ìlmu Humaniora & Ilmu Sosial Asia Tenggara). Pada tahun 1926 Poerbatjaraka diperkenankan maju sidang promosi untuk mendapatkan gelar doktor dengan disertasi berjudul: "Agastya in den Archipel".
Selepas Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945–1949) pada tahun 1950, Poerbatjaraka dan keluarganya pindah ke Jakarta. Pada tahun itu juga Presiden Soekarno membentuk Panitia Lambang Negara di mana Poerbatjaraka ditunjuk sebagai salah satu anggotanya bersama dengan Soeltan Hamid II, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Djamin, Mohammad Natsir, dan MA Pellaupessy. Adalah Poerbatjaraka yang mengusulkan lambang pohon beringin di dada Lambang Negara Garuda Pancasila. Selain itu, Poerbatjaraka juga menjadi professor di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Udayana.
Di masa pensiunnya, Poerbatjaraka terus menulis tentang sejarah dan sastra Jawa untuk jurnal di Indonesia dan di Belanda. Pada tahun 1952, ia menerbitkan koleksi studinya dalam sebuah buku berjudul Kapustakaan Djawi. Poerbatjaraka diangkat menjadi anggota kehormatan Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda pada tahun 1963. Pada tahun 1964, Jurnal Kajian Budaya Indonesia dalam rangka memperingati HUT ke-80 Poerbatjaraka menerbitkan 26 karya tulisnya.
Pada tahun 1964 Poerbatjaraka meninggal di usia 80 tahun di Jakarta. Pada tahun 1969, Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Maha Putera Utama atas pengabdiannya di bidang budaya Indonesia, terutama dalam bidang Sastra, Sejarah, Arkeologi, dan Filologi.
Demikian kisah 2 orang hebat yang tak punya gelar S1, bahkan SD, akan tetapi mereka benar-benar punya gelar doktor dari universitas bergengsi di Dunia. Mereka berdua benar-benar menunjukkan karyanya pada bidangnya masing-masing, dan karyanya itu diakui oleh Dunia.
Sementara yang sekarang… ah sudahlah… 😓
Komentar
Posting Komentar