Sunnah Makan Dalam Islām = 2x Sehari-Semalam?

Sungguh heran melihat kelakuan kaum Neo Murji-ah PENDAKU Salafiyy ini.


Bagaimana tidak?

Mereka itu seenaknya saja dalam mensunnahkan sesuatu, yang mana kali ini adalah perkara "makan dalam sehari-semalam dikatakan sunnah-nya di dalam Islām hanya 2x saja".

❓ Pertanyaannya seperti biasa adalah: "Benarkah yang demikian itu?"

Jawabannya harus dilihat dari definisi "Sunnah" itu sendiri, yaitu: segala perkataan, perbuatan, dan sikap Baginda Nabī ﷺ‎, serta juga taqrīr (pembenaran oleh Baginda Nabī ﷺ atas perkataan atau perbuatan atau sikap dari Ṣoḥābat رضي الله تعالى عنهم).

Para ùlamā’ telah mengklasifikasikan bahwa Sunnah itu secara fiqh ada level-levelnya, yaitu:
⑴. Wajib (seperti: ṣolāt 5 waktu, ṣoum Romaḍōn, zakāt harta / pertanian / fiṭroh, ḥajji).
⑵. Sunnah (seperti: ṣolāt yang di luar ṣolāt 5 waktu, ṣodaqoh, ṣoum yang di luar Romaḍōn, ùmroh).
⑶. Mubah / boleh (seperti: berkendaraan naik unta, keledai, dan kuda).

Termasuk juga ada Sunnahnyang "makrūh", seperti misalnya Baginda Nabī ﷺ itu adalah nabī yang ummi (tak bisa baca tulis), namun tentunya ummat Islām di zaman sekarang tak mungkin bisa belajar agama tanpa belajar membaca & menulis, bukan?

Begitu juga ada Sunnah yang terlarang (baca: ḥarōm) bagi kita ummat-nya Baginda Nabī ﷺ untuk mengikuti, seperti "ṣoum wiṣōl" (melanjutkan puasa tanpa berbuka sama sekali), atau memiliki istri lebih dari 4 sekaligus, karena itu merupakan kekhususan bagi Baginda Nabī ﷺ saja.

Adapun soal berapa kali makan dalam sehari-semalam, maka sebenarnya tak ada keharusan bahwa ia boleh 3x atau hanya 2x saja dengan mendasarkannya pada dalīl bahwa:
⑴. Sarapan: bahwa suatu pagi hari Baginda Nabī ﷺ masuk ke rumah Ibunda Ȁiṡah رضي الله تعالى عنها dan bertanya apakah ada makanan atau tidak lalu dijawab tak ada, maka Baginda Nabī ﷺ pun melakukan ṣoum. Sedangkan di waktu lain Ibunda Ȁiṡah menjawab ada ketika ditanya, maka Baginda Nabī ﷺ sarapan. [lihat: HR Muslim no 1154].
⑵. Makan siang: bahwa Nabī Mūsā عليهم السلام meminta makan siang kepada muridnya. [lihat: QS al-Kaḥfi ayat 62].
⑶. Makan Malam: bahwa Baginda Nabī ﷺ memerintahkan bahwa jika makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam daripada Ṣolāt Maġrib. [lihat: HR al-Buḳōriyy no 673; Muslim no 557].

Kenapa…?

❗ Sebab kalau disimak baik-baik, tidak bisa dikatakan bahwa naṣ tersebut di atas itu adalah "keharusan" Ṡariàt bahwa makan hanya boleh 2x atau 3x saja dalam sehari-semalam.

Itu hanya pemberitaan saja, tidak ada kata perintah pada naṣ tersebut. Sehingga kalau kita lihat ùrf pada masa kini, di mana ada puasa intermitten yang terbukti menyehatkan, yang menjadikan makan siang bisa jadi jam 14:00 atau lebih. Atau menunda makan malam sampai mendekati jam 20:00, tentunya tak bisa juga dihukumi "ḥarōm" karena makan malam pada ḥadīṫ di atas adalah pada saat Maġhrib.

⚠ Maka kembalikan sajalah bahwa perkara makan berapa kali ini adalah sesuatu yang hukum asalnya ialah "mubah" dan ia adalah ùrf (kebiasaan dan tradisi) masyarakat, bahkan individual…!

Iya, sebab ada orang yang cukup baginya makan hanya sekali sehari, di sisi lain ada orang yang perlu makan sedikit-sedikit saja akan tetapi sering.

‼️ Adapun di dalam Islām yang diajarkan oleh Baginda Nabī ﷺ itu adalah fiqhnya, żikirnya, dan adabnya:

🔵 Fiqihnya, yaitu: makanan wajib dari yang ḥalāl dan baik (secara żat maupun secara mendapatkannya).

🔵 Żikirnya, yaitu: membaca basmalah sebelum makan, dan sesudah makan membaca ḥamdalah.

🔵 Adabnya, seperti: mencuci tangan sebelum & sesudah makan, menyuap makanan dengan tangan kanan, mengambil makanan dari yang terdekat, tidak makan sambil berbaring, tidak makan tergesa-gesa, makan secukupnya dan tak berlebihan, makan dari bagian tepi piring, tidak mencela makanan, tidak makan dalam keadaan panas sekali, dlsb.

Jadi kalau ada yang mengatakan jumlahnya harus sekian-sekian kali, namun tak bisa mendatangkan dalīl yang ṣoḥīḥ, qoṭ-ìyy & ṣoriḥ tentang itu, maka itu hanyalah kesimpulan berdasarkan pemikirannya sendiri saja, BUKAN dalīl…!

Demikian, semoga bermanfaat.

هَدَانَا ٱللّٰـهُ وَإِيَّاكُم أَجْمَعِينَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk