Hidāyah Paling Penting, BUKAN "Support System"

Ketika beredar video calon pengantin Mr Ḥajji Bayi 2 Bulan mengaji salah-salah, maka Netijah pun mengomentari dengan nada "mengasihani". Diksinya semisal: "Kasihan waktu kecil anak yatim tak ada yang membimbing, ibu kandung pecandu narkoba, lalu ibu sambung muàllaf yang tak lama dipenjara pula untuk waktu lama…"

Ada stigma bahwa anak yang besar tanpa "support system" yang baik (ortu, lingkungan, teman) yang baik akan membuat anak tersebut ikut jadi buruk. Sehingga lalu dianggap "support system" adalah segalanya.

❓ Pertanyaannya, benarkah pendapat demikian…?

Ini ada dua hal, yaitu:

🔴 Pertama salah dalam memaknai "anak yatim"

Anak yatim itu ya sampai saat baliġnya, sedangkan kalau sudah baliġ ya tak disebut sebagai "anak yatim" lagi statusnya. Masa iya orang yang sudah berusia dewasa, lalu orangtuanya wafat masih digelari anak yatim juga?

🔴 Kedua, pengaruh ṡubhāt "Law of Attraction"

Kenapa ṡubhāt LoA?

Begini, ketiadaan "support system" atau "role model" bagi anak yatim bukanlah faktor yang paling utama menjadikan anak yatim tumbuh berkembang jadi kurang baik. Tidak, karena kalau itu yang dijadikan penentu, maka "sial / apes" banget dong anak-anak yatim sepanjang zaman?

Karenanya tiada hal begitu, karena Allōh ﷻ tak pernah menjadikan faktor yatim menjadi pengecualian kewajiban menjadi baik.

Iya, tak pernah faktor "yatim" menjadi pengecualian. Ini adalah kekeliruan fatal yang berhulu dari teori kufur "Law of Attraction", mengatakan bahwa semua kebaikan itu asalnya dari sikap baik kepada lingkungan atau pengaruh lingkungan yang baik. Padahal kenyataannya banyak contoh orang baik itu dari dalam riwayat yang adalah orang yang tak mendapatkan "support system" yang baik.

Anak itu memang butuh role model, akan tetapi itu itu tak harus dari ortu saja, tidak. Bukankah Nabī Ibrōhīm ﷺ, bapaknya para Nabiyullōh yang millahnya kita ikuti, justru adalah bapaknya adalah tukang pembuat patung berhala bagi Namrūd? Bukankah Nabī Mūsā عليه الصلاة والسلام itu tumbuh di Istana Firàun karena ia adalah anak angkatnya Firàun [lihat: QS aṡ-Ṡuàrō’ (26) ayat 18]? Bahkan Nabī Ȉsā عليه الصلاة والسلام sama sekali tak punya role model seorang "bapak".

Kemudian contoh paling utama adalah junjungan kita, Baginda Nabī ﷺ, yang dari semenjak lahir Beliau ﷺ sudah menyandang status "anak yatim". Beliau ﷺ dari bayi disusui oleh bukan ibu kandungnya, kemudian selama masa balita diasuh dan dipelihara oleh keluarga ibu susunya itu. Kemudian ketika Beliau dipulangkan ke ibu kandungnya, lalu dibawa safar, ibu kandungnya wafat di kota Madīnah. Lalu Beliau ﷺ dipelihara oleh kakeknya selama sekira 2 tahun, dan kemudian kakeknya pun wafat. Kemudian Beliau ﷺ dipelihara oleh pamannya. Ingat, paman Beliau, yaitu Abū Ṭōlib itu adalah muṡrik.

Apa kata Allōh ﷻ‎…?

📌 Di dalam al-Qur-ān Allōh mengisahkan:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

(arti) _“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yang yatim, lalu Dia melindungimu?”_ [QS aḍ-Ḍuḥa (93) ayat 6].

Baginda Nabī ﷺ itu mendapatkan penjagaan dari Allōh ﷻ.

Anak yatim tumbuh jadi orang baik itu atau tidak itu bukanlah karena ada atau ketiadaan orangtua, tidak. Karena berapa banyak anak yang tumbuh dari keluarga yang lengkap namun jadi rusak bahkan jadi jahat? Contohnya adalah anak Nabī Nūh عليه الصلاة و السلام yang kāfir [lihat: QS Hūd (11) ayat 42-43]. Atau anak-anak Nabī Ya`qūb عليه السلام yang tega menjahati adiknya Yūsuf عليه الصلاة و السلام [lihat: QS Yūsuf (12) ayat 8-18].

⚠ Orang baik itu adalah karena ia mendapatkan hidāyah dan penjagaan dari Allōh, sedangkan hidāyah itu selanjutnya harus terus diperjuangkan.

Iya, hidāyah itu harus diperjuangkan.

📌 Kata Allōh ﷻ‎ di dalam firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

(arti) _“Dan orang-orang yang berjihād untuk (mencari keriḍōan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh-sungguh Allōh benar-benar membersamai orang-orang yang berbuat baik.”_ [QS al-Ànkabūt (29) ayat 69].

Baginda Nabī ﷺ‎ itu sebelum diangkat jadi Nabiyullōh juga berusaha mencari hidāyah. Bukankah Baginda Nabī ﷺ‎ itu sebelum diangkat jadi nabī maka Beliau sering menyendiri di gua Ḥirō’ di lereng Jabal-Nūr? Begitu juga dengan Nabī Ibrōhīm ﷺ, karena bukankah Beliau sebelum diangkat jadi Nabiyullōh maka Beliau itu melakukan perenungan mencari Tuhan dengan mengamati alam sekitarnya [lihat: QS al-Anȁm (6) ayat 75-79]?

Adapun di zaman sekarang, jalan hidāyah itu bisa melalui sekolah, sebab kalau Muslim pasti mendapatkan pelajaran Agama Islām di mana salah satu materi ajarnya adalah cara berwuḍū`. Sedangkan untuk pandai mengaji, maka tak susah untuk mendapatkan pelajaran taḥsin al-Qur-ān baik itu tatap muka maupun online.

Jadi tak ada tak ada itu "kasihan, support system-nya tidak lengkap", karena yang terpenting itu adalah hidāyah dari Allōh ﷻ dan usaha untuk meraih hidāyah yang terus menerus.

☠ Makanya buang jauh-jauh itu pemikiran ṡubhat kufur "Law of Attraction" itu.

Banyak-banyaklah berdoa:

ٱللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا ، وَبِكَ أَمْسَيْنَا ، وَبِكَ نَحْيَا ، وَبِكَ نَمُوْتُ ، وَإِلَيْكَ ٱلنُّشُوْرُ

(arti) _“Wahai Allōh, dengan roḥmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu pagi, dan dengan roḥmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu sore. Dengan roḥmat dan pertolonganMu kami hidup, dan dengan kehendakMu kami mati, dan kepada-Mu lah kebangkitan.”_

dan doa:

ٱللَّهُمَّ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

(arti) _“Wahai Allōh, wahai yang Maha Hidup, wahai yang Maha Berdiri Sendiri, dengan roḥmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku, dan jangan pernah Engkau serahkan kepada diriku sendiri meskipun hanya sekejap mata.”_

Demikian, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh