Fatherless Penyebab LaGiBeTaIQ?

Ada yang mengatakan bahwa kondisi "fatherless" sebagai "salah satu penyebab" dari anak tumbuh menjadi tukang berma`ṣiyah LaGiBeTaIQ (karena tak memiliki sosok / figur ayah).

❌ Saya MENENTANG pendapat SUNGSANG begitu…!

Iya, karena "fatherless" dalam bahasa Inggris maknanya adalah "yatim", baru kemudian belakangan ditambahkan lagi maknanya dengan "tak memiliki sosok ayah yang bertanggung-jawab".


❌ Maka pendapat itu jelas-jelas TIDAK BENAR, sebab sejarah justru menunjukkan begitu banyak anak yatim yang tumbuh tanpa sosok ayah yang menjadi "orang besar".

Contohnya adalah Nabī Ȉsā ibn Maryam عليه الصلاة والسلام dan junjungan kita Baginda Nabī Muḥammad ibn Àbdullōh ﷺ. Sejarah juga mencatat para imām besar seperti: Sufyān ibn Saȉd aṫ-Ṫauriyy, Muḥammad ibn Idrīs aṡ-Ṡāfiìyy, Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal aż-Żuhliyy, Muḥammad ibn Ismāȉl al-Buḳōriyy, Ismāȉl ibn Ùmar ibn Kaṫīr, Aḥmad bin Àlī ibn Ḥajar al-Àsqōlāniyy, dan Àbdur-Roḥmān ibn Abī Bakr as-Suyūṭiyy رحمهم الله تعالى, kesemuanya adalah anak-anak yatim semasa mereka kecil.

Jelas secara SEJARAH terbukti kesungsangan pemikiran bahwa anak yang tumbuh "fatherless" itu berpotensi jadi tukang berma`ṣiyat LaGiBeTaIQ. Apalagi kalau kita membahasnya secara Ṡariàt.

‼️ Iya, secara Ṡariàt, hal itu tak mungkin. Sebab kalaulah memang "fatherless" itu adalah yang menyebabkan anak tumbuh jadi tukang berma`ṣiyah LaGiBeTaIQ, maka Allōh tentunya takkan mungkin menciptakan taqdir anak yatim. Karena itu artinya keẓōliman…!

📌 Padahal jelas-jelas Baginda Nabī ﷺ di dalam Ḥadīṫ Qudsiyy mengatakan bahwa Allōh ﷻ berfirman:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ ٱلظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

(arti) _“Wahai hamba-hambaKu, sungguh-sungguh Aku telah mengḥarōmkan keẓōliman terhadap diri-Ku, dan Aku menjadikannya (perkara) yang diḥarōmkan di antara kalian, maka janganlah kalian saling menẓōlimi!”_ [HR al-Buḳōriyy, Adabul-Mufrod no 490; Muslim no 2577; Aḥmad no 20451].

‼️ LaGiBeTaIQ itu adalah KEMA`ṢIYATAN yang DITULARKAN.

Iya LaGiBeTaIQ itu adalah KEMA`ṢIYATAN yang ditularkan, BUKAN karena salah asuh.

☠️ Pendapat yang mengatakan salah satu penyebab LaGiBeTaIQ itu adalah "fatherless rising" itu jelas adalah PENGALIHAN ISU oleh kaum LaGiBeTaIQ itu untuk menutupi fakta bahwa mereka adalah tukang sebar kema`ṣiyatan yang sangat berbahaya lagi amat menjijikkan.

Kalau mereka mengatakan dari pengalaman pribadi di lapangan menemui anak-anak yang dibesarkan tanpa "kehadiran sosok ayah" lantas jadi tukang berma`ṣiyah LaGiBeTaIQ, maka kita pun juga menemui di lapangan orang-orang yang dibesarkan di dalam keluarga yang lengkap, bahkan bapaknya yang bekerja sebagai tentara, polisi, dan pekerjaan-pekerjaan yang "laki banget", akan tetapi anaknya malah jadi "melambai" bahkan jadi tukang berma`ṣiyah LaGiBeTaIQ. Jadi tak bisa bukti begituan kalau mau dirumuskan secara statistik menjadi model.

Adapun yang lebih tepat adalah: anak-anak yang dibesarkan jauh dari pengajaran agama yang baik dan kuat, jauh dari lingkungan pergaulan yang baik, maka MUNGKIN itulah yang berpotensi tertular ma`ṣiyah LaGiBeTaIQ.

Kenapa jauh dari agama dan pengajaran agama yang baik dan kuat jadi sebab…?

Karena itu berarti jauh dari perlindungan Allōh ﷻ, padahal perlindungan Allōh ﷻ itulah yang paling dibutuhkan di atas segalanya.

📌 Di dalam al-Qur-ān Allōh mengisahkan tentang Baginda Nabī ﷺ:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

(arti) _“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yang yatim, lalu Dia melindungimu?”_ [QS aḍ-Ḍuḥa (93) ayat 6].

Jadi anak-anak yatim yang tumbuh ṣōliḥ itu adalah karena mereka dijaga oleh Allōh ﷻ. Atau mereka Allōh berikan orang-orang baik yang membesarkan mereka dengan pengajaran dan contoh yang baik, seperti yang kita temui dari biografi para imām yang tumbuh sebagai anak yatim, di mana mereka semua memiliki ibunda yang ṣōliḥah lagi bertaqwa yang terus mendoakan kepada Allōh ﷻ untuk kebaikan bagi anak-anak mereka.

Itu…!

Semoga bermanfaat, silakan kalau mau berdiskusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh