Memberi Hadiah Guru = Tak Boleh?

Seperti biasa, menjelang masa kenaikan kelas ini lagi-lagi terjadi perdebatan tentang "boleh atau tidaknya memberikan hadiah kepada guru", yang mana tentu saja diawali dengan fatwa gerombolan Neo Murji-ah PENDAKU Salafiy.


Mereka melarang pemberian hadiah kepada guru dengan menukil ḥadīṫ mulia:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

(arti) _“Hadiah bagi pejabat adalah ġulūl (khianat).”_

Atau ḥadīṫ mulia:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

(arti) _“Siapa saja yang dipekerjakan dalam suatu pekerjaan lantas ia mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut, kemudian ia mendapatkan tambahan lain dari pekerjaan itu, maka itu adalah ġulūl (khianat).”_

❓ Pertanyaannya, benarkah pendapat yang seperti begitu?

Maka mari kita lihat apa pendapat ùlamā’ tentang hal yang demikian…

Ṡaiḳ Àbdul-Àzīz ibn Bāz رحمه الله تعالى ditanyakan tentang seorang guru menerima hadiah dari siswi-siswinya.

Maka Beliau mengatakan:

الواجب على المعلمة ترك قبول الهدايا ؛ لأنها قد تجرها إلى الحيف وعدم النصح في حق من لم يهد لها ، والزيادة بحق المهدية ، والغش ، فالواجب على المدرسة أن لا تقبل الهدية من الطالبات بالكلية ؛ لأن ذلك قد يفضي إلى ما لا تحمد عقباه ، والمؤمن والمؤمنة عليهما أن يحتاطا لدينهما ، ويبتعدا عن أسباب الريبة والخطر . أما بعد انتقالها من المدرسة إلى مدرسة أخرى فلا يضر ذلك ؛ لأن الريبة قد انتهت حينئذ ، والخطر مأمون ، وهكذا بعد فصلها من العمل ، أو تقاعدها إذا أهدوا إليها شيئا ، فلا بأس

(arti) _“Wajib bagi seorang guru untuk menghindari menerima hadiah, karena hal demikian menyebabkannya berlaku tak àdil kepada yang tidak memberikannya hadiah, dan lebih condong kepada yang memberinya hadiah, dan kecurangan. Maka wajib bagi guru untuk tak menerima hadiah dari muridnya secara keseluruhan, karena hal itu berpotensi menyebabkan hal-hal tak terpuji. Adalah wajib bagi seorang mu’min berhati-hati dalam agamanya, dan menjauhi sebab-sebab keraguan dan yang membahayakan. Adapun setelah siswi itu pindah ke sekolah lain, maka itu tak masalah karena keraguan itu sudah hilang, dan bahaya pun telah berubah jadi aman. Demikian juga ketika si guru telah berhenti dari pekerjaannya atau pensiun, apabila siswinya memberikan sesuatu hadiah, maka tiada yang salah dengan hal itu.”_

Ṡaiḳ Muḥammad ibn Ṣōlih al-Ùṫaimīn رحمه الله تعالى pernah ditanyakan tentang apa hukumnya siswi-siswi perempuan memberikan hadiah kepada guru mereka atas suatu kejadian khusus, di mana kemungkinannya adalah:
⑴ gurunya masih akan mengajar mereka,
⑵ gurunya tak sedang mengajar mereka, namun ada kemungkinan akan mengajar di masa depan, dan
⑶ gurunya tak mungkin akan mengajar lagi karena siswinya sudah lulus.

Maka Beliau mengatakan:

الحالة الثالثة لا بأس بها ، أما الحالات الأخرى فلا يجوز . حتى ولو كانت هدية لولادة أو غيرها ، لأن هذه الهدية تؤدي إلى استمالة قلب المعلمة

(arti) _“Dalam kasus yang ketiga, maka tiada yang salah dengan hal itu. Adapun untuk dua kasus pertama, maka hal itu tidak diperbolehkan, walau hadiahnya adalah untuk kelahiran bayi atau yang lain, sebab hadiah tersebut bisa saja menyebabkan si guru bias.”_

Ṡaiḳ Àbdullōh ibn Àbdurroḥmān ibn Jibrīn رحمه الله تعالى pernah ditanya tentang seorang guru perempuan sekolah penghafal al-Qur-ān yang tak dibayar atas pengajarannya itu, namun pada akhir tahun ajaran setelah para siswi menerima ijazah, mereka biasanya memberikan hadiah semisal perhiasan emas. Bahkan menolak pemberian dari para siswi tersebut akan menyakiti hati mereka, apalagi si guru juga pernah memberi mereka hadiah.

Maka Beliau mengatakan:

إن كانت الطالبة قد أنهت الدراسة وسوف تغادر هذه المدرسة فتنتفي الرشوة هنا ، أما إذا كانت العلاقة المدرسية ستبقى بينهما فيخشى أن هذه الهدية تسبب ميل المعلمة إلى هذه الطالبة والتغاضي عن أخطائها وعدم العدل بينها وبين غيرها

(arti) _“Apabila siswi telah menyelesaikan pelajarannya dan akan meninggalkan sekolah, maka tiada perbuatan suap dalam hal itu. Namun apabila hubungan belajar-mengajar guru-murid masih terus berlanjut, maka dikhawatirkan ada potensi hadiah tersebut menyebabkan guru menjadi bias terhadap siswi tersebut sehingga ia mengabaikan kesalahannya dan memfavoritkannya dibanding siswi yang lain.”_

Imām Muḥammad ibn Mufliḥ al-Maqdisiyy al-Ḥanbaliyy رحمه الله تعالى mengatakan:

قال أصحابنا في المعلم : إن أُعطي شيئا بلا شرط جاز , وإنه ظاهر كلام أحمد , وكرهه بعض العلماء لحديث القوسين

(arti) _“Berkata sahabat-sahabat kami tentang urusan guru ini, apabila memberikan sesuatu tanpa syarat maka itu diperbolehkan karena demikian ẓohir dari perkataan Aḥmad. Dimakruhkan oleh sebagian ùlamā’ dikarenakan Ḥadīṫ Busur**.”_ [lihat: al-Ādābuṡ-Ṡarìyyah I/298].

Di dalam Ḥaṡiyah Qolyūbī wa Ùmairoh IV/304 dikatakan:

الإهداء للمفتي والمعلمِ ولو لقرآنٍ والواعظِ يندب قبوله إن كان لمحض وجه الله تعالى ، وإلا فالأولى عدمه ، بل يحرم إن لم يعلم أنه عن طيب نفس

(arti) _“Adalah sunnah bagi seorang muftī, guru al-Qur-ān, penda‘wah, untuk menerima hadiah apabila diberikan murni karena Allōh taȁlā. Selain itu adalah lebih baik bagi mereka untuk tak menerimanya, bahkan ḥarōm jika diketahui si pemberi bermaksud tak baik.”_

❌ Jadi intinya adalah:
- apabila si guru masih akan mengajar, serta
- dikhawatirkan hadiah tersebut berpotensi menciptakan favoritisme di antara murid-muridnya, atau
- diketahui maksud si pemberi hadiah tak baik,
maka pemberian hadiah yang demikian itu TIDAK DIPERBOLEHKAN dan si guru DILARANG untuk menerimanya.

✅ Namun jika hadiah tersebut diberikan:
- dengan maksud baik,
- setelah pembagian rapor atau kelulusan, dan
- si guru takkan mengajar mereka lagi sehingga tidak mempengaruhi penilaian,
maka hal yang demikian itu adalah DIPERBOLEHKAN. Apalagi dana pembelian hadiah tersebut dikumpulkan secara kolektif dan tak diketahui siapa memberikan sejumlah berapanya.

والله أعلم بالصواب

Demikian, semoga bermanfaat.

هدانا الله وإياكم أجمعين

… … …

Rujukan:
- https://tinyurl.com/yn9xs767
- https://tinyurl.com/bdd7svkc
- https://tinyurl.com/52w48a8f

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh