Benarkah Abū Lahab Bertauḥīd?

Salah satu yang menjadi titik tengkar antara kaum PENDAKU Salafiy dengan kaum PENDAKU Aswaja adalah pernyataan bahwa Abū Lahab (dan kaum Muṡrikīn di Makkah) itu bertauḥīd dalam Rububiyyah.

Maka tentunya perlu ditanyakan benarkah hal itu?

Jawaban perkara ini sebenarnya cukup panjang, namun saya berusaha meringkasnya sebaik mungkin… so bear with me, would you?

Seperti kita ketahui, para ùlamā’ Aṫariyy membagi ìlmu tentang Ketauḥīdan itu dalam 3 komponen, yaitu:
▪ Tauḥīd Rububiyyah, yaitu mengesakan Allōh ﷻ di dalam penciptaan, pengaturan, dan pemeliharaan Alam Semesta.
▪ Tauḥīd Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allōh ﷻ di dalam perìbādahan.
▪ Tauḥīd Asma’ waṣ-Ṣifat, yaitu mengesakan Allōh ﷻ di dalam ṣifat-ṣifat yang Allōh ﷻ nyatakan di dalam al-Qur-ān dan Baginda Nabī ﷺ‎ jelaskan di dalam al-Ḥadīṫ.

Manusia itu dari awalnya, yaitu Nabī Ādam, Hawā’, dan anak-cucunya, sampai ke masa sebelum Nabī Nūh عليه السلام adalah bertauḥīd. Itulah fiṭroh manusia, yaitu meyakini adanya Allōh ﷻ sebagai tuhan, Robbul-Ȁlamīn, Robbus-Samāwāti wal-Arḍi.

Adapun kemuṡrikan itu baru muncul pada masa Nabī Nūh عليه السلام (menurut para ùlamā’ generasi ke-10 setelah Nabī Ādam). Jadi Nabī Nūh itu adalah rosūl pertama yang diutus oleh Allōh ﷻ disebabkan munculnya kemuṡrikan di kalangan manusia. Pada masa Nabī Nūh itulah manusia mulai mengìbādahi tuhan-tuhan yang bāṭil.

Jadi, kemuṡrikan manusia itu bukan tak mengenal Allōh sama sekali atau tidak mengìbādahi-Nya, tidak. Mereka mengenal Allōh, akan tetapi mereka juga mengìbādahi tuhan-tuhan yang bāṭil.

Hal itu adalah sebagaimana yang Allōh ﷻ‎ kisahkan di dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّىٰ إِذَا كُنتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِم بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِن كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ ۝‎ فَلَمَّا أَنجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

(arti) _“Dia-lah (robb-mu) yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah kapal itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya. Kemudian datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo'a kepada Allōh dengan mengiḳlāṣkan keta'atan kepada-Nya saja. (Mereka berkata): "Sungguh jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.". Maka tatkala Allōh telah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat keẓōliman di muka Bumi tanpa (alasan) yang benar.”_ [QS Yūnus (10) ayat 22-23].

Dari ayat suci di atas kita ketahui bahwa orang-orang yang kāfir / Muṡrikīn pada masa lalu itu bukannya tidak menyembah Allōh apalagi tak mengenal Allōh, tidak begitu. Buktinya saat mereka berlayar, lalu terkena badai, mereka langsung berdo'a hanya kepada Allōh ﷻ‎ semata, mereka tinggalkan sesembahan-sesembahan mereka yang bāṭil itu. Namun setelah Allōh selamatkan mereka, mereka kembali lagi dengan perbuatan mempersekutukan Allōh dengan tuhan-tuhan yang bāṭil tersebut. Mereka mengìbādahi Allōh, sekaligus mereka juga mengìbādahi tuhan-tuhan yang bāṭil.

Itulah kemuṡrikan, dan begitu pula kemuṡrikan Abū Lahab dan kaum Quroiṡ pada masa Jāhiliyyah. Seperti yang kita ketahui, mereka itu adalah anak keturunan dari Nabī Ismāīl عليه السلام dan orang-orang yang membersamainya. Maka tentunya mereka mewarisi agamanya Nabī Ismāīl, jadi mustahil mereka tak mengenal Allōh sama sekali.

Nah, di sinilah pemahaman Ketauḥīdan itu harus diluruskan. Mengenal tetapi tak memurnikan atau mengakui, maka itulah kemuṡrikan. Firàun itu bukan tak tahu akan Allōh, Firàun tahu dengan Allōh. Akan tetapi Firàun menolak mentauḥīdkan Allōh, bahkan ia merasa dirinya mempunyai ṣifat ketuhanan yaitu bisa menghidupkan manusia (dengan membiarkan hidup) dan bisa mematikan manusia (dengan menjatuhkan hukuman mati). Makanya pada akhir hidupnya, Firàun berīmān kepada Allōh, akan tetapi keīmānannya itu tak diterima oleh Allōh karena saat itu Firàun sudah dalam proses ajal.

Ketauḥīdan itu harus UTUH, tak bisa hanya Rububiyyah saja, sementara Uluhiyyah tidak. Pun setelah mentauḥīdkan Allōh di dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah, maka wajib mentauḥīdkan Allōh di dalam Asma’ waṣ-ṣifāt.

Jadi apakah Abū Lahab mengenal Allōh?

Maka jawabannya adalah "iya", sebagaimana Firàun juga mengenal Allōh.

Namun apakah mereka bertauhīd?

Jelas jawabannya adalah: "TIDAK".

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَلَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh