Tidak Memberi Shodaqoh Kepada Yang Belum Ngaji, Apalagi Pengamen?
Kemarin ada yang bertanya kepada saya tentang seorang ngustad GPK Kokohiyyun yang berfatwa bahwa kalau ada yang minta sumbangan untuk acara 17an, maka berikan saja dari bunga dana simpanan ribawi…
Terus terang saya jadi ingat dengan video ini – link: https://youtu.be/PvQlIKmC9nY – tentang fatwa yang menyatakan jangan memberi shodaqoh kepada orang yang belum ngaji karena bisa jadi begini dan begitu… intinya enggak banget deh memberi kepada orang yang belum mengaji.
Terus terang, pada awal-awal dulu saya mengaji rutin kepada ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun – lebih dari 10 tahun lalu – memang ada rasa rasa benci kepada peminta-minta, terutama kepada para pengamen jalanan. Hal ini disebabkan karena memang diajarkan begitu oleh ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun, bahwa yang namanya musik itu terlarang, sedangkan meminta-minta itu adalah pekerjaan yang buruk, bahkan kelak pelakunya dibangkitkan dengan bagian wajahnya tak berdaging! Pokoknya, double-double lah keburukan para pengamen jalanan itu…!
Akibatnya, kalau kebetulan sedang makan di street food stall / warung pinggir jalan / rumah makan, lalu ada pengamen yang datang menghampiri, maka akan merasa tak senang dan terganggu sekali, lalu langsung mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir mereka.
Namun seiring dengan perjalanan waktu lalu, karena belajar dengan guru-guru yang lebih bijak, akhirnya sadar bahwa seharusnya kita tak boleh begitu… karena sebaiknya kita tetap memberikan shodaqoh kepada para pengamen / pengemis itu (tidak semuanya tentunya).
Iya, tetap berikan shodaqoh…!
⚠ Bukan karena tidak mengingkari musik, karena kita tetap mengingkari musik dan menganggapnya terlarang, dan saya pun tetap menganggap pekerjaan meminta-minta itu tak baik.
❓ Maka bagaimanakah syari‘at memandang hal ini?
Di dalam sebuah hadîts mulia…
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم mengisahkan:
قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ
(arti) _“Ada seorang laki-laki berkata: "Aku akan bershodaqoh", lalu ia keluar dan menshodaqohkannya, namun ternyata jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa laki-laki itu telah memberikan shodaqohnya kepada seorang pencuri. Mendengar hal itu, laki-laki itu berkata: "Wahai Allôh, segala pujian bagi-Mu, aku akan bershodaqoh lagi!", kemudian ia keluar dengan membawa shodaqohnya, namun ternyata jatuh ke tangan seorang pezinah. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa laki-laki itu tadi malam memberikan shodaqohnya kepada seorang pezinah. Maka laki-laki itu berkata lagi: "Wahai Allôh, segala pujian bagi-Mu, (ternyata shodaqohku jatuh) kepada seorang pezinah. Aku akan bershodaqoh lagi!", kemudian ia keluar lagi dengan membawa shodaqohnya, yang ternyata jatuh ke tangan seorang yang kaya. Keesokan paginya orang-orang kembali ramai membicarakan bahwa laki-laki itu memberikan shodaqohnya kepada seorang yang kaya. Maka orang itu berkata: "Wahai Allôh, segala puji bagi-Mu, (ternyata shodaqohku jatuh) kepada seorang pencuri, pezinah, dan orang kaya." Setelah itu laki-laki tadi bermimpi dan dikatakan padanya: "Adapun shodaqohmu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya, sedangkan shodaqohmu kepada pezinah, mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zinah kembali, dan shodaqohmu kepada orang yang kaya mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfaqkan harta yang diberikan Allôh kepadanya."”_ [HR al-Bukhôrî no 1421; Muslim no 1022; an-Nasâ-i no 2423].
Apa faidah dari hadîts mulia tersebut?
❗ Perhatikan, ternyata tidaklah masalah jikalau kita tak tahu bagaimana hakikat orang yang dishodaqohi itu.
⇛ Jadi tidak perlu untuk su‘uzhon dan berpikiran macam-macam terhadap orang yang meminta-minta, yang penting ia terlihat membutuhkannya, ya berikan…!
Jadi ketika ada pengamen / pengemis yang mendatangi kita, maka setidaknya ada 3 hal yang menjadi pertimbangan kita, yaitu:
⑴. Para pengamen / pengemis jalanan itu bukanlah orang yang "dekat" dengan kajian ‘ilmu, bukan? Sebab kalau mereka adalah orang-orang yang dekat dengan kajian ‘ilmu, maka pasti mereka tidak akan memilih profesi sebagai pengamen.
Jadi coba bayangkan, apabila mereka mengamen dekat kita, orang-orang yang katanya sudah mengaji, berpenampilan jenggotan, celana cingkrang / jilbab lebar, lalu muka kita masam kepada mereka dan menolak mereka dengan sikap kasar…
Maka apa perasaan mereka…?
Kira-kira apa pandangan mereka terhadap kita…?
Paling tidak, mungkin mereka akan berpikir: "Kok begitu amat ya orang-orang yang kelihatannya ‘alim dan katanya sudah mengaji itu?".
Maka apa tidak malah membuat mereka antipati kepada orang-orang yang katanya sudah belajar agama?
⑵. Mudah-mudahan shodaqoh kita menjadi pintu hidayah baginya.
Iya, siapa tahu shodaqoh yang kita berikan, mungkin malah menjadi pintu hidayah kepada mereka? Karena bukankah sangat begitu banyak kisah betapa ‘amal-‘amal yang tampak sederhana malah menjadi pengetuk pintu hati orang-orang untuk bertaubat ketika mereka melihatnya?
Ada begitu banyak kisah di dalam Siroh Nabî dan kehidupan para Salafush-Shôlih tentang bagaimana orang-orang yang bertaubat karena mereka tersentuh ‘amalan-‘amalan sederhana. Jadi mudah-mudahan الله Subhânahu wa Ta‘âlâ memberikan hidayah kepada pengamen / pengemis itu dengan sebab shodaqoh kita itu.
⑶. Bisa jadi mengamen / mengemis itu adalah pekerjaan yang paling terkecil mudhorotnya bagi mereka.
Karena kita tak tahu keadaan mereka bagaimana, bukan? Bisa jadi mereka memang saat ini tak punya pilihan pekerjaan lain yang lebih baik selain dari mengamen / mengemis, karena pilihan lainnya bagi mereka adalah pekerjaan yang lebih buruk lagi, bahkan bisa jadi perbuatan kriminal, seperti: jadi kurir narkoba, jadi pelacur maho, jadi copet, dlsb.
.
.
.
📝 Catatan:
Adapun kapan kita memberikan shodaqoh kepada pengamen / pengemis, maka itu tidak bisa pukul rata juga, karena berbeda-beda tergantung kondisi dari masing-masing oknum pengamen / pengemis tersebut. Jika kita lihat pengamen / pengemis itu laki-laki / perempuan yang tampak masih kuat dan segar, ya sebaiknya jangan diberi, karena ia mampu bekerja seperti orang lainnya. Sedangkan jika itu anak-anak, maka kita sebenarnya bisa tahu mana yang bukan pengamen dari kerapian penampilannya, hal ini menunjukkan bahwa ia menjadikan aktivitas mengamen itu sebagai kebiasaan buruk saja. Adapun pengamen / pengemis yang sering muncul, jelas diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja beroperasi demikian tanpa kebutuhan alias jadi sudah profesi tetap, sebaiknya jangan diberi.
⚠ Sedangkan khusus untuk yang tinggal di wilayah DKI, maka memberikan shodaqoh kepada pengamen yang beroperasi di jalan raya itu melanggar Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2008 tentang Ketertiban Umum, dan juga fatwa dari MUI DKI Jakarta tentang segala aktivitas yang mengganggu ketertiban umum seperti: mengemis, berdagang asongan, mengelap mobil, atau memberi uang di jalan raya.
❗Kalaupun masih tak suka memberi kepada orang yang dianggap pelaku maksiyat musik, maka apabila pengamen / pengemis itu datang menghampiri, segera beri tanda agar ia pergi, dan lakukan dengan muka senyum / ramah.
☠ Jangan membiarkan ia menyelesaikan satu atau malah beberapa lagu, sambil dicuekin saja dan bermuka masam. Itu kejam namanya…!
☠ Juga tak perlu juga menuduh yang tidak-tidak terhadap pengamen / pengemis itu kalau mereka tak sholât lah, tak puasa lah, begini lah dan begitulah, karena semua prasangka itu malah berdosa…!
Iya, bukankah prasangka buruk itu adalah dosa?
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
(arti) _“Berhati-hatilah kalian dari berprasangka buruk, karena prasangka buruk itu adalah sedusta-dustanya ucapan.”_ [HR al-Bukhôrî no 6064, 6066, 6724; Muslim no 2563; Abû Dâwud no 4917; at-Tirmidzî no 1988; Ahmad no 6064, 7520, 7770, 8148, 9620, 9698, 9681, 9979, 10149, 10283, 10527; Mâlik no 1730].
Dapat dipahami ya?
Last but not the least…
🔥 Mengaji kepada ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun itu malah mengeraskan hati…!
❤ Kita berdo'a:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
{allôhumma innî a-‘ûdzu bika minal-‘ajzi, wal-kasali, wal-jubni, wal-haromi, wal-bukhl, wa a-‘ûdzu bika min ‘adzâbil-qobri, wa min fitnatil-mahyâ wal-mamât}
(arti) _“Wahai Allôh, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di masa tua, dan shifat kikir, dan aku juga berlindung kepada-Mu dari adzab kubur serta bencana kehidupan dan kematian.”
نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ
Komentar
Posting Komentar