Memang Harus Ambil Baiknya & Buang Buruknya…!
GPK Kokohiyyun sangat getol membantah prinsip "ambil baiknya dan buang buruknya"… mulai dari ngustadnya yang katanya lulusan sekolah tinggi agama bergengsi baik dari dalam maupun luar negeri, ngustad yang lulusan "Ngibaroin School of Manhaj", pengamen gagal baru taubat kemaron sore, makhluk astral hermaprodit, sampai ke kroco-kroco yang iqro’ 1 pun tak jelas ikut-ikutan pula membahas hal tersebut…
Bahkan dengan kurang ajarnya, sampai berani mengatakan bahwa prinsip "ambil baiknya dan buang buruknya" itu adalah prinsipnya "maling sandal di Masjid" atau mereka sebut "Manhaj Lalat"…! – نَعُوْذُبِاللهِ مِنْ ذَلِكَ
Bantahan tentang pendapat mereka itu sebenarnya sederhana saja…
Iya sangat-sangat sederhana…
Kok bisa…?
🚫 Karena secara logis tidak mungkin memakai prinsip "ambil buruknya, buang baiknya"…!?! → itu kebodohan sangat yang bertentangan dengan akal sehat dan fithroh manusia.
🚫 Juga tak mungkin pakai prinsip "ambil semuanya" karena tak ada manusia yang ma‘shûm pada masa sekarang. Sebaliknya juga, memangnya siapa yang bisa memvonis seseorang itu 100% buruk sehingga "tinggalkan semuanya"? → sebab ini akan menuntut standard bid‘ah lagi, yaitu siapa yang wajib diambil 100%, dan siapa yang harus dibuang 100% itu?
Kengawuran dari GPK Kokohiyyun itu dimulai dari kecurangan mereka ketika menukil dan memberikan contoh dari para ‘ulamâ’ terdahulu, yaitu ketika para ‘ulamâ’ terdahulu itu tak mau mendengar dan tak mau duduk bersama, apalagi mengambil ‘ilmu dari orang-orang yang terafiliasi dengan aliran yang sudah divonis sesat oleh mayoritas ‘ulamâ’.
❓ Pertanyaannya: siapa yang dipandang sesat oleh para ‘ulamâ’ masa lalu itu?
⇛ Mereka adalah kaum: Mu‘tazilah, Khowârij, Murji-ah, Jahmiyyah, Qodariyyah, Jabariyyah, dan Rôfidhoh, di mana person yang benar-benar ditahdzîr dan dihajr itu adalah yang benar-benar bermasalah dengan kejujuran dan jelas berkarakter buruk.
Liciknya GPK Kokohiyyun itu, mereka melakukan framing dengan memakai perkataan dan sikap dari para ‘ulamâ’ terdahulu itu untuk menyerang Ummat Islâm yang berbeda ta’wil atas dalîl yang shifatnya adalah ijtihadiyah, selain itu mereka mentahdzîr orang yang tidak satu gerombolan dengan mereka. Kemudian divonis secara sepihak sebagai "ahlu bid‘ah"…!
Licik sangat, bukan…?!?
Selain licik, itu juga contoh kasus "jakasembung bawa golok"…!
❓ Maka pertanyaannya, bagaimana harusnya bersikap terhadap "ambil baiknya dan buang buruknya" itu?
.
.
🔵 Praktek Para ‘Ulamâ’ Dalam Ambil Baiknya & Buang Buruknya
Ternyata para ‘ulamâ’ terdahulu mempraktekkan qoidah "ambil baiknya dan buang buruknya itu".
Perhatikan perkataan dari al-Aimah al-Arba‘ah berikut ini…
📍 Kata Imâm Abû Hanifah رحمه الله:
اُتــْرُكُوْا قَوْلــِى لِقَوْلِ اللهِ وَ رَسُوْلــِهِ وَ الصَّحَابَةِ
(arti) "Tinggalkanlah perkataan (pendapatku) yang berlawanan dengan firman Allôh dan sabda Rosûl-Nya serta perkataan para Shohâbat. "
📍 Kata Imâm Mâlik ibn Anas رحمه الله:
اِنَّمَا اَنــَا بَشَرٌ اُخْطِئُ وَ اُصِيْبُ فَاَعْرِضُوْا قَوْلــِى عَلَى اْلكِتَابِ وَ السُّنَّةِ
(arti) "Sungguh aku ini hanyalah manusia biasa, yang boleh jadi benar dan boleh jadi salah, maka dari itu bandingkanlah pendapatku itu kepada Kitâbullôh dan Sunnah. "
📍 Kata Imâm Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi‘î رحمه الله:
مَا قُلْتُ وَكَانَ النَّبِيُّ ص قَدْ قَالَ بِخِلاَفِ قَوْلــِى فَمَا صَحَّ مِنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ ص اَوْلَى وَ لاَ تُقَلِّدُوْنــِى
(arti) "Apa saja yang telah aku katakan ternyata Nabî telah mengatakan menyelisihi perkataanku, maka apa yang telah sah dari hadîts Nabî itulah yang lebih pantas (untuk diambil dan diikuti), dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku. "
📍 Kata Imâm Ahmad ibn Hanbal رحمه الله:
لاَ تُـقَـلِّدْنِى وَ لاَ مَالِكًا وَ لاَ الشَّافِعِيَّ وَ لاَ اْلاَوْزَاعِيَّ وَ لاَ الثَّوْرِيَّ وَ خُذْ مِنْ حَيْثُ اَخَذُوْا
(arti) "Janganlah anda bertaqlid kepadaku, jangan kepada Mâlik, jangan kepada asy-Syâfi‘î, jangan pula kepada al-Auzâ‘î, dan jangan pula kepada ats-Tsaurî, tetapi ambillah (ket: agamamu) dari tempat mereka mengambilnya (ket: al-Qur-ân dan as-Sunnah). "
Bahkan lebih ekstrim lagi…
📍 Kata Imâm adz-Dzahabî رحمه الله saat beliau membahas tentang pribadi Aban ibn Taghlib yang jelas-jelas seorang Syi‘ah (tetapi bukan Rôfidhoh):
لنا صدقه وعليه بدعته
(arti) "Bagi kita (kita ambil) kejujurannya (di dalam meriwayatkan hadîts), dan atasnya (tanggungannya) kebid‘ahannya. "
⚠ Lihatlah betapa para imâm besar tersebut mengajarkan prinsip "ambil baiknya dan buang buruknya"…!!!
❓ Pertanyaannya: apakah para Imâm di atas itu adalah "maling sandal" semua dan mengajarkan orang untuk ber"Manhaj Lalat" seperti yang didakwakan oleh GPK Kokohiyyun itu…???
⇛ Mikir dong ah…!?!?!
.
.
🔵 Manusia Itu Diperintahkan Berpikir
Syari‘at Agama itu hanya dibebankan kepada orang yang baligh dan berakal.
Akal di sini maksudnya akal sehat dan nurani yang lurus, sebab itulah yang akan bisa menjadikan cara beragama yang lurus pula, tidak brutal. Beragama itu tidak boleh taqlid buta, bahkan taqlid buta itu dilarang keras di dalam agama karena malah melahirkan pribadi-pribadi bodoh tetapi ekstrim.
☠ Apalagi kalau bertaqlidnya itu adalah kepada guru-guru yang ‘ilmunya cetek, wawasannya cupet, karakternya buruk, semacam ngustad-ngustad dari GPK Kokohiyyun…!
Beragama harus berpikir menggunakan akal sehat dan nurani yang lurus, karena Robbul ‘Âlamîn Subhânahu wa Ta‘âlâ yang menyuruh kita berpikir.
📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
(arti) _“Apakah kamu tidak berpikir?”_ [QS al-Baqoroh (2) ayat 44, 76; Âli ‘Imrôn (3) ayat 65; al-An‘âm (6) ayat 32; al-A‘rôf (7) ayat 169; Yûnus (10) ayat 16; Hûd (11) ayat 51; Yûsuf (12) ayat 109; al-Anbiyâ’ (21) ayat 10, 67; al-Mu’minûn (23) ayat 80; al-Qoshosh (28) ayat 60; ash-Shôffât (37) ayat 138].
Atau…
📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
(arti) _“Apakah kamu tidak memikirkannya?”_ [QS al-An‘âm (6) ayat 50].
❓ Maka akan timbul pertanyaan, yaitu: dengan apa kita memilah dan memilih antara kebaikan dengan keburukan?
⇛ Yaitu dengan akal yang sehat dan fithroh hati nurani yang lurus, yang digunakan untuk memikirkan dan merenungkan mana yang terdekat dengan al-Qur-ân dan as-Sunnah, yang kemudian akan menyelamatkan di Âkhirot.
Iya, memang harus memilah dan memilih yang baik-baik dari yang buruk kok…!
📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ ۞ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
(arti) _“Dan orang-orang yang menjauhi Thôghût, (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allôh, bagi mereka berita gembira. Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allôh petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”_ [QS az-Zumar (39) ayat 17-18].
⚠ Perhatikan bahwa orang-orang yang menjauhi Thôghût itu adalah orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti apa yang paling baik di antaranya, dan itulah orang-orang yang mendapat hidayah, itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Jelas ya?
Itu kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ…!
🔥 Justru ternyata terbukti GPK Kokohiyyun itulah yang menyelisihi dalîl, menyelisihi atsar, menyelisihi perkataan para ‘ulamâ’ terdahulu, dan tentu saja menyelisihi akal sehat dan fithroh nurani yang lurus…!
❗ Yang namanya makan saja, kita harus memilih dan memilah kok? Duri tulang ikan yang keras dan tajam ya jangan dimakan, bisa keselek kalau nekad!
☠ Sementara kalau pakai prinsipnya GPK Kokohiyyun, di mana ambil semuanya karena dianggap 100% baik, atau buang semuanya karena dianggap 100% buruk, maka ikan yang keras dan tajam duri tulangnya itu tidak dimakan dan dibuang begitu saja! Alangkah bodohnya prinsip bid‘ah GPK Kokohiyyun tersebut!
Maka demikian pula dengan belajar, setiap guru itu pasti ada saja kekurangannya, karena kema‘shûman itu sudah pergi meninggalkan Dunia seiring dengan wafatnya junjungan kita, Baginda Nabî Muhammad صلى الله عليه و سلم lebih 1.400 tahun lalu…
❗ Kita tidak bisa mengetahui kekurangan / kesalahan dari guru kita sebelum kita belajar dari guru-guru yang lain.
Contohnya Imâm Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhôrî رحمه الله, di mana beliau memiliki lebih dari 1.000 orang guru yang beliau mengambil ‘ilmu darinya.
Faktanya adalah tidak mungkin mendapatkan guru yang tidak memiliki kesalahan sama sekali, karena itu jelas menyalahi dalîl.
Iya, bukankah semua manusia itu berbuat kesalahan, siapapun juga dia?
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
(arti) _“Seluruh anak Âdam berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.”_ [HR Ibnu Mâjah no 4251; Ahmad no 12576; ad-Dârimî no 2769].
Kalau kita menemukan kesalahan pada guru-guru kita, apakah lantas karena itu kita lalu meninggalkan guru-guru atau ustâdz-ustâdz kita tersebut?
Tentu saja tidak…!
Sekali lahi, jikalau kita mencari guru yang tak berbuat kekeliruan, ustâdz yang tidak beraib, ‘ulamâ’ yang tak punya salah, maka selamanya kita takkan bertemu dengan orang berkriteria demikian…!
Selamanya kita takkan menemukan orang yang tak bersalah tempat kita bisa belajar, karena kema’shuman sudah pergi meninggalkan Dunia ini seiring dengan perginya jiwa suci Nabî Akhir Zaman, Muhammad صلى الله عليه و سلم.
Maka dari itu, ikuti apa nasihat Kholîfah ‘Umar ibn al-Khoththôb رضي الله عنه tentang bagaimana menilai orang.
📍 Kata Kholîfah ‘Umar رضي الله عنه:
يَقُولُ إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْىِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، وَإِنَّ الْوَحْىَ قَدِ انْقَطَعَ ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ ، فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ ، وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَىْءٌ ، اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ ، وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ
(arti) _“Manusia (terkadang) dahulu dinilai dengan turunnya wahyu semasa hidupnya Nabî ﷺ. Akan tetapi sekarang tidak ada lagi wahyu baru yang turun. Sekarang kita menilai seseorang dari apa perbuatan yang dilakukannya secara zhohir di depan umum. Kita akan percaya dan dekat kepada orang yang berbuat baik di depan kita, dan kita takkan mengusik apa yang disembunyikannya. Karena Allôh lah yang menjadi hakimnya atas itu. Sebaliknya kita takkan percaya dan takkan membenarkan orang yang menunjukkan perbuatan buruk kepada kita sekalipun ia mengatakan bahwa maksudnya baik.”_ [Atsar Riwayat al-Bukhôrî no 2641].
⇛ Intinya, orang itu dinilai dari kecenderungannya dari apa yang sering ditampilkan di depan umum secara zhohir.
Apabila seseorang itu secara umum ia baik, sering melakukan perbuatan baik, maka ia adalah orang baik, walaupun ia berbuat kesalahan-kesalahan atau offside dari waktu ke waktu. Tetap saja ia orang baik karena kesalahannya kecil dan tidak fatal, dan mayoritas keadaannya adalah dalam kebaikan.
.
.
🔵 Islâm Mengajarkan Ambil Baiknya & Buang Buruknya
❓ Pertanyaannya: kenapa ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun itu begitu getol mengampanyekan penolakan terhadap qoidah "ambil baiknya dan buang buruknya" itu?
⇛ To tell you the truth, justru ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun itu mati-matian menolak qoidah "ambil baiknya dan buang buruknya" tersebut karena mereka sangat takut kehilangan jamâ‘ah apabila jamâ‘ahnya belajar kepada ustâdz-ustâdz lain yang jauh lebih ber‘ilmu dan lebih luas wawasannya dan lebih tinggi adab dan kesantunannya dari mereka.
🔥 Karena ujung-ujungnya apalagi kalau bukan "fame and fortune"…?!?
☠ Ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun menyekat pemikiran jamâ‘ahnya dengan doktrin-doktrin sesat, sehingga jamâ‘ahnya bukan saja kehilangan kemerdekaan dalam ber-Manhaj Salaf, tetapi juga kehilangan kemampuan berpikir sehat dan jernih, serta menggunakan nurani yang lurus. Makanya kita saksikan betapa seringnya keluar dari lisan dan tulisan mereka pernyataan-pernyataan yang rusak di socmed ini.
Semua tak lain agar jamâ‘ahnya "tak pindah ke lain ustâdz". Karena bahaya sangat jika jamâ‘ah mengetahui kengacoan dari ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun itu. Mereka akan langsung il-feel dan pindah ke lain hati.
❓ Bagaimana Islâm tentang masalah "ambil baiknya dan buang buruknya" tersebut?
⇨ Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم nyata-nyata mencontohkan sikap "ambil baiknya dan buang buruknya", yaitu ketika Baginda Nabî bersabda tentang peristiwa Hilful-Fudhul.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ
(arti) _“Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah ‘Abdullôh ibn Jud‘ân, tiada yang melebihi kecintaanku terhadap unta merah kecuali perjanjian itu. Andaikata aku diajak untuk menyepakati perjanjian itu pada masa Islâm, maka aku pun akan mendatanginya.”_ [HR al-Baihaqî, as-Sunan al-Kubro no 12110 ~ dinilai hasan oleh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, as-Silsilah Ahadîts ash-Shohîhah no 1900].
⇨ Baginda Nabî jelas-jelas menyatakan bahwa Beliau diutus untuk "menyempurnakan" akhlâq yang baik.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
(arti) _“Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlâq yang baik.” [HR al-Bukhôrî, Adabul-Mufrod no 273; Ahmad no 8595].
⚠ Perhatikan kata "menyempurnakan" (لأُتَمِّمَ), itu artinya sudah ada akhlâq yang baik sebelumnya pada masyarakat Quraisy walau mereka jahiliyyah, seperti di antaranya: shifat dermawan, memuliakan tamu, pemberani, sikap kesatria, terus-terang dan terbuka, dlsb, di mana semua itu diambil dan kemudian disempurnakan oleh Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم dam dijadikan akhlâq seorang Muslim.
‼️ Jadi apakah itu kalau bukan qoidah "ambil baiknya dan buang buruknya"…?
Adapun kalau masih nekad menuduh prinsip "ambil baiknya dan buang buruknya" itu sebagai "Manhaj Lalat", maka justru lalat itu membuktikan bahwa memang harus "ambil baiknya dan buang buruknya" …!
❗ Perhatikan hadîts mulia berikut ini…
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
َ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
(arti) _“Apabila ada seekor lalat jatuh ke dalam gelas seseorang di antara kalian, maka tenggelamkan keseluruhan lalat itu lalu buang lalatnya (dan minumlah airnya), karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap yang lain ada obat dari penyakit tersebut.”_ [HR al-Bukhôrî no 3320, 5782; Abû Dâwud no 3844; Ibnu Mâjah no 3505; Ahmad no 6844, 7055, 7256, 8303, 8675, 8803, 9344; ad-Dârimî no 2081].
⇛ Jadi justru mengatakan "Manhaj Lalat" itu malah meneguhkan "ambil baiknya dan buang buruknya"…!
Bahkan, ada qoidah membuang kotoran pada makanan yang jatuh ke lantai, di mana kita dilarang membuang seluruhnya, tetapi cukup buang bagian yang kotoranya saja.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم:
َ إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَان
(arti) _“Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, ambillah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkan dimakan oleh Syaithôn.”_ [HR Muslim no 2033; at-Tirmidzî no 1803; Ahmad no 11526, 13575,13707, 13869, 14025, 14101, 14410].
❓ Maka sekarang pertanyaannya adalah: apa masih mau merujuk dan belajar agama kepada GPK Kokohiyyun itu?
▪ IQ itu given, stupid itu pilihan.
نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ
Komentar
Posting Komentar