Mendekat Kepada Penguasa Akan Terfitnah

Lebih 1.400 tahun lalu Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم telah memperingatkan agar siapa saja, khususnya para ‘ulamâ’, untuk tidak mendekat-dekat kepada penguasa.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم:

مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنْ السُّلْطَانِ قُرْبًا إِلَّا ازْدَادَ مِنْ اللَّهِ بُعْدًا

(arti) _“Siapa saja yang mendatangi pintu penguasa maka ia terkena fitnahnya, dan tak ada seorang hamba yang semakin dekat dengan penguasa melainkan ia akan semakin jauh dari Allôh.”_ [HR Ahmad no 8481, 9306; Abû Dâwud no 2859, 2860].

❓ Apa maksudnya jikalau mendekat-dekat kepada penguasa akan terfitnah?

Kita tahu bahwa para ‘ulamâ’ itu punya kewajiban untuk menasihati dan memperingatkan penguasa, dan tidak ada larangan melakukannya secara terbuka, karena bukankah dalam al-Qur-ân, al-Hadîts, dan kisah-kisah para Salaf kita temukan bahwa mereka menda'wahi itu secara terbuka saja?

Ingat kan kisah Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام yang menantang ribuan penyihir Fir‘aun di mana dilakukan pada waktu dhuha di hari raya dan manusia semua dikumpulkan?
Atau kisah Imâm Atho’ ibn Abî Roba’ رحمه الله yang menasihati Kholîfah di depan para pejabat tinggi sebagaimana dikisahkan oleh ‘Ustmân ibn Atho’ al-Khurosanî?
Atau kisah Imâm Ahmad ibn Hanbal رحمه الله menantang debat soal pemahaman kufur kemakhlukan al-Qur-ân melawan ‘ulamâ’nya penguasa (yang berpemahaman Mu’tazilah) yaitu Ibnu Abî Du‘ad dan konco-konconya?

Itulah contoh dari Salafush-Shôlih, mereka datang kepada penguasa hanya untuk mengatakan kebenaran, bukan untuk yang lain.

Kenapa?

Karena itu tadi, akan sangat rentan terkena fitnah jikalau "mendekat-dekat" kepada penguasa. Para Salafush-Shôlih sangat paham hal itu, makanya mereka hanya datang kepada penguasa apabila ada nasihat atau peringatan yang perlu mereka sampaikan langsung. Mereksa paham bahwa itulah jihâd yang paling afdhol.

📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

(arti) _“Jihâd yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.”_ [HR Abû Dâwud no 4344; at-Tirmidzî no 2174; Ibnu Mâjah no 4011].

Jika kini ada dari kalangan asatidz dan da‘i dari so-called "Persatuan Alumni" sampai harus membuat konferensi pers untuk klarifikasi setelah pertemuannya dengan sang hukkâm sebelumnya, maka itu sudah jelas bukti kasus terfitnah.

Iya terfitnah – dan kita berhusnuzhon bahwa maksud mereka mendatangi undangan itu adalah untuk menasihati, bukan hal yang lain – namun hasilnya ternyata kontra-produktif.

Justru para asatidz dan da‘i tersebut malah akan kehilangan legitimasinya di mata ummat. Janganlah terlalu naïve, apakah masih kurang juga bukti dari melihat track-record tentang kefajirannya mereka ketika berselisih?

Jadi, berhentilah mendekati hukkâm yang zhôlim, karena percuma! Tidak ada gunanya, sudah tetapkan di dada bahwa adalah al-haq yang harus diperjuangkan. Titik!

Karena mendatangi, lalu pertemuannya tidak boleh difoto apalagi direkam, lalu kemudian malah bocor dan ternyata tersebar berita seperti itu, justru hal itu telah membuat para asatidz dan da‘i yang datang kemarin itu terfitnah dan kehilangan legitimasinya di mata ummat.

Coba saja, ,kelak kalau mau memanggil ummat untuk turun lagi menentang kezhôliman, maka sangat mungkin akan timbul ejekan: "Tuh kan demo lagi? Kemaren enggak dapat jatah ya?"

Lagian, mengatasnamakan 212 itu apa sih maksudnya?

Ummat Islâm yang turun 212 itu adalah ummat-nya Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم, dan mereka turun karena dalam hati sanubari di dada mereka terbakar semangat membela al-Qur-ân. Para ‘ulamâ’, asatidz, dan da‘i pun memanggil atas nama membela kehormatan al-Qur-ân.

Kalau tidak percaya, test saja sekarang? Apakah ada sekarang ummat yang mau datang dan turun kalau mereka teriak-teriak?

Jadi berhentilah mengatasnamakan ummat dan membuat manouver politik mendekati hukkâm yang zhôlim. Karena sekali lagi: tidak ada gunanya!

Kembalilah ke khiththoh, bimbinglah ummat agar berjalan di jalan الله sesuai dengan petunjuk al-Qur-ân dan as-Sunnah dan pemahaman para Salafush-Shôlih.

Ajaklah ummat menegakkan al-haq, menegakkan amar ma‘rûf nahyi munkar.

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

#2019PresidenBaru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk