Peran Suami, Peran Super

Ada hadīts mulia yang saya lama baru bisa memahaminya, yaitu:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

(arti) _“Seandainya saya boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan saya suruh seorang perempuan untuk bersujud kepada suaminya.”_ [HR at-Tirmidzī no 1159; Abū Dāwūd no 2140; Ibnu Mājah no 1852-3; Ahmad no 18591, 20983; ad-Dārimī no 1505].

Hadīts itu menunjukkan LARANGAN untuk bersujud kepada manusia (makhluq), namun sekaligus menunjukkan betapa tingginya kedudukan suami bagi istrinya di dalam Islām.


Saya tak berani menentang hadīts, namun menurut pemikiran saya yang dho‘if, seharusnya yang paling dimuliakan oleh seorang perempuan itu adalah bapaknya. Namun semalam dalam diskusi saya dengan my Better Half, Allōh ﷻ‎ berikan saya hidayah untuk memahami hadīts mulia di atas…

Bahwa suami yang memenuhi kewajiban secara Syari‘at dan Sosial itu memang pantas untuk menjadi yang paling utama di dalam hidup seorang perempuan, karena urusannya adalah perjanjian dengan Allōh ﷻ‎ sebagaimana firman-Nya:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

(arti) _“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri? Dan mereka (isteri-isterimu -pent) telah mengambil dari kamu perjanjian yang sangat kuat.”_ [QS an-Nisā’ (4) ayat 21].

Ketika seorang laki-laki mengucapkan ‘aqod nikāh, ia menjadi suami dengan perjanjian yang sangat kuat dengan Allōh ﷻ‎ yang Allōh sebut sebagai "mītsāqon gholīzhon" – yang mana itu hanya 3x dalam al-Qur-ān Allōh sebutkan, yaitu saat menyebutkan tentang:
⑴ ‘aqod nikāh,
⑵ perjanjian antara Banī Isrō-īl dengan Allōh, dan
⑶ perjanjian antara para Nabiyullōh dengan Allōh.

Mītsāqon Gholīzhon itu juga ditegaskan oleh Baginda Nabī ﷺ‎ dalam sabdanya:

اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

(arti) _“Bertaqwalah kepada Allōh dalam urusan perempuan, karena sungguh-sungguh kalian mengambil mereka dengan amanat Allōh dan dihalālkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allōh. Maka hak mereka atas kalian adalah dinafkahi dan diberi pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf.”_ [HR Muslim no 1218].

Dan sabdanya:

 أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

(arti) _“Syarat yang paling pantas kalian tepati adalah syarat penghalālan kemaluan perempuan.”_ [HR al-Bukhōrī no 2721, 5151; Muslim no 1418; Abū Dāwūd no 2139; at-Tirmidzī no 1127; an-Nasā-ī no 3281-2; Ibnu Mājah no 1954; Aḥmad no 16664, 16722, 16736; ad-Dārimī no 2249].

‘Aqod nikāh itu memindahkan "perwalian" seorang perempuan dari ayahnya / keluarganya kepada suaminya. Suaminya semenjak ‘aqod itulah suami yang mengambil tugas "ayah" sebagai pelindung & pemberi nafkah.

Namun tak hanya sampai di situ, suami mengambil tugas "abang" sebagai yang mengajarkan & menasihati.

Tak hanya sampai di situ, suami menjadi sahabat terdekat dari seorang perempuan tempat ia curhat & menumpahkan isi hatinya.

Adapun yang paling utama adalah suami yang menjadi penjaga ‘iffah (kehormatan yang berkaitan dengan kemaluan) bagi seorang perempuan (yang mana tanggung-jawab ini tak mungkin dijalankan oleh laki-laki selain dari suami).

Intinya, suami itu bertanggungjawab untuk memberikan ketenangan lahir (nafkah sandang - pangan - papan) & bathin (perasaan, seksual), dan melindungi & menjaga kehormatan seorang perempuan yang menjadi istrinya.

Peran ayah, abang, sahabat terdekat, semua menjadi tanggung-jawab dari seorang suami. Itulah mengapa seorang suami mempunyai kedudukan yang sangat tinggi bagi istrinya.

Semoga Allōh ﷻ‎ mampukan kita menjadi suami yang baik, dan cukupkan apa yang ada pada diri kita bagi istri kita.

-AN-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh